Kabar kehamilan Rahma sudah terdengar sampai di telinga Nely dan juga Ilyas. Pada suatu siang, kedua orang tua itu langsung datang untuk menjenguk putrinya yang dikabarkan sedang mengalami mabuk parah, sampai-sampai tidak bisa beraktivitas seperti biasa lagi.
“Sampai segitunya, Nak?” tanya Nely mendapati anaknya yang sedang terbaring lemah di ranjang. Hanya ada mereka berdua di kamar itu lantaran Ilyas sedang membuat acara sendiri bersama Abah Haikal di perpustakaan besar lantai tiga rumah ini.
Rahma mengangguk dengan bibir yang pucat.
“Yudha mana?” tanya Nely lagi.
“Kerja, Bu. Ini kan hari biasa.”
“Mestinya dia itu menemanimu di sini. Kamu itu lagi mengandung anaknya. Orang yang hamil itu biasanya inginnya di manja sama suami. Bukan malah meninggalkanmu terus-terusan. Belum lagi waktumu yang harus dibagi dua,” katanya serupa orang yang sedang menggerutu. “Hari ini jatahnya di mana?” tanyanya kemudian.
“Di sini ... nanti sore juga pulang.”
“Seharusnya Vita itu mengalah sedikit. Selama kamu mabuk, biarkan saja Yudha lebih banyak di sini demi kamu. Toh nanti kalau dia hamil juga pasti gantian kan?” sela Nely. “Biar nanti Ibu bicarakan sama mertuamu.”
Rahma menggeleng, dia merasa keberatan dengan keputusan ibunya yang bisa semakin membuat rumah tangganya semakin bertambah runyam. “Jangan begitu, Bu. Vita itu sudah banyak mengalah. Tolong jangan bicara macam-macam sama Umi Ros. Rahma takut Umi Ros semakin beda sama Rahma.”
Namun mendengar kabar ini membuat Nely menjadi sedikit berang. “Beda bagaimana?” tanyanya sangat ingin tahu.
“Biar ini jadi urusan Rahma saja, Bu. Ini rumah tangga Rahma.”
“Kalau mereka macam-macam sama kamu, mending kamu pulang saja. Lagi pula rumah kita sudah hampir selesai.” Nely berdiri dan mengambil tasnya. “Kamu sudah makan belum?”
“Belum. Rahma tidak enak makan.”
“Ini sudah siang, loh, Nak? Mau makan jam berapa? Bayimu perlu nutrisi,” kata Nely tak habis pikir. “Minta makanan yang kamu sukai. Jangan diam saja. Kalau kamu tidak mau makan begini, kalian bisa kelaparan.”
“Rahma mual mencium semua bau makanan,” jawab Rahma kian lirih. “Ibu mau ke mana?” tanyanya ketika melihat Ibunya berjalan keluar.
“Kamu di sini saja, Ibu mau cari makanan untukmu,” jawab Nely lantas menutup pintu. Bertepatan dengan itu, dia berpapasan dengan Umi Ros dan entah sejak kapan berada di sana.
“Eh, Jeng?” ucap Nely agak terkejut, namun segera dapat menormalkan raut wajahnya kembali. “Bisa kita bicara, Jeng?”
“Ada apa, Bu Nely?” jawab Umi Ros tersenyum.
“Ini tentang anak-anak kita.”
“Ya silakan, Bu.”
Keduanya menuju ke tempat duduk yang berada di lantai satu. Sengaja duduk di sana karena di sanalah tempat yang menurutnya paling nyaman.
Dalam posisi yang berhadapan, Ibu Nely langsung mengawali pembicaraan. “Begini, Jeng. Anak saya kan sedang hamil. Kalau bisa saya minta bantuanmu supaya lebih mengawasi putri saya. Dia butuh perhatian lebih. Maaf sebelumnya kalau anak saya memang agak manja, soalnya dia anak tunggal. Sangat disayang sama Ayahnya.”
“Vita juga anak tunggal, tapi masyaallah, dia tidak manja dan cukup mandiri,” timpal Umi Ros membuat Nely tertohok.
“Eh, beda, Jeng. Anak saya anak kota. Vita anak kampung. Lagian Vita kan belum hamil. Kalau sudah hamil juga pasti dia akan menuntut hal yang sama.”
