Sisil berjalan begitu terburu-buru ketika dia keluar dari mobilnya. Dia yang saat itu mengenakan rok mini diatas lutut dengan sengaja menampilkan kaki jenjangnya untuk dinikmati kaum adam.
Sisil memang cantik, namun kecantikannya itu tak sepadan dengan isi hatinya. Jika menelisik lebih dalam, ada setitik rasa iri dan dengki yang ia simpan dalam-dalam dan akan ia keluarkan jika tepat sasaran.
Oleh karenanya, tak sembarang orang bisa menyadari itu. Hanya orang-orang yang memiliki kepekaan tinggi yang bisa mendeteksinya meski hanya baru sekali saja berjumpa. Ketika Sisil berbelok, memasuki lorong dengan tiang-tiang pondasi kokoh dan menjulang tinggi, matanya menangkap sosok tinggi tegap nan rupawan sedang berjalan santai sambil membenarkan jacket kulit yang sedikit kusut akibat bersandar karena mengemudi.
Detik itu juga, senyum ironi dan tatapan mata nyalang menghiasi wajahnya. Ide jahatnya muncul tanpa harus diminta, ia berjalan buru-buru hingga 3 langkah lagi mencapai si pria. Kemudian, dengan gerakan cepat dan a tak hindari, Sisil menabrakkan bahunya dengan sengaja ke bahu si pria. Dia langsung memasang wajah tak bersalah seolah tak melihat orang didepannya.
"Ops! S-sorry... nggak sengaja." Dia pura-pura menunduk memastikan, ada senyum ironi yang tersembunyi disana.
"It's okay! Gak masalah." Jawab Dimas datar, tanpa ekspresi.
Ya, pria itu adalah Dimas. Pria yang sudah sejak lama Sisil ingin hampiri dan berusaha mendekatinya sedekat mungkin seperti kedekatan Dimas dengan Meila yang ia lihat di perpustakaan beberapa waktu lalu.
Sisil menaikkan sebelah alisnya, berpura-pura seakan baru melihat Dimas dikampus.
"Kamu... salah satu mahasiswa dari pertukaran kampus itu, kan?" Tanya Sisil dengan nada selidik, "ah, kenalin... Aku Sisil, mahasiswi semester 3 dikampus ini." Sisil memperkenalkan diri, menjulurkan tangannya seolah menunggu Dimas menghampiri.
Dimas menarik ujung bibirnya, "Gue Dimas.." menjabat tangan Sisil tanpa lama dan dengan jawaban singkat.
Setelah menjabat tangan Sisil, Dimas menatap jam tangannya sambil menyipitkan mata. Sedangkan Sisil yang pandangannya masih belum teralihkan dari Dimas, seperti sedang membingkai wajah Dimas dengan memperhatikan tiap inci garis wajah pria itu.
"Sorry, gue buru-buru. Ada hal penting yang harus gue kerjain." Ucap Dimas datar dengan sedikit senyum yang dipaksakan.
Sisil tergeragap mendengar ucapan Dimas, seolah memecahkan angan-angannya yang mulai terbentuk hingga retak kembali.
"O-oh... i-iya, gak masalah." Sisil menampilkan senyumannya yang paling manis agar Dimas terpesona padanya.
Tapi kali ini Sisil salah, dugaannya tak sesuai perkiraannya. Tanpa melihat lagi ke wajah Sisil, Dimas langsung berjalan melewatinya tanpa ekspresi. Ya, seakan Dimas menyembunyikan sisi ramah dan manisnya yang biasa ia tunjukkan pada Meila. Didetik itu juga, Sisil mendengkus kesal sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Ekspresi datar tanpa ekspresi! Cih,! Kalo sama cewek itu dia selalu bersikap manis. Memandang dengan tatapan pesona yang tidak ditutup-tutupi." Sisil menghentakkan kakinya, merasa kesal, wajahnya memerah menahan marah karena merasa diabaikan oleh Dimas.
Jika pria lain yang hanya sekali saja memandangnya bisa langsung terpesona dan mengemis-ngemis cintanya, berbeda dengan Dimas. Sepertinya Sisil harus berusaha lebih keras lagi agar bisa menarik perhatiannya, sepenuhnya.
