Yudha sontak menyeru nama Vita pada saat tubuh Vita ambruk di pelukannya. Tubuhnya yang tidak siap tertimpa beban secara mendadak tersebut sempat terhuyung mundur. Beruntung dengan sigap dia dapat menguasai keadaan. Kemudian dengan segera Yudha membaringkan tubuh istrinya ke atas ranjang.
Dilihatnya lama-lamat wajah istrinya yang sudah pucat pasi itu. Entah sedari kapan keadaan Vita seperti ini karena akhir-akhir ini ia tak terlalu memperhatikannya. Tidak dapat menanganinya sendiri, Yudha segera memanggil Bi Retno untuk membantu menyadarkannya.
“Iya, Mas. Ada apa?” tanya Bi Retno bersamaan dengan tubuhnya yang muncul di depan pintu. Disusul oleh Uminya yang kebetulan mendengar pekikan suara putranya dari atas sana.
“Ada apa ini, Nak?”
“Vita pingsan, Mi.”
“Biar saya saja, Bi. Bibi tolong ambilkan minyak saja, ya.”
“Baik, Bu.” Bi Retno gegas berlalu untuk mengambilkan benda yang Ros perintahkan.
“Kenapa bisa pingsan begini?” tanya Umi kepada Yudha. Namun tidak mendapat jawaban karena pria itu terlalu bingung untuk menjelaskannya. Lagi pula memang tidak sepantasnya masalah pribadi seperti ini terdengung di telinga Uminya. Jelas tidak ada urusannya sama sekali.
“Kamu juga kapan sampai? Baru sehari kok sudah pulang. Khawatir sama keadaan istrimu?” tanya Umi Ros lagi.
“Apa perlu Yudha bawa ke RS?” Yudha mengalihkan pembicaraan.
“Tidak perlu sepanik itu ... mungkin dia hanya dehidrasi saja.”
Berbeda dengan Yudha yang begitu panik, wajah Umi malah tampak biasa-biasa saja tanpa ada ketakutan sedikit pun. Yudha baru menyadari bahwa dirinya memang sedang sangat berlebihan.
Sesaat setelah Bi Retno kembali, Umi Ros memijat kening Vita, mencondongkan botol minyak kayu putih tersebut ke hidung menantunya. Berkali-kali beliau melakukan itu sampai akhirnya upayanya berhasil membuat Vita membuka mata.
“Alhamdulillah,” ucap Umi tersenyum. Pun dengan Yudha yang juga sama-sama bersyukur meski terucap di dalam hatinya saja. “Ambilkan minum, Nak!” titah Umi Ros kepada Yudha. Kemudian meminta Vita untuk menghabiskan minum tersebut.
Setelah membantu menaikkan bantal agar posisi kepala menantunya menjadi lebih tinggi, Umi bertanya. “Kenapa Vita bisa sampai pingsan, pusing?”
“Iya sedikit, Mi,” jawabnya dengan suara lirih.
Umi tersenyum dan mengusap rambutnya. “Cepat sarapan ya, habis ini. Minum yang banyak biar tidak dehidrasi.”
Vita mengangguk dan tersenyum hingga memperlihatkan lesung pipitnya yang begitu manis. Binar matanya menyampaikan bahasa terima kasih karena beliau sudah mau menyayanginya. Dia seperti melihat mendiang ibunya berada di sini. Sekelebat bayangan itu membuat Vita menjadi rindu wajah ibunya sendiri.
“Ya sudah, Umi mau ganti baju dulu. Bu keringat, habis olahraga sama Abah.”
“Makasih, Mi.”
“Sama-sama ... istirahat ya. Supaya cepat sembuh,” ujarnya lagi sebelum akhirnya wanita dengan hijab menutupi lekuk tubuh itu meninggalkan mereka berdua.
Vita menatap Yudha yang sedari tadi berdiri tanpa bergerak. “Aku mau pulang ... apakah boleh?” lirihnya setengah memohon.
“Pulang ke mana?” tanya Yudha. Pria itu mendekat dan duduk di hadapannya. “Ini rumahmu.”
“Bukan ... ini bukan rumahku.”
“Sudah, pikirkan kesehatanmu dulu. Nanti baru kupikirkan lagi,” jawab Yudha. Pria itu terlihat tak terlalu menanggapi permintaannya. Selanjutnya dia malah gegas keluar dari kamar tanpa mengatakan apa pun lagi.
