Seberapa pun Vita menolak, Vita tak berdaya manakala suaminya mengajaknya pergi meninggalkan rumah itu untuk ikut bersamanya. Vita menyadari bahwa dirinya bukanlah wanita bebas lagi yang bisa ke mana saja sesuka hati. Dia sudah terikat dengan sebuah ikatan pernikahan, apa pun yang dilakukannya, harus atas berdasarkan izin dari seorang suami, senantiasa patuh dan tunduk padanya.
“Yakin tidak ada yang tertinggal?” tanya Yudha ketika semua pakaian mereka dikemas ke dalam tas yang lumayan besar.
“Sepertinya tidak ada.”
“Kenapa barang bawaanmu hanya sedikit sekali.”
“Aku bukan pindah untuk selamanya,” Vita menjawab. Dirinya belum berada di dalam kepastian saat ini. Sebagai manusia, ia hanya mencoba untuk mawas diri. Sebab nasib seseorang tak selalu baik dan setidaknya—dia sudah membentengi dirinya agar kelak tidak mudah retak.
“Kita tidak mungkin sering pulang ke sini. Tentu aku akan sibuk di sana.”
“Tapi kapan-kapan aku pasti pulang ‘kan.”
“Ya sudah, nanti kalau kiranya ada yang kamu perlukan di sana, beritahu aku.”
Vita mengangguk. Yudha membantunya untuk memasukkan tasnya ke dalam mobil dan keduanya naik dalam keadaan gelisah.
‘Aku tidak punya pilihan lain,’ ujar Vita membatin. Berat sekali meninggalkan rumah yang selama dua puluh tahun ini sudah menjadi saksi kehidupan bahagianya bersama orang tuanya serta melindunginya dari terik matahari dan derasnya air hujan.
Dia menyerah saja terhadap nasib yang nanti bakal diterimanya. Di bawah perlindungan seorang suami, Vita terdiam memasrahkan diri.
“Tidak mengantuk?” tanya Yudha menoleh ke samping. Kini satu tangannya terulur untuk menautkan jari jemarinya dengan istrinya.
“Belum,” Vita menjawab seraya menoleh ke samping juga. Sekilas keduanya saling menatap, sebelum akhirnya Yudha kembali memfokuskan diri lagi untuk menatap ke depan.
“Kalau mau tidur biar kubantu untuk menurunkan kursinya lagi biar kamu nyaman.”
“Aku takut tidur.” Vita berkata sambi menahan napas yang sesak. “Kau tahu Mas Yudha ... aku takut perjalanan ini akan cepat berakhir ....” Aku masih ingin selalu bersamamu, berdua seperti ini, Vita melanjutkannya dalam hati. Sedangkan air mata sudah hampir terjatuh dari pelupuk mata.
Yudha tak menjawab dari matanya melirik gadis itu yang sedang menatap kosong kebingungan. Ada jurang penyesalan yang lebar dari dalam hatinya telah menikahi gadis ini yang justru membawanya ke dalam lubang kesengsaraan. Padahal sebelumnya, mungkin dia adalah wanita yang bebas dan bahagia. Tetapi untuk melepasnya, juga bukan hal yang mudah. Yudha menikahinya dengan sah, itu artinya dia mempunyai tanggung jawab untuk membimbingnya dan melindunginya sebagaimana yang dia janjikan terhadap Tuhannya.
Ponsel Yudha berdering melepas pertautan jari mereka. Yudha memasang headset di salah satu telinganya setelah mengangkat panggilan. “Ya? Gimana Di?”
“Umi Ros sakit. Masuk rumah sakit hari ini,” jawab suara dari seberang.
“Ya, aku sedang dalam perjalanan pulang sekarang. Kamu tahu dari siapa?”
“Rahma yang memberitahuku barusan. Siapa yang memberimu kabar?”
“Alif tadi sore.”
“Sudah sampai mana kamu jalan?”
“Ini sudah sampai di alun-alun kota.”
“Apa aku perlu menyusulmu?”
“Untuk apa? Tidak usah. Kamu nikmati saja malammu. Umi Ros hanya tensi rendah saja, sudah biasa beliau seperti itu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa menghubungiku segera. Oh, iya, dengan siapa kamu pergi? Apa gadis itu kamu bawa juga?”
“Dia istriku,” jawab Yudha pelan namun tegas.
Mendengar Yudha menyebut nama istri membuat Vita menunduk. Semua orang di sana, pasti akan menyalahkannya setelah ini, batinnya menduga-duga.
“Aku hanya bisa mendoakan agar kamu baik-baik saja dan bisa menyelesaikan masalah ini.”
“Iya, terima kasih Di. Perihal utang-piutang nanti aku urus kalau sudah sampai ya. Kalau ada kabar baik dengan ponsel dan dompetku, tolong kamu urusi dulu.”
“Kalau identitas mungkin—ya aku bisa bilang mungkin, bisa diselamatkan. Tapi kalau untuk yang lain, tolong jangan terlalu berharap.”