“Perhatian yang bagaimana lagi, Bu Nely? Orang hamil ya seperti itu, mual, muntah, pusing. Hampir semua orang hamil pasti mengalaminya. Saya sayang sama menantu saya. Dua-duanya. Tapi saya juga tidak mungkin menunggui mereka sampai dua puluh empat jam lamanya. Saya juga punya banyak pekerjaan yang harus di urus,” jawab Umi Ros dengan pelan dan sabar.
“Ya—setidaknya Yudha kan bisa di rumah dulu untuk menemani Rahma selama dia mabuk, bisa kan Jeng?”
“Yudha itu punya pekerjaan. Ada satu usaha yang harus dia urus keberlangsungannya. Yudha bukan hanya menafkahi Rahma atau Vita saja. Tetapi tulang punggung kami semua. Lantas kalau dia terus-terusan di rumah, bagaimana cara dia mencukupi kami?”
“Kalau begitu, bagaimana kalau Vita mengalah dulu untuk selama beberapa waktu ini,” kata Nely lagi benar-benar mendesaknya. “Sampai Rahma melewati masa-masa kesulitannya.”
“Vita sudah banyak mengalah selama ini, loh Bu,” tegas Umi Ros dengan mata yang agak sedikit dibelalakkan. Beliau juga menggerak-gerakkan tangannya untuk menyertai bicaranya. “Dia itu sampai pindah dari rumah ini demi Rahma. Dia malah tinggal di rumah barunya Alif. Sendirian dia di sana dengan fasilitas yang kurang memadai. Sekarang, Ibu minta Yudha untuk sepenuhnya tinggal di sini. Di mana hati Ibu Nely?”
“Ini hanya untuk sementara. Sampai keadaan Rahma normal kembali,” kata Nely tak mau kalah. “Dia sedang mengandung cucu kita loh, Jeng. Cucu pertama pula.”
Ros langsung menyela, “Iya, kalau Vita tidak sedang hamil juga. Kami bahkan sama sekali belum mendapatkan kabar itu selama dua bulan lebih pernikahannya. Bisa jadi dia malah sudah mengandung lebih dulu dan justru lebih besar usianya. Bagaimana kalau itu betul?” Umi Ros menahan napasnya yang sudah tak beraturan. Darahnya mulai meninggi walau dia masih berada dalam batas kesabarannya.
“Haruskah kita mengorbankan orang lain untuk memenuhi kebahagiaan kita sendiri? Rahma itu cuma hamil. Tidak lumpuh. Dia masih bisa bergerak ke sana-ke sini. Penjagaan yang seperti apa lagi yang Ibu Nely minta? Saya sudah cukup memperhatikannya setiap hari loh, Ibu ....”
“Kalau Vita tidak mengabarkan apa pun, masih diam saja, itu berarti belum. Bisa jadi dia memang menunda atau kurang subur daripada anak saya,” kata Nely berbicara serampangan dan sontak berdiri. “Ya sudah, kalau Jeng Ros tidak mau sepemikiran dengan saya, lebih baik saya bawa anak saya pulang. Lagi pula rumah kami juga sudah hampir selesai di renovasi.”
“Bu Nely, tolong jangan salah paham. Jangan terlalu pendek untuk menangkap pendapat saya,” kata Umi Ros tidak enak hati.
Raut wajah Nely benar-benar berubah menjadi merah. Umi Ros bahkan menggelengkan kepala saat wanita itu pergi dari hadapannya dan berpamitan dengan suara yang terdengar agak ketus.
Ini tidak benar, pikir Umi Ros pada saat itu. Orang tua tidak boleh mengikut campuri urusan rumah tangga anaknya karena hanya akan menambah kerumitan.
Tanpa izin dari Yudha—siang itu juga Rahma dibawa pulang oleh keluarganya. Kendatipun Abah dan Umi Ros sudah meminta maaf dan mengajaknya berdamai; agar Rahma tetap di sini dan berusaha ikut serta menjaga putrinya seperti yang mereka minta, Nely dan Ilyas tetap pada pendiriannya. Membawa putrinya pulang ke rumah.
“Apa dosa kita, ya, Bah?” tanya Umi Ros kepada suaminya yang masih heran dan tak habis pikir dengan sikap besannya tersebut. “Kenapa kita punya besan seperti ini. Dulu kelihatannya mereka baik-baik saja.”
“Abah tidak tahu, Mi. Mungkin itu cobaan untuk kita. Tidak selalu kita di uji dengan hidup enak, pasti ada kalanya kita mendapat suatu masalah atau kesakitan. Tujuan itu tak lain adalah untuk kaffarah, yaitu untuk menebus dosa-dosa kita,” kata Abah menjawab. Kemudian menambahkan, “Kalau kita sabar ....”