●●●
Meila dan Airin terlihat datang bersama. Mereka langsung menghampiri sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi yang sedang menonton pertandingan basket di lapangan. Entah ada angin apa pagi ini Airin menelepon Meila dan menawarkan akan menjemputnya untuk berangkat bersama.
Tentu, tawaran itu tak Meila tolak. Dengan senang hati dia menerima tawaran Airin tanpa berpikir dua kali. Kebetulan, Meila juga sedang malas menyetir kendaraan sendiri hari ini. Jika Airin tak mengabarinya tadi, dia sudah akan memesan kendaraan berbasis aplikasi melalui telepon cerdasnya.
Lapangan itu sangat ramai, dengan teriakan-teriakan bervariasi untuk mendukung tim masing-masing. Tak jarang beberapa cheerleader juga bersorak-sorai menyuarakan suara dengan kompak dan lantang guna memeriahkan acara.
Berhubung kampus membebaskan para siswanya untuk mengadakan class meeting dengan mengisi berbagai kegiatan, mereka dibebaskan dari tugas-tugas kampus yang melelahkan untuk beberapa hari ke depan. Mereka melewati kerumunan menyesakkan sambil terus menerobos masuk untuk sampai di posisi paling nyaman.
Usaha mereka membuahkan hasil. Mereka mendapatkan tempat yang cukup nyaman tanpa dihalangi pandangan apapun, sehingga mereka cukup puas menyaksikan.
Beberapa menit kemudian, entah bagaimana caranya bola basket itu bisa keluar jalur dan mengenai kepala Meila ketika Dia tak sanggup menghindarinya. Didetik itu juga suasana menjadi riuh, Meila jatuh pingsan karena hantaman bola yang cukup kencang.
"Astaga! Mei.. Mei... bangun, Mei!" Airin yang panik berusaha menepuk-nepuk pipi Meila lembut.
"Kalian gimana sih?" Ucap Airin kesal mengangkat kepala ke arah anggota tim yang menghampiri, "lagian gimana bisa dengan lapangan seluas itu, bola bisa keluar jalur?" Airin terlihat sangat marah disaat tak ada respon apapun dari salah satu anggota tim.
"Sorry, Rin.. kita nggak sengaja. Lagian... kalian terlalu maju nontonnya." Jawab salah satu anggota dengan enteng dan wajah ngeyel.
Airin masih menepuk-nepuk pipi Meila berusaha membangunkannya, matanya langsung membelalak begitu kata-kata nyeleneh sampai ke telinganya.
"Heh! Lo liat disini... pake mata lo! Disepanjang barisan sini, emang cuma Meila sama gue doang yang liat pertandingan kalian paling depan dan terlalu maju?" Amarah Airin tersulut, tak tahan mengeluarkan emosinya. Meski begitu, dia tak melepaskan untuk menyanggah kepala Meila dengan sebelah tangannya.
Seakan waktunya tepat, Rendy datang begitu mendengar Meila terkena bola dan langsung pingsan ditempat. Dia yang sedang berada di ruang senat segera beranjak keluar menuju lapangan menghampiri dimana adik kesayangannya itu berada.
"Mei...!" teriakan Rendy terdengar ketika berhasil memasuki kerumunan dan matanya langsung menemukan Meila dengan mata terpejam dan terkulai lemah.
Rendy langsung menghampiri, mengambil alih kepala Meila dan menyanggahnya dengan tangannya yang kokoh. Rendy menepuk-nepuk pipi Meila lembut. Airin langsung berpindah posisi begitu Rendy datang dan dengan cemasnya masih berusaha menyadarkan Meila yang masih pingsan.
Dengan gerakan cepat Rendy langsung menggendong Meila, membawanya ke ruangan UKM, "Rin, gue bawa Meila ke UKM. Lo nyusul nanti!" Perintah Rendy pada Airin yang langsung setengah berlari dengan cepat tanpa menunggu jawaban Airin.