“Aku hanya berharap semoga pelaku bisa segera di amankan supaya ada efek jera untuk mereka. Karena sepertinya mereka memang bekerja sama.”
“Ya, begitulah. Sepertinya memang harus ada pencerahan juga di sana. Desa itu sudah sangat parah, peradabannya sudah semakin terpuruk, bodoh dan miskin. Kepercayaan nenek moyang mereka yang turun temurun itu salah kaprah dan semakin menyeret mereka mundur lebih jauh.”
“Terserah saja mau kamu apakan desa itu.”
“Aku ingin meledakkannya,” kata Jodi seraya tergelak setelahnya. “Supaya tidak ada keturunan-keturunan dajal seperti mereka lagi.”
Yudha terkekeh geli mendengarnya. Sesaat setelah sambungan telepon dimatikan, Yudha menoleh melihat Vita. Entah dia sedang tidur atau hanya sekadar memejamkan mata. Tetapi Yudha tidak ingin mengganggunya. Dia kembali fokus menyetir.
Di atas kecepatan rata-rata, mobil itu meluncur membelah pekatnya malam. Dua kali mereka berhenti di rest area untuk beristirahat sejenak dan melakukan kewajibannya sebagai umat muslim. Hingga beberapa jam berlalu, akhirnya mereka telah sampai di daerah Jakarta timur dengan selamat. Tepat di rumah besar dengan pilar-pilar yang tinggi itu mobil berhenti. Satu orang penjaga agak tua dan botak, membuka gerbang rumah itu.
“Kita sudah sampai,” kata Yudha memberitahu.
Gamang, Vita terlebih dahulu menunggu Yudha turun, sebelum dirinya.
“Alhamdulillah, akhirnya Mas Yudha pulang juga,” ucap security dengan sangat senang.
Dunia masih terlihat remang-remang, oleh karenanya Yudha melihat pria paruh baya botak tersebut masih menguap-nguap lebar.
“Mengganggu orang istirahat ya, Pak?” tanya Yudha.
“Sama sekali tidak, Mas. Ini kan sudah jam empat juga. Jadi sekalian saya bangun.”
“Kita turun,” ujar Yudha kepada Vita.
Security tersebut melonggokkan kepalanya ke dalam agar lebih melihat dengan jelas siapa yang datang bersama majikannya. “Eh, ada orang di sebelah sana, toh?”
“Ya, ini istri saya,” jawab Yudha tanpa keraguan.
Pria agak tua tersebut tampak kaget sehingga saat Yudha menjawab demikian, matanya agak sedikit di belalakkan. “Wah, sudah menikah? Selamat, ya, Mas. Selamat.”
“Iya, terima kasih, Pak. Tolong turunkan barang-barangnya ke kamar saya, ya.”
“Siap, Mas.” Seraya memeri hormat.
Keduanya turun dan saling bergandengan. Yudha menggenggam erat tangan Vita untuk memberikan kekuatan dan memberinya rasa percaya, bahwa dia selalu ada di dekatnya.
Wajah Vita benar-benar pucat. Yudha menyadari itu. Tangan yang dia genggam pun terasa basah karena keringat dingin. “Kamu tidak perlu merasa setakut itu.”
“Tapi tetap saja,” jawab Vita dengan suara pelan.
“Assalamualaikum.” Sesampainya di ruang tamu, keduanya langsung disambut oleh Alif.
“Waalaikumsalam, Bang,” jawab Alif mendekat. “Abang sehat?” keduanya berpelukan melepas kerinduan dan saling menatap.
“Alhamdulillah Abang sehat.”
“Kamu jadi hitam begini Bang?” tanya Alif melihat perbedaan Abangnya yang sudah tidak ia lihat selama kurang lebih dua minggu ini.
“Iya, padahal tidak terlalu sering panas-panasan. Mungkin udara di sana berbeda dengan udara di sini,” jawab Yudha menjelaskan.
Untuk sesaat, Alif belum menyadari ada seseorang di sebelahnya. Namun kini pandangan mereka bertemu. “Ini?” kata Alif bermaksud menanyakan siapa dia.
“Ini kakak iparmu,” jawab Yudha pasti.
“Ipar?” tanyanya dengan raut wajah sangat terkejut. Dan entah sejak kapan, tak jauh dari Alif berdiri, terlihat wanita anggun nan cantik membungkam mulutnya untuk menahan isak sesaat setelah mendengar kenyataan menyakitkan itu.
“Rahma!” Yudha memekik tertahan. Dia juga sama-sama terkejut. Jantungnya seperti terjatuh saat itu juga. Tenggorokannya tercekat dan kakinya berat untuk digerakkan. Dia tak menyangka bahwa Rahma sedang menginap di rumahnya. Wanita itu tidak berkata apa pun. Serampangan langkah kecilnya berlari menerobos dirinya dan juga Vita. Menuju ke luar.