Vita mendesahkan napasnya. Dia benar-benar seperti burung yang ada di dalam sangkar. Tidak bisa pergi ke mana-mana lagi terkecuali melihat dinding-dinding penghalang yang bisu.
Tapi siapa menduga, beberapa menit kemudian Yudha kembali dengan membawa nampan di tangannya. Di atasnya terlihat beberapa jenis makanan; berupa nasi beserta lauk pauk.
“Sarapan dulu, ya,” bujuk Yudha meminta Vita untuk membuka mulut.
Vita menggelengkan kepala. “Aku hanya ingin pulang, itu saja.”
“Jangan kekanakan Vita!” Yudha kembali meletakkan sendoknya ke atas piring. “Aku bilang nanti.”
“Aku malas makan. Aku ingin pulang.”
Hampir saja Yudha hilang kesabaran. Pria itu berdiam sejenak untuk menguasai dirinya lagi agar bisa lebih sabar dalam menghadapi kelakuan istri pertamanya saat ini. Dalam hati ia berharap, jangan sampai Rahma berkelakuan demikian juga, karena lama-lama bisa membuat rambutnya menjadi keriting.
Ah, iya. Tetapi Yudha baru ingat. Sesungguhnya Vita memang masih sangat kekanakan. Siapa yang mengira, jika Yudha dan Vita berdua berjalan bersisian—lantas mengira bahwa Vita adalah istrinya? Karena yang tampak adalah seperti adik perempuannya. Dan entah karena sebab apa—jika dilihat secara lamat, keduanya memang mempunyai kemiripan!
Setelah berbagai upaya Yudha membujuk, akhirnya Vita mau menelan makanannya meskipun masih sedikit tersisa. Badannya sedikit hangat, mungkin oleh karena sebab itulah Vita menjadi kurang naf su makan.
Hari itu berlalu begitu membekas. Entah kenapa, waktu berlalu begitu cepat ketika Vita sedang bersama suaminya. Saat ia sedang terbuai dengan semua perhatiannya, pria itu sudah harus pergi lagi meninggalkannya sendiri.
Keadaan ini mungkin akan terasa lebih baik jika suaminya pergi ke tempat lain namun tidak bersama dengan siapa pun. Maka dengan segenap hati Vita akan berlapang dada meski harus menahan rindu. Tetapi yang membuatnya menjadi nyeri ialah, dia pergi ke tempat istri keduanya, menikmati malamnya di sana. Melebur dengan wanita itu.
Seperti hari kemarin lagi, pada saat malam menjelang, Vita akan termenung sendirian. Merintih setengah bersujud di lantai seraya memohon agar selalu diberi keluasan hati untuk menerima kenyataan hidup ini. Sesekali dia membuka jendela, melihat orang-orang dari atas sana sembari bertanya-tanya; adakah yang bernasib sama sepertinya?
Dan celakanya, siksaan itu masih juga belum berakhir dan justru datang bertambah parah. Karena pada saat keesokan harinya, Yudha malah membawa madunya masuk ke dalam rumah ini dengan membawa koper besar!
Orang yang seharusnya Vita hindari sejauh mungkin, kini malah berada di hadapannya. Berani menatap mukanya dan terang-terangan menunjukkan betapa bahagianya hidup mereka. Terlebih, yang membuat Vita begitu muak adalah tatapan Yudha yang selalu lebih lama kepada istri keduanya.
“Apa maksudmu begini, Mas?” tanya Vita ketika dia mengajak suaminya masuk ke dalam kamar, untuk berbicara empat mata.
“Dia akan tinggal di sini juga,” jawab Yudha yang seketika langsung disela oleh istrinya.
“Kalau seperti ini caranya, bagaimana kami bisa mendapat keadilan masing-masing?” tanyanya dengan suara tinggi. “Belum cukupkah kamu menyakiti aku?”
“Aku belum selesai berbicara!” kata Yudha tak kalah meninggi.
“Kamu sengaja melakukan ini untukku hah?” Vita mendorong tubuh Yudha agar pria itu selangkah mundur dari hadapannya. Sedang jari telunjuknya menunjuk tepat di depan wajahnya untuk menyudutkan pria itu. “Pernahkah kamu bertanya—sekali saja, bagaimana perasaanku yang harus menerima semua jenis perlakuanmu?!” pekiknya lagi begitu nyaring.