●●●
Dahinya berkerut ketika melihat kerumunan ramai tak seperti sedang menonton pertandingan, melainkan seperti sedang meributkan sesuatu. Alisnya mengernyit ingin tahu apa yang sedang terjadi disana. Dimas berusaha menghampiri kerumunan itu menuntaskan rasa penasarannya.
Belum sampai dikerumunan, ada dua orang mahasiswa sedang berjalan sambil mengobrol dan menyebutkan nama Meila berkali-kali. Rasa ingin tahunya semakin menjadi, dia mematahkan niat pertamanya yang ingin menghampiri kerumunan dan malah menghentikan dua mahasiswa itu untuk menanyakan telah terjadi apa di lapangan tersebut.
"Sorry, tadi gue denger kalian nyebut nama Meila. Kenapa sama Meila? Dan... ada kerumunan apa disana?" Tanpa basa-basi, Dimas langsung mengutarakan rasa ingin tahunya.
"Itu... Meila kena lemparan bola basket dan langsung pingsan ditempat." Salah satu mahasiswa mencoba menjelaskan pada Dimas.
Dimas langsung kaget, matanya membelalak, dahinya mengerut membayangkan Meila yang mungil itu terkena lemparan bola basket yang berat nya cukup lumayan itu.
"Terus... sekarang gimana? Dimana dia?" Tanya Dimas yang mulai mencemaskan keadaan Meila.
"Dia udah dibawa ke UKM sama Rendy. Kalo keadaannya... kita kurang tau." Jelas mahasiswa itu pada Dimas.
"Thanks infonya.." ucap Dimas ramah.
Dimas langsung berlari menuju ruangan UKM. Dirinya harap-harap cemas ingin mengetahui dengan cepat keadaan gadis itu.
●●●
"Dia nggak apa-apa. Hanya sedikit shock, mungkin karena hantaman bola yang cukup kencang. Dan... nggak ada yang perlu dikhawatirkan, sejauh ini nggak ada tanda-tanda luka dalam."
Dokter menjelaskan secara terperinci setelah selesai memeriksa kondisi Meila. Dia baru saja siuman ketika dokter mulai memeriksanya, dokter tak memberikan resep apapun, karena memang kondisinya baik-baik saja. Dokter Vina hanya memberikan obat tablet pereda pusing yang langsung dia minum begitu tersadar dari pingsannya.
"Untuk saat ini tak ada resep apapun untuknya. Rasa pusingnya akan segera hilang setelah meminum obat pereda pusing." Dokter Vina kembali memberi penjelasan.
"Terima kasih, dok.." sambil melirik Meila, Rendy mengucapkan rasa terima kasihnya pada dokter Vina mewakili Meila yang saat itu masih memijat-mijat kepalanya pelan yang masih terasa sedikit pusing. Namun rasa pusingnya sudah lebih ringan jika dibandingkn dengan sebelumnya.
Setelahnya dokter Vina berpamitan keluar membiarkan Meila beristirahat. Ketika dokter Vina membuka pintu, diwaktu bersamaan pula Dimas datang ingin memasuki ruangan. Dia mempersilahkan dokter Vina melangkah terlebih dahulu baru kemudian dirinya masuk dan menutup pintu dibelakangnya dengan terburu-buru.
Dilihatnya Meila dengan lemah diatas ranjang rawat dengan wajah masih sedikit pucat. Ada Rendy juga yang duduk di kursi yang berada di samping ranjang perawatan. Dimas menghampiri, rasa cemas diwajahnya tak terbendung lagi.
"Mei... gimana keadaan kamu? Kamu baik-baik aja, kan?" Ucap Dimas cemas, tangannya terulur menyentuh dahi Meila dan mengusapnya lembut disana.
Rendy yang menyaksikan itu tak bisa menahan senyumnya. Dia ingin tergelak tapi ia iringkan mengingat kondisi Meila yang baru saja siuman.
"Aku nggak apa-apa kak.. Cuma masih sedikit pusing. Tapi... ini udah lebih mendingan, kok." Meila menjawab kecemasan Dimas dengan berusaha menampilkan senyumnya.
