“Di, kamu bisa pulang sendiri?” tanya Yudha saat ia kembali ke ruang tamu.
Jodi menatap penasaran. “Ha? Kamu—”
“Ya, aku di sini dulu untuk sementara,” Yudha menyela.
“Why?” tanya Jodi tumewu dengan merentangkan tangannya. “Kenapa pikiranmu berubah secara mendadak?”
“Aku tidak tega meninggalkannya. Dia begitu karena ulahku. Aku harus bertanggung jawab.”
“Kamu serius?”
Yudha mengangguk. “Paling tidak, sampai dia bisa berjalan seperti biasa lagi. Dia sendirian di sini.”
“Segeralah selesaikan masalahmu agar kamu cepat kembali. Semua keluargamu menunggumu di sana. Terutama ... Rahma.”
“Itu pasti.”
Jodi tumewu beranjak dari duduknya. “Siapa yang bisa mengantarku pulang?”
“Kamu bisa memesan ojek ke pangkalan.”
“Aku tidak tahu tempatnya. Tempat ini baru untukku.”
“Kamu ikuti saja jalan lurus ini, nanti ada pangkalan di sana. Tadi kita melewatinya. Tapi tolong, kamu mawas diri kalau kamu tidak mau bernasib sama sepertiku. Desa ini tidak aman dan banyak jebakan.”
Jodi berdiri, kemudian pengantin baru itu berbisik, “Awas kamu juga jangan sampai terjebak.”
Yudha mengernyit, sebenarnya dia tidak terlalu mengerti apa yang sedang katakan kepadanya dan jebakan yang dia maksud. Namun ia membiarkan saja lelaki itu pergi meninggalkannya setelah berpamitan kepada mereka berdua. Nyatanya—singgahnya Yudha di tempat ini akan menjadi sebuah petaka untuk mereka dikemudian hari tanpa mereka sadari.
“Maaf, Mi. Yudha menunda kepulangan Yudha hari ini,” kata Yudha di sambungan telepon pada saat sore menjelang. Dia segera menghubungi Umi agar beliau tidak terlalu mengharapkannya.
“Kenapa, Nak? Kamu sudah harus pulang. Surat-suratmu sudah harus di urus. Katamu surat-suratnya hilang semua?”
“Yudha sudah mendatangi Polsek setempat tadi sama temannya Jodi. Bukan hanya itu Yudha juga meminjam uang padanya.”
“Kamu merepotkan banyak orang di sana.”
“Ini di luar dugaanku.”
“Sudah selesai acara pernikahan Jodi?” Umi menanyakan hal lain.
“Sudah, hanya ijab kabul dan resepsi sederhana makanya cepat.”
“Ini pelajaran buat kamu, Nak. Jangan seperti ini lagi. Pergi boleh saja, tapi kantongi izin dulu dari orang tua supaya perjalananmu dipermudah oleh Allah, juga sebagai upaya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.”
‘Semua yang Umi khawatirkan sudah terjadi, Umi. Yudha harap, Umi mau memakluminya.’
“Yudha?”
Sontak Yudha tersentak dan tersadar dari lamunan, “Ya, Mi?”
“Kamu melamun?”
Yudha tak menjawab.
“Ya sudah, jaga baik-baik dirimu di sana. Cepat pulang. Abah terus menanyakanmu. Umi pusing mendengarnya.”
“Insyaallah secepatnya, Mi. Yudha menunggu semua urusan Yudha selesai.”
Panggilan terputus pada setelah keduanya saling memohon diri. Yudha kembali meletakkan ponselnya ke meja. Beruntung Yudha masih menghafal email beserta sandinya, jadi dia bisa memindahkan data-datanya ke ponselnya yang baru.
“Gimana dengan kabar Rahma?” Yudha menghela napasnya berulang kali. Merasa bersalah dengan wanita itu. Cinta pertamanya, sekaligus wanita yang ia janjikan untuk ia nikahi setelah ini. “Aku merindukanmu,” ujarnya menatap kosong.
Pada malam harinya, setelah usai shalat isya, Yudha merebahkan tubuhnya di kursi kayu panjang ruang tamu. Matanya menatap atap-atap langit rumah Vita yang terhalang plafon berwarna kelabu dan usang, seperti hatinya.
Tangan Yudha sangat gatal ingin menghubungi Rahma. Tapi rasa bersalahnya begitu besar terhadap wanita itu sehingga dia memilih untuk menahan diri agar tidak berkata dusta.
Yudha ingin segera kembali, tapi tak bisa meninggalkan Vita dalam keadaan seperti ini. Memanglah repot sekali menjadi seorang pria tidak tegaan seperti dia.
Sampai pada pertengahan malam, Vita keluar dari kamarnya untuk membawakan Yudha selimut karena udara terasa sangat dingin sekali. Namun pada saat Vita ke ruang tengah tempat Yudha berada, ia masih mendapati pria itu terbaring dengan mata terjaga.