Yudha mengejarnya tak kalah cepat tanpa memedulikan bahwa ada perasaan yang harus dia jaga sekarang.
Sampai di pos security, Rahma menyeru, menolak untuk didekati. “Stop!”
Yudha berhenti. Mereka berhadapan dalam jarak tak lebih dari dua meter.
Wanita itu berdiri menahan sesak. “Lima tahun aku menjaga diri hanya demi kamu, Kak. Tapi hari ini kamu patahkan dengan mudahnya.”
“Beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.”
Rahma menggeleng. “Jangan dekat-dekat. Kamu suami orang sekarang.”
“Kamu masih berada di sini,” kata Yudha menunjuk dadanya.
“Bohong. Kalau iya kamu tidak akan mengkhianatiku.”
“Sudah kubilang aku—”
Rahma langsung menyela. “Jangan bilang kalau apa yang terjadi padamu itu terpaksa, kalau akhirnya kamu ... tidur bersamanya,” katanya dipelankan di akhir kalimat.
“Lalu aku harus melampiaskannya kepada siapa?” jawab Yudha agak menyentak. “Dia sudah sah menjadi istriku.”
“Itu artinya kamu menyukainya,” Rahma mengusap air matanya dengan punggung tangannya.
“Sudah kubilang kamu butuh penjelasanku.”
Namun Rahma tak mengindahkan perkataannya.
“Tidak, Kak. Mau bagaimana pun kamu menjelaskan. Kalian sudah menikah. Aku bisa apa?” ujarnya dengan raut wajah yang menyedihkan. Yudha benar-benar sangat merasa bersalah. Entah bagaimana caranya bersikap, menghadapi masalah sebesar ini.
“Sudah aku duga sebelumnya bahwa kamu memang ada apa-apa di sana. Tapi bodohnya aku sangat mengkhawatirkanmu. Menunggumu untuk menghubungiku dan memikirkanmu tiada habisnya. Tanpa aku tahu, bahwa yang sedang kukhawatirkan ternyata sedang menikmati malamnya dengan istrinya.”
Yudha menunduk mengingat serangkaian kesalahannya, dia tak bisa berkata apa-apa lagi karena semua itu memang benar adanya. Dia memang menikmati hubungannya dengan Vita. Rasa sayang kepada wanita itu juga sudah mulai tumbuh untuknya.
“Semua sudah berakhir dan Jangan temui aku lagi,” kata Rahma lagi sebelum akhirnya wanita itu pergi menaiki motornya, melaju cepat meninggalkan Yudha yang berdiri kebingungan seorang diri.
Beberapa menit Yudha dalam kondisi seperti itu. Untuk sesaat, timbul keinginan untuk bunuh diri. Pemikiran yang konyol sebenarnya, tetapi begitulah yang dia rasakan sekarang. Otaknya menjadi buntu dan sempit. Hingga tak berapa lama, dia merasakan sebuah tepukan mendarat di pundaknya. Yakni tangan kanan adiknya, Alif noran.
“Sejak kapan Rahma di sini?” tanya Yudha tanpa menoleh.
“Sejak mendengar Abang mau pulang malam ini.” Alif tampak kecewa sekali padanya, namun tidak bisa mengomentari apa pun karena belum mendengarkan cerita yang sejelas-jelasnya.
Tetapi Alif sangat tahu, bahwa Abangnya tidak mungkin berbuat hal yang tercela. “Selesaikan segera masalahmu agar tidak terlalu berlarut-larut.”
Yudha mengangguk, kemudian bertanya, “Abah ke mana?”
“Beliau berjaga di rumah sakit. Aku disuruh pulang untuk menyambutmu.” Itu terakhir kali mereka berbicara, sebelum akhirnya Alif berlalu dari hadapannya.
Sementara di ruang tamu, seorang perempuan duduk sendirian. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan dia saat itu. Tetapi yang jelas, dia sangat terpuruk. Apalagi saat mendengarkan sepintas obrolan suami dan kekasihnya di pelataran rumah. Sebagaimana pun Vita menguatkan diri, namun kata-kata ‘pelampiasan’, tidak bisa diterima begitu saja di hatinya. Dan atas kesalahpahamannya berpikir, dia menganggap dirinya hanyalah sebuah pelampiasan. Dan itu tertanam sangat dalam di hatinya, dari saat ini hingga selamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Nana
😭💔
2023-06-17
0
Ibu Dewi
y untung yuda g ngebohong ngaku terus terang bahwa pvita istri nya meteka sudah kawin walo dia sama rahma cinta juga cinta pertama nya dan sebentar lgi mau kawin tapi berterus terang apa ada nya g nugup nutupin
2023-06-17
0
call me handsome
bagus rahma, untuk mencegah hal2 tidak diinginkan kalo cowok x gak tegas , rahma aja yg tegas, toh rahma gak kurng suatu apapun gak d rugi, dri pada rebut suami orng, nanti dpt penilaian jelek . ya walaw Beben mental tanggung sendri, kuat2 hti.
2022-12-04
0