“Turunkan nada suaramu. Sadari, sedang berbicara dengan siapa kamu saat ini.” Dada Yudha kembang kempis menahan gejolak amarah yang melanda. “Rahma hanya sebentar tinggal di rumah ini. Rumahnya sedang di renovasi,” sambung Yudha lagi masih dalam batas kesabarannya.
“Tapi dia bisa tinggal di penginapan, tidak harus tinggal di sini. Apa begitu sempitnya kota Jakarta sehingga kamu tidak menemukan satu pun tempat penginapan? Atau perlu kutunjukkan tempatnya? Beritahu aku, aku bisa memberitahumu.”
“Apa aku harus membiarkannya tidur di tempat penginapan, sementara suaminya mempunyai rumah yang luas? Tolong bersabarlah sedikit, saja!”
“Katakan saja dia sengaja melakukan ini untuk membuatku pergi dari sini. Tentu saja karena aku akan muak melihat kemesraan kalian nantinya.”
“Apa hanya masalah seperti ini saja membuatmu sangat marah?”
“Tidak usah kamu tanyakan juga seharusnya kamu tahu ini menyakitiku.”
“Ya Allah ...,” geram Yudha begitu kesal. “Harus dengan apa aku menjelaskannya agar kamu mengerti? Apa aku harus menyertakan tulisan agar kamu paham? Apa aku harus menggunakan bahasa lain, atau menggerakkan tubuhku, atau melompat-lompat agar penjelasanku lebih gamblang dan sampai di kepalamu?! Ini hanya sementara. Sementara!”
“Aku membenci kalian berdua!”
PRANG!!
Gelas terlempar dari tangan Vita hingga membentur lantai dan menimbulkan pecahan. Dua puluh tahun umurnya, baru sekali ini dia memecahkan barang. Itu tandanya dia sudah sangat marah sekali.
Yudha menatapnya dengan sorot mata kecewa sekaligus tak percaya. Dia memang mengetahui persis bagaimana istrinya yang memang tegas dan sedikit keras kepala. Namun inilah sisi lain yang baru diketahuinya sehingga membuatnya tak habis pikir. Di depan suaminya, dia berani berbuat demikian. “Kamu memang berbeda dengannya.”
Duar!
Kendatipun kata yang keluar memang bernada rendah namun begitu menyakitkan. Niscaya tidak ada satu pun wanita yang sanggup untuk dibandingkan oleh suaminya sendiri. Terlebih wanita itu adalah istrinya yang lain.
Vita tersenyum miris. “Oh, ya jelas, karena kami memang bukan wanita yang sama. Aku berbeda dengannya.” Lagi-lagi Vita menggeleng menahan perih. “Aku bukan wanita salihah seperti ‘dia’. Aku sangat jaaaauh sekali dari kenyataan garis lurus itu. Dan aku lebih senang kamu menduganya demikian karena aku bukan orang yang pandai berpura-pura.”
Yudha terdiam. Dia tertohok dengan ucapan istrinya barusan. Karena memang demikian adanya. Bahkan dengan berteman selama bertahun-tahun pun, tidak bisa membuatnya mengenal dengan baik, seperti apa keluarga Rahma yang sebenarnya.
Malam ini Yudha tidak mendatangi istri mana pun. Di dalam kesendiriannya, Yudha merenung. Dia terus memikirkan kata-kata itu meskipun dia tak kunjung mendapatkan jawabannya. Semua yang terlihat dari kedirian Rahma begitu baik tanpa cacat.
Terbetik dalam benaknya untuk menceraikan keduanya dan memulangkan mereka ke rumah masing-masing. Untuk sesaat, dia menyesal telah hidup di dunia ini dan mengenal mereka berdua!
***
To be continued.
Follow ig otor yuk. Ana_miauw.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Sri Watigustami
makanya jd laki2 jgn serakah,mampus km.
2024-01-19
0
Nor Chayati
😭😭😭😭baru sampe sini udaj ga kuat....
kasisn vita...😭😭😭
2023-09-28
0
Ibu Dewi
y g adil dong llebih baik cerai ksn dua dua nya biar ada jangan ada yang di pilih kalo pilih salah satu na yang satu nya sakit hati dong dosa juga karna g adil kebih baik lepas kan dua dua nya biR adil g ada yang sakit hati aman beres sudah
2023-06-18
0