“Kalau Mas Yudha kurang nyaman, Mas Yudha bisa tidur di dalam.” Sambil meletakkan selimut tebal berwarna biru miliknya ke kasur.
“Vit?” Yudha agak tersentak dan menoleh ke sumber suara. Kemudian pria itu menjawab, “Ya, selain tubuhku pegal, aku juga kurang nyaman di sini. Banyak sekali nyamuk.”
Bukan ungkapan itu yang sebenarnya ingin Yudha katakan. Selain tidak bisa tidur karena tubuhnya pegal, Yudha juga sedang memikirkan sesuatu yang terus mengganjal di kepalanya.
“Matamu tidak bisa berbohong. Mas Yudha merindukan seseorang.” Vita tersenyum miris. “Kemarin sudah kubilang bukan? Tidak apa-apa Mas Yudha pergi hari ini juga. Aku tidak masalah dan tidak akan menuntutmu.”
Yudha menatap Vita dalam diam. Tidak tahu apa yang harus dia jawab karena apa yang Vita katakan memang demikian adanya.
Agaknya, seorang pria akan lebih susah untuk menyelami kedalaman hati gadis ini. Dia terlampau tegas dan sedikit keras kepala.
Wajahnya memang tidak secantik Rahma, kulitnya juga tidak seputih gadis pinangannya. Mungkin karena dia tinggal di desa—lantas kurang bisa merawat diri. Tetapi dia cantik seperti orang Jawa pada umumnya. Wajahnya tidak membosankan bila terus dilihat, giginya juga putih bersih. Ada lesung pipit di pipi kanan kirinya yang membuat dia semakin manis jika tersenyum. Tetapi janganlah disangka kedirian Vita kalem seperti wajahnya. Sesungguhnya Vita seperti laki-laki. Dia bahkan bisa berkelahi serupa seorang jawara. Mungkin karena keadaanlah yang mengharuskannya demikian.
“Tidurlah dikamarku. Kita sudah menikah bukan?”
Dari kata-katanya seperti menyiratkan arti lain. Apa betul dia menganggap pernikahan ini sungguh-sungguh?
Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Mereka tidur bersama dalam satu ranjang. Namun tak melakukan apa-apa selain memejamkan mata saja hingga pagi menyambut lagi.
***
Kaki Vita sudah mulai bisa berjalan dengan lancar hari ini meski masih terasa sedikit ngilu. Namun bukan Vita namanya kalau harus berdiam diri di rumah.
Rencananya dia akan pergi ke ladang untuk memetik sayur-mayur dan cabai. Gadis itu mengambil keranjang dan topi tudung untuk menutup kepalanya yang ditumbuhi rambut lurus dan panjang. Yang sering diikatnya secara asal.
“Aku tinggal dulu, ya,” kata Vita kepada Yudha agar pria itu tak mencarinya.
Pria yang sedang bermain game itu sontak menghentikan aktivitasnya dan menoleh. “Mau ke mana?”
“Ke ladang.”
“Memangnya kakimu sudah sembuh?” tanya Yudha agak berteriak karena suara Vita semakin menjauh.
Yudha segera mengambil sandalnya dan berjalan cepat menyusul Vita. Tentu saja setelah mengunci pintu karena desa ini rawan maling panci dan perabotan rumah tangga.
“Vita ... apa kakimu sudah sembuh?” ulang Yudha bertanya karena belum mendapat jawaban.
“Ya, kamu bisa lihat sendiri kan,” jawab Vita tanpa memedulikan laki-laki yang kini sedang berjalan cepat mengimbangi jalannya.
“Apa yang akan kamu lakukan di sana? Tidak bisakah kamu menunggu kakimu sembuh dulu?”
“Aku tidak biasa tidak melakukan apa-apa dan aku ingin memetik sayuran di ladang.”
“Aku bahkan bisa membelikanmu di luar kalau kamu mau.”
Apa gunanya aku di sini kalau bukan untuk membantumu? Pikir Yudha.
“Kalau ada yang tinggal metik kenapa harus beli?” Vita menjawab.
“Vita!”
“Hmm.”
“Apa kamu tidak melihat aku sedang mengikutimu?” lagi Yudha memanggil. “Tunggu aku!”
“Di ladang itu panas. Kamu kan orang kota. Nanti badanmu juga bisa gatal-gatal.”
Karena tak ingin tertinggal, Yudha berlari dan menghentikan langkahnya. “Stop it! Tunggu, jalanmu cepat sekali kakimu bisa sakit lagi.”
“Jangan di situ, biarkan aku lewat ....”
“Dengan cara apa agar aku bisa menghentikanmu?”
“Tidak bisa, aku akan tetap pergi ke ladang. Tanggung sekali kalau aku harus balik. Ini sudah seperempat jalan.”
Yudha lebih mendekatinya agar Vita mau berbalik arah. "Pulanglah."
“Tolong jangan dekati aku,” karena aku tidak mau kalau aku sampai jatuh cinta denganmu, lanjut Vita dalam hati. "Jangan halangi aku pergi ke sana," sambungnya.