"Adek gue baik-baik aja, dokter udah periksa kondisinya tadi. Dia cuma shock, makanya sedikit pusing karena pukulan bola basket yang... beratnya lo tau itu." Rendy tersenyum ironi, "lo bisa tenang sekarang." Rendy menarik ujung bibirnya.
Dimas menghembuskan napas lega begitu mendengar penjelasan Rendy, seakan rasa cemas didadanya hilanglah sudah. Dimas tak henti-hentinya menatap Meila yang masih mengerutkan dahi karena rasa pusing yang masih mendera.
Sempat hening sesaat sebelum Rendy bersuara, "Hmmm... Okay! Berhubung udah ada lo disini... gue mau balik ke ruang senat lagi, ada kerjaan yang harus gue selesaiin." Rendy bangkit dari duduknya dan mengucapkan ucapan pamit pada Meila dan Dimas. Diusapnya kepala Meila lembut sambil mengedipkan mata yang mengisyaratkan sikap perhatian didalamnya.
Meila tersenyum tulus, "Makasih, kak..."
"Dim, titip adek gue. Gue percayain dia sama lo." Rendy berucap pada Dimas, seolah memberikan kepercayaan untuk menjaga Meila sepenuhnya.
"Sip! beres.. Lo tenang aja, adek lo aman sama gue." Dimas mengucapkan janji itu pada Rendy sambil melirik ke arah Meila.
"Kamu jangan pikirin tugas atau kerjaan dulu. Biar aku sama yang lainnya yang urus. Fokus kamu istirahat aja sampe kamu pulih, okay?" Rendy berucap dengan nada perhatian yang kental.
Disambut oleh Dimas yang mengangukkan kepala dibarengi dengan kedipan mata lembut untuk Meila. Mengisyaratkan kalau Meila harus mendengarkan ucapan Rendy dengan patuh. Setelahnya Rendy beranjak menjauh dari ranjang, tapi sebelum tubuhnya hilang dibalik sekat pemisah kain seperti gordyn, Meila memanggil Rendy kembali mengucapkan permintaannya.
"Kak..." meski sedikit lemas, Meila berusaha bangun untuk duduk di kepala ranjang dengan dibantu Dimas, dia memanggil Rendy ragu, Meila tidak pernah menyuruh atau meminta tolong apapun pada Rendy, kecuali Rendy sendirilah yang terlalu sering membantunya tanpa ia minta. Namun kali ini rasanya berat sekali untuk meminta tolong.
"Iya...? kenapa?" menaikkan sebelah alisnya, Rendy bertanya lembut.
"Tolong... tolong bilang ke Airin, bawain tas aku kesini," Meila berucap terbata.
Namun ekspresi Rendy tak terduga, dia malah mendengus pelan menertawakan tingkah Meila, "kenapa minta tolong kayak gitu aja berat banget sih kayaknya, Hm?"
Dimas dan Rendy tertawa, dan Meila mengerucutkan bibirnya sambil menatap kedua pria itu bergantian, seakan kompak menertawakan dirinya yang saat ini sedang lemah.
"Kamu tenang aja, Mei... nanti kakak sampein. Lagian... aku suruh dia nyusul kesini, tapi belom dateng-dateng juga tuh anak." Rendy memutarkan matanya, sedikit jengkel dengan Airin yang terlalu lama merespon perintahnya. Rendy dan Airin memang selalu bertolak belakang, namun itu yang membuat Rendy merasa aman jika Meila bersahabat dengannya, sifat Airin yang sedikit galak, bertolak belakang dengan Meila yang sangat lembut, tidak tegaan, dan polos.
Namun meski begitu, kemarahan Rendy hanya angin lalu, dia memilih untuk tak memperpanjangnya.
Setelahnya Rendy membalikkan tubuh dan berjalan kembali sambil memainkan telepon seluler ditangannya.
●●●
"Kamu bener udah nggak apa-apa?"
Dimas menyentuh dahi Meila di bekas hantaman bola basket itu, ada tanda memar merah yang tersamar jika diperhatikan dengan lekat. Dia duduk ditepi ranjang sambil memastikan sekali lagi keadaan Meila. Ditatapnya dalam, menelisik kekedalaman matanya.