“Semoga putra kita selalu sabar menghadapi cobaan yang menimpanya, ya, Bah.”
Abah mengangguk. Merangkul istrinya dan membisikkan kalimat penenang agar istrinya tetap sabar dalam menghadapi segala ujian yang menimpa mereka.
Sungguh, bersitegang dengan seorang besan adalah masalah serius. Sebab mereka akan tetap saling membutuhkan ke depannya nanti. Kalau hubungan mereka tidak baik, tentu bisa menghambat banyak hal di kemudian hari.
Malam menjelang pada saat itu. Yudha dan Alif baru saja tiba di rumah. Namun pada saat Yudha masuk, dirinya tidak mendapati Rahma yang biasa menyambutnya. Tak ingin di dera rasa penasaran, lantas Yudha segera bertanya, “Rahma ke mana, Mi? Masih sakit?”
“Rahma ... tadi siang dia dibawa sama Ibunya pulang,” kata Umi menjawab.
“Pulang?” dahi Yudha langsung berkerut.
“Ya, ada sedikit masalah sebenarnya. Nanti Umi ceritakan. Tapi setelah kamu mandi nanti.”
Ada apa lagi ini? Batin Yudha bertanya-tanya. Dia baru menemukan jawabannya setelah membersihkan diri. Beliau menceritakan semuanya secara detail kejaian tadi siang. Tentang kedatangan Ibu Nely dan permintaan beliau untuk (agar) dia sebagai seorang suami lebih memperhatikan putrinya lantaran tengah mengandung usia muda dan perlu penjagaan yang lebih ketat lagi.
Yudha menggaruk kepalanya. Pusing memikirkan mertuanya itu yang mengajukan banyak sekali tuntutan padanya.
“Sudah Yudha jelaskan dulu, Yudha sudah tidak sendiri lagi sekarang, Yudha punya istri yang lain. Tapi Ibu Nely memang sepertinya kurang peduli,” kata Yudha setelah beberapa saat kemudian.
Umi sontak menyambung. “Itulah yang membuat kami kaget tadi siang, Nak. Terus terang, kami kecewa dengan sikap mereka. Mereka memang terlihat sangat berlebihan sekali.”
Entah mereka yang berubah atau memang sifat aslinya demikian, pikir Yudha. Tetapi rupanya sikap mertua yang kurang baik juga cukup menjadi sandungan. Padahal dari Rahma sendiri, sepertinya tidak begitu bermasalah. Hubungan mereka selalu baik-baik saja.
“Bagaimana ini kalau besan kita masih marah Abah?” tanya Umi meminta pendapat.
“Ya biarkan saja. Kita sudah minta maaf duluan. Nanti kalau butuh pasti mereka datang sendiri ke kita,” jawab Abah tidak ingin memusingkan hal ini lebih lanjut.
***
Satu persatu masalah sudah selesai. Masalah yang kemungkinan bisa datang lagi entah kapan waktunya—dan Yudha sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan itu.
Kini giliran Yudha mendatangi istri pertamanya yang tiga hari lalu dia tinggal dalam keadaan masih belum ceria seperti biasa akibat pertengkarannya.
Malam itu terasa sunyi sekali padahal jam masih menunjukkan pukul delapan malam.
Yudha sengaja berjalan kaki untuk memberi kejutan kepada istrinya. Tepat di depan rumah, didapatinya Vita tengah duduk sendiri—sedang ditangannya terdapat pena. Tidak salah lagi, wanita itu sedang menulis dengan bibir tersenyum hingga memperlihatkan lesung pipitnya yang manis.
“Lagi nulis apa?” tanya Yudha membuat Vita agak tersentak.
“Izh! Kaget tahu!” cebiknya seraya memukul bukunya ke tubuh Yudha.
“Assalamualaikum, istriku.”
“Waalaikumsalam,” jawab Vita mencium tangan suaminya.
“Coba tunjukkan, apa yang sedang kamu tulis,” pinta Yudha.
“Hanya menulis resep masakan. Tadi baca di internet.” Vita menunjukkan buku tersebut. “Aku lagi suka belajar masak menu-menu baru untuk menambah kegiatanku di rumah.”