“Ya sudah, kalau memang itu keinginanmu. Kau memang gadis keras kepala," ujar Yudha tak bisa menghalangi. "Tapi biarkan aku mengikutimu. Tidak usah cepat-cepat jalannya.”
Vita mengedikkan bahunya. Seolah berkata, ‘Ya sudah terserah!’
Sesampainya di ladang, keduanya bekerja sama untuk mengumpulkan sayuran yang nantinya bisa mereka bawa pulang. Biasanya kalau banyak, Vita akan menitipkannya di warung. Kalau tidak, hanya untuk persediaannya sendiri di dapur.
Ladang luas itu satu-satunya peninggalan Ayahnya yang kini menjadi rebutan oleh Pamannya. Namun Vita tetap mempertahankannya dengan berbagai cara.
Banyak keseruan selama di ladang. Yudha yang sudah lama tidak pernah ke ladang tersebut, mendadak merasa bahagia dan lebih baik saat mendapati pemandangan indah yang tidak pernah ia temui di perkotaan.
“Mas Yudha benar-benar katro,” cibir Vita kepada laki-laki yang sedang mengagumi keindahan alam tersebut.
“Ini adalah caraku bersyukur. Tapi Kamu juga pasti akan katro kalau lihat gedung-gedung perkotaan.”
“Nggak menarik. Nggak ada kenyamanan di sana.”
“Begitukah? Sepertinya kamu tahu sekali. Memangnya kamu sudah pernah tinggal di sana?”
“Hanya membayangkannya saja aku sudah tahu.”
Yudha menatapnya memperhatikan dan Vita pun melakukan hal yang sama.
Setelah keranjang penuh terisi berbagai sayuran, keduanya beristirahat ke gubuk untuk menepi. Karena panasnya matahari yang menyengat, terasa seperti membakar kulitnya.
Hati mereka berbunga-bunga. Keduanya tidak pernah sedekat ini dengan lawan jenis. Bahkan Yudha sudah mulai pintar menggoda sekarang. Dengan sengaja pria itu melemparkan ulat daun kepada Vita sehingga dia berulang kali memekik karena geli.
Alhasil, kulit Vita jadi bentol-bentol oleh karena ulahnya. Bagaikan punya sebuah mainan baru, ternyata menyenangkan juga meledek seorang gadis sampai hampir menangis.
Perjalanan pulang yang seharusnya dilalui mereka dalam waktu sepuluh menit, kini dilalui mereka dalam waktu satu jam lebih. Karena mereka harus mampir ke sungai untuk membersihkan kulit tangan Vita yang terkena ulat, agar rasa gatalnya lekas hilang.
“Mas Yudha ini benar-benar menyebalkan sekali,” gerutu Vita saat sudah berada di tepian sungai.
“Aku senang membuatmu menjerit.”
“Ngga lucu!” ucapnya mencebikkan bibir.
Vita menyingsingkan celana panjangnya sampai ke batas lutut agar celana panjangnya tidak basah terkena air. Yudha sempat mengalihkan pandangannya ke arah lain agar tak melihat aurat yang seharusnya disembunyikan itu. Tetapi percuma. Nyatanya tidak ada gunanya karena sesaat kemudian gadis itu memanggilnya untuk mendekat.
“Mas Yudha nggak mau cuci muka? Atau cuci tangan? Airnya segar, loh. Ini mata air asli. Di kota tidak ada yang seperti ini. Suatu saat Mas Yudha pasti akan merindukannya.”
Yudha tersenyum melihat Vita bermain air dengan menciprat-cipratkannya seperti anak kecil. Hatinya seperti terpanggil untuk mendekat.
Namun saat ia akan turun ke batu, Vita berkata lagi, “Eh, jangan ding. Di situ saja, nanti baju Mas Yudha basah. Biar aku bersihkan tanganmu ya?”
“Biar saja aku turun,” katanya dengan suara yang lembut dan merdu. Entah kenapa Yudha lebih tampan berkali-kali lipat di mata Vita, sangat berbeda dari yang pertama kali Vita lihat. Atau hanya perasaannya saja?
Vita menuangkan air ke telapak tangan Yudha. Tetapi Yudha malah menarik tangan Vita untuk dibasuh bersama. Keduanya tersenyum dan saling menatap. Lalu terjadilah saling menggosok telapak tangan.
Rasa hangatkah yang memberanikannya? Atau keakraban yang terjalin?
***
To Be Continued.
Jujur aja aku agak kesulitan memakai plot. karena jadinya kek gini. update kurang lancar. Maaf ya. Tapi aku usahakan banyak2 biar kalian puas. wkwk. siapa yang nungguin MP nih?😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Rahmawaty❣️
Vit jgn sampe baperr vit . Inget yudha udh punya tunangan vit
2023-06-17
0
tatah tutuh
mmmmm
2022-09-23
0
Christy Oeki
trus berkarya
2022-07-12
0