"Iya, kak.. Pusingnya udah berangsur-angsur ilang, kok. Aku nggak apa-apa." Meila menegaskan kalimatnya, dia memberikan jawaban dan senyuman terbaiknya. Sifat cerianya sudah kembali, dan itu menular pada Dimas.
Dimas menarik napas dalam, "Aku cemas banget begitu denger kamu pingsan. Aku cari informasi ke beberapa mahasiswa begitu nama kamu disebut berulang kali."
Meila memperhatikan Dimas, menelisik kedalam matanya, tak ada kebohongan disana, "Secemas itu kamu sama aku, kak?" dia memiringkan kepalanya, sedikit menengadah karena posisi Dimas yang masih sedikit lebih tinggi meski sudah duduk bersejajar dengannya.
Dimas tergelak, mendengkus jengkel, dan mengangkat tangannya mengusap kepala Meila gemas namun tetap dengan kelembutan yang tak tertandingi. Dia tak menjawab pertanyaan Meila yang masih menggantung, membiarkan Meila menyimpulkan sendiri jawabannya.
Disaat bersamaan Airin datang dengan langkah tergesa-gesa. Didetik itulah Airin menyaksikan dua anak manusia berlainan jenis sedang bersua tapi tetap terlihat romantis. Airin sedikit berdehem, sedangkan meila tergeragap, berbanding terbalik dengan Dimas yang dengan tenang menolehkan kepala dan beranjak dari duduknya ditepi ranjang.
"Mei... Sorry, gue kelamaan." dengan cengiran kuda khasnya, Airin menghampiri sahabatnya, "Gue harus beri pelajaran dulu sama tuh anak yang udah bikin lo pingsan." Airin terlihat sangat jengkel ketika memberikan penjelasannya.
"Oiya, ini tas lo.." sambil meletakkan ditepi ranjang dekat dengan kaki Meila. "Gue dimarahin kak Rendy tadi! Ih, kesel gue," Airin mencebik. "Padahal jelas-jelas gue belain lo. Ya... emang salah gue sih, yang enggak langsung nyusul lo ke sini, tapi kan.... gue kesel sama tuh anak, makanya gue....."
"Rin... udah nggak apa-apa. Gue baik-baik aja kok. Mereka mungkin nggak sengaja, lagian... kita juga yang nontonnya terlalu maju, kan?" Meila menyeringai, seolah menertawakan dirinya sendiri ketika mengingat insiden itu.
"Ih, lo nggak asik, Mei. Omongan lo sama persis sama bantahan tuh anak pas gue marahin dia ketika lo pingsan. Udah jelas bukan kita doang yang nonton paling depan dan terlalu maju." Airin mendengkus kesal. Sedikit jengkel dengan Meila yang terlalu menganggap sisi positif segala sesuatu sampai hal terkecil sekalipun.
Dimas yang saat itu menjadi pendengar setia, hanya bersedekap dan menahan tawanya.
"Yaudah, lo istirahat ya, Mei... gue mau ketemu dosen ngasih tugas." Airin mengakhiri pembicaraannya.
"Thanks ya, Rin... makasih udah anterin tas gue!"
"Anytime, dear..." Airin melirik ke arah Dimas, "...Kak, temenin Meila ya! Kesian sendirian, kalo perlu anterin pulang juga nanti, dia nggak bawa mobil hari ini." Airin mengejek dengan nada kental yang langsung dibalas pelototan mata oleh Meila.
Dimas hanya terkekeh memperhatikan tingkah mereka.
"Yaudah, gue ketemu dosen dulu, keburu ilang ntar! Kabarin gue ya kalo udah sampe rumah." Airin memberikan perintahnya dan tak membiarkan Meila menyanggahnya panjang lebar..
"Daaaaahhh" pamit Airin pada mereka sambil melambaikan tangannya, yang saat itu langsung lari terbirit-birit sambil tergelak puas.
"Airin...!" Meila tak tahan dengan ejekan Airin, jika tidak sedang lemah, mungkin ia sudah menjewer telinga Airin sampai merah dan terasa panas saat itu juga.