Yudha menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Dia menatap kagum istrinya yang entah sejak kapan terlihat agak berbeda. Lebih berisi dan lebih terlihat menggemaskan. Kulitnya pun berangsur-angsur memutih lantaran tak pernah lagi berpanasan di bawah terik sinar matahari langsung. Seperti yang biasa dilakukannya saat di rumahnya; di desa gaib terkutuk itu.
“Pantas saja.”
“Pantas apa, Mas Yudha?” tanya Vita. “Ngomong jangan setengah-setengah.”
“Lebih gemukan.”
Vita menunduk sejenak, kemudian tersenyum dan menegakkan kepalanya lagi. Membenarkan perkataan Yudha. “Iya, karena aku suka masak, jadi aku suka makan. Tapi jarang olahraga.”
“Kenapa jarang olahraga?” tanya Yudha tersenyum. “Barang kali itu bisa menambah kegiatanmu di rumah.”
“Aku malas olahraga sendiri.”
“Mau aku temani olahraga?” kata Yudha dengan maksud lain.
“Mas Yudha genit!” cebiknya lagi-lagi memukulkan bukunya karena malu.
Dalam sekejap, pria itu membawa tubuhnya masuk ke dalam kamar. Saling bercanda, saling menggoda hingga berakhir pada penyatuan yang dimaksud ‘olahraga’.
Beberapa puluh menit berlalu. Keduanya telah selesai melakukan tuntutan alam yang selalu membuat mereka menjadi candu. Tidak pernah bosan mereka melakukan permainan karena masing-masing selalu mempunyai cara untuk memuaskan pasangannya.
Yudha dapat menandai masing-masing kebiasaan kedua istrinya. Dengan Vita yang selalu pasrah apa yang dilakukannya dan selalu dirinya yang memulai. Lalu dengan Rahma yang suka malu-malu menggodanya namun membuatnya akhirnya terpancing kemudian.
“Kamu selalu saja kupaksa. Tidak baik begitu,” kata Yudha dengan napas yang menggebu. Pun dengan Vita yang merasakan hal serupa.
“Aku hanya sedang lelah,” jawab Vita asal.
“Aku hanya tiga hari di sini. Bagaimana kalau kamu merindukanku?”
“Aku tidak apa-apa. Aku tidak akan menanyakannya.”
“Apa kau benar-benar tidak merindukanku jika lama kutinggal?”
“Untuk apa aku merindukan orang yang tidak merindukanku.”
“Selalu saja kamu berspekulasi sendiri,” kata Yudha tak habis pikir. “Buang jauh-jauh prasangka yang tidak buruk dalam pikiranmu itu. Supaya tidak menyiksa. Jangan terlalu sensitif.”
“Mas Yudha juga sensitif.”
Yudha tersenyum. Vita memang tidak pernah mau kalah bicara. Daripada mendebat, Yudha segera mengalihkan topik lain. “Oh, iya. Besok pindah ke rumah Umi lagi, ya.”
“Pindah?” tanya Vita dengan dahi yang mengerut. “Kenapa harus pindah?”
“Rahma sudah pulang. Rumahnya sudah hampir selesai di renovasi kemarin,” kata Yudha lagi tanpa ingin menjelaskan penyebabnya. “Pindah ke sana, ya. Jangan di sini sendirian. Kesannya seperti kami sedang membuangmu. Padahal kenyataannya kamu yang minta pindah sendiri.”
“Mungkin aku terlalu sering sendiri, jadi aku merasa nyaman begini, Mas.”
“Kali ini saja kamu tidak membantahku,” ucap Yudha begitu memohon. “Umi memintamu untuk menetap di sana, beliau sangat menyayangimu.”
‘Hanya Umi kan, Mas, bukan kamu? Kamu tidak menahanku untuk itu. Padahal aku suka kamu merayuku. Tapi kamu tidak melakukannya,’ batin Vita tersayat-sayat.
‘Sudah kuniatkan aku akan pergi selama-lamanya. Aku tidak mau hidup dengan suami yang tidak mencintaiku. Aku tidak sanggup berbagi dengan wanita mana pun.’
***
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Endah Ing
Karena pernikahan itu gak cuma ttg suami istri tapi keluarga suami dan keluarga istri juga. kl istrinya 2, ya makin banyaklah yg harus dijaga, diperhatikan perasaannya. Sdh tertulis poligami itu berat dan gak mungkin bisa adil.
2024-10-02
0
Nor Chayati
akan kah vita menemukan kebahagiaanny....
2023-09-28
0
mirazia
duh keluar lgi nih air mata bc kata2 vita di akhir
2023-06-22
0