●●●
Dimas memutuskan untuk mengantar Meila pulang.
Bukan! Bukan karena terpengaruh ucapan Airin, melainkan niat awal dirinya dan dengan dorongan impulsifnya lah rasa ingin melindungi dan menjaganya agar Meila merasa aman dan terlindungi.
Tentu dengan persetujuan Rendy. Dimas tak lupa meminta izin pada Rendy melalui pesan aplikasi untuk membiarkannya mengantar Meila pulang bersamanya. Niat baiknya disambut baik pula oleh Rendy, tentu Rendy mengiyakan tawaran Dimas. Meski Rendy sudah mengetahui perasaan Dimas pada adiknya itu, namun penting baginya untuk memberi tahu Rendy akan niatnya.
Meski Meila sudah berkali-kali meyakinkannya bahwa dia sudah baik-baik saja, tapi Dimas tetap merasa cemas sambil sesekali ketika diperjalanan tadi dia melirik ke arah Meila untuk memastikan keadaannya melalui raut wajah gadis itu.
Mereka akhirnya sampai didepan gerbang besar itu.
"Terima kasih, kak..! sekali lagi... udah anterin aku dengan selamat!" Senyum ceria menghiasi wajahnya.
"Sama-sama.." jawab Dimas lembut, dengan senyuman yang tak kalah manis dengan lesung pipinya yang terlihat.
"Perlu aku anter kamu? Minimal... sampe kamu masuk gerbang itu?" Dimas menawarkan dengan lembut.
"Nggak perlu kak... Aku nggak apa-apa.."
"Okay...." jawab Dimas sambil mendesah pelan.
Setelahnya, Meila membuka seatbelt nya, tangannya hampir menggapai knop pintu mobil, namun tangan hangat dan kokoh menahannya, menggenggamnya erat namun tak menyakiti.
Meila menoleh, didetik itu juga Dimas segera membuka seatbelt nya. Tangannya menggapai belakang kepala Meila, menariknya dengan lembut, dan dengan gerakan cepat, Dimas mendaratkan bibirnya di dahi Meila, mencium lembut keningnya disana, tepat di bekas luka memar yang tersamarkan.
Meila terkesiap, terkejut dengan sikap Dimas yang tiba-tiba.
Dimas melepaskan bibirnya dari kening Meila, mengusap lembut dengan ibu jarinya disana, dan dengan wajah mereka yang sangat dekat. Dimas berbisik disana.
"Cepet sembuh, ya.. Istirahat, okay!" Perintahnya dengan nada perhatian yang kental.
Tak ada yang bisa dilakukan Meila dengan posisi wajah mereka yang begitu dekat. Pipinya memulas merah ketika ditatap oleh Dimas sedekat itu. Senyumnya begitu mempesona, menampilkan lesung pipi yang tersembunyi dan mengintip dibawah tulang pipinya disana.
Kemudian, ibu jari Dimas turun ke pipi Meila yang merona, mengusapnya lembut disana.
Meila memutuskan moment saling tatap mata antara mereka terlebih dulu. Dia menunduk, merasakan pipinya memanas, padahal sudah jelas pendingin di dalam kabin mobil itu dinyalakan, Meila berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk menetralkan perasaannya.
Dimas memperhatikan Meila dengan senyum gemas. Dia berniat akan menggodanya lagi, namun dengan keadaannya yang masih sedikit pucat, dia urungkan niatnya.
"Kalo gitu... Aku... masuk ya, kak..! Sekali lagi... terima kasih.." Dengan sedikit tergeragap, Meila berbicara sambil berusaha menatap Dimas dan menampilkan senyumnya.
Dimas mengedipkan mata lembut, menganggukkan kepala perlahan menjawab perkataan gadis didepannya.
Meila turun dari mobil Dimas. Dia menggapai pintu gerbang, membukanya dan masuk hingga menutupnya kembali. Dimas mengawasi Meila dari kejauhan, memastikan sampai dia benar-benar masuk kedalam hingga sosoknya tak terlihat oleh mata telanjangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments