“Apa kau sudah memikirkannya matang-matang keputusan besar ini?” tanya Umi ketika mendengar penuturan putranya yang hendak menikah lagi.
“Sudah, Mi,” jawab Yudha dengan pasti. Melihat ekspresi wajah beliau yang biasa-biasa saja membuatnya lantas bertanya, “Umi tidak kaget atau marah?”
“Untuk apa marah?” tanyanya seraya tersenyum dan menatap teduh seperti biasa. “Kalau boleh jujur, terus terang sebenarnya Umi lebih kaget saat mendengar kau sudah menikah di sana dengan wanita lain selain Rahma. Umi tahu bagaimana kalian tanpa kau ceritakan. Umi juga lebih tenang kalau kau menikah dengan Rahma—seperti rencana keluarga kita sebelumnya. Karena walau bagaimana pun kita sudah mengenal mereka dengan baik. Tapi apa mau dikata, kita juga tidak bisa menolak saat kau membawa Vita pulang ke rumah ini, dan kami akan tetap menerimanya dengan baik sebagaimana mestinya seorang menantu. Melindungi dan menyayanginya juga seperti anak kami sendiri.”
“Terima kasih atas pengertiannya Umi.” Yudha tersenyum.
“Bagaimana dengan Vita, apa kalian sudah membicarakannya?”
“Vita sudah tahu, Yudha ada hubungan dengan Rahma sebelumnya. Tetapi dia belum tahu tentang keputusan ini.”
“Sudah semenjak semalam kau belum menemuinya, kasihan dia menunggumu. Dan terus menghubungimu. Ke mana saja kau semalam?”
“Yudha butuh waktu untuk sendiri,” jawab Yudha tanpa ingin mengatakan bahwa dia telah menginap di Stasiun untuk menenangkan diri. Demikian memang tidak seharusnya diungkapkan lantaran bisa membuatnya malu.
“Tapi lain kali jangan seperti itu, kamu bisa memberinya kabar walau hanya mengatakan bahwa kau sedang baik-baik saja,” Ujar Umi seraya mengusap-usap punggung tangan putranya. “Keluarlah setelah ini, ajaklah dia berbicara.”
Yudha mengangguk.
“Apa Ibu Nely marah padamu?”
“Awalnya iya. Sangat wajar sekali bila mereka marah. Tapi sekarang sudah tidak lagi setelah Yudha jelaskan.”
“Abah pasti akan kaget mendengar keputusanmu ini, tapi kami juga tidak bisa berkata apa pun apalagi melarangmu, karena ini pilihan hidupmu. Sebagai orang tua, kami hanya bisa menasihati, mengarahkan yang terbaik. Umi percaya padamu, apa pun keputusan yang akan kauambil, pasti sudah kaupikirkan baik-baik dan tahu segala konsekuensinya.” Untuk kali ini Umi Ros lebih menekankan kalimatnya. “Ingat. Dua istri tidak selalu membuat semua pria bahagia karena mempunyai kamar yang berbeda. Semua manusia mempunyai sifat cemburu yang besar.”
Yudha terdiam, sebab menyimak semua penjelasannya.
“Umi sayang dengan mereka berdua. Rahma dan Vita adalah gadis yang baik. Umi tahu kau sangat mencintai Rahma, tapi Umi harap kau tetap berlaku adil kepada mereka. Meskipun itu sulit, berusahalah sebisamu.”
Yudha mencium tangan Uminya. “Mohon doa restunya Umi. Semoga Yudha bisa seperti Abah yang adil terhadap Umi dan juga Umi Naya.”
“Ya, Umi merestuimu.”
Ya, Abah Haikal Al Fatir memang mempunyai dua istri. Hanya saja istri yang pertama telah meninggal beberapa tahun yang lalu karena usianya yang memang sudah renta. Berbeda dengan Yudha, Abah menikahi perempuan itu karena ingin menolongnya—lantaran beliau adalah seorang janda tua, tak punya anak dan hidup terlunta-lunta.
Sedangkan Yudha? Tidak bisa dijelaskan alasan apa yang tepat untuk pria itu menikah lagi. Karena sekadar rasa kasihan, atau cinta? Atau karena naf su semata?
Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Jeda sekitar beberapa puluh menit, pintu kamar terdengar diketuk.
“Ya masuk!” seru Umi dari dalam.
Tak lama kemudian, perempuan berhijab menyembul dari balik pintu, “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Umi dan Yudha bersamaan. Yudha sontak berdiri membiarkan Rahma mendekati Uminya.
“Rahma baru tahu Umi pulang, tadi waktu Kak Yudha mengabariku lewat pesan,” ucap Rahma seraya meletakkan parsel buah ke meja yang luas. “Iya kan, Kak?” beralih menatap Yudha, menunggu jawaban.
“Iya.” Yudha tersenyum.
“Kalau tahu dari pagi, Rahma sudah datang ke sini sama Ibu.” Perempuan itu menyalami calon mertuanya dan mulai mengobrol seperti biasa.
“Ibumu mau datang ke sini?” Umi Ros bertanya.
“Iya, tapi sepertinya besok, Mi. Oh, iya Umi sudah makan sama minum obat?”
“Belum, tadi Vita sedang mengambilkannya. Tapi sepertinya dia sedang sibuk, sampai sekarang dia belum kemari lagi.”
“Ya sudah, biar Rahma saja nanti yang mengambilkannya. Tapi sudah mendingan kan badannya?”
“Alhamdulillah sudah.”
Sementara mereka bercakap-cakap, Yudha keluar dari kamarnya, mencari keberadaan Vita. Namun sayang, dia tidak menemukan istrinya di mana pun apalagi di kamarnya. Sehingga dia memanggil Bi Retno untuk menanyakan keberadaan Vita.
“Ada di mana dia, Bi?”
“Dia ada di atas, Mas. Di kamar kosong.”
Yudha mengangguk, berniat akan menyusulnya. Tetapi langkahnya dicegah oleh Bi Retno.
“Mas Yudha!” katanya seraya menggelengkan kepala. Membuat Yudha menatapnya dengan menaikkan satu alisnya. Seolah sedang bertanya ‘kenapa dan ada apa dengannya?’
“Non Vitanya lagi sedih, tadi sudah pesan sama saya, supaya jangan diganggu dulu. Permisi, Mas,” ujar Bi Retno lagi sebelum akhirnya beliau undur diri dari hadapannya.
Yudha kembali ke kamarnya sendiri untuk membersihkan diri. Namun pada saat dia membuka lemari untuk mencari baju ganti, Yudha langsung menyadari bahwa tas Vita tidak tersimpan lagi di sana. Itu artinya, Vita memang sudah tidak ingin tidur di kamar ini lagi.
“Maumu apa Vita?” gumamnya dengan gigi yang mengerat. Menahan emosi yang melanda.
Sampai malam hari tiba, Yudha masih belum menjumpai Vita keluar dari kamar itu, sehingga menjadi buah pertanyaan untuk Abah ketika mereka sedang berada di meja makan.
“Mana istrimu? Kenapa tidak kau ajak makan malam bersama?”
“Vita ada di kamar, Bah. Mungkin sedang ingin sendiri.”
Abah mengangguk mengerti. “Dia masih sangat muda. Egonya masih terlalu tinggi dan emosinya masih belum stabil. Dia sedang menunjukkannya padamu dan hanya butuh perhatianmu, itu saja.”
“Iya, Bah.”
“Punya satu bini saja bikin pusing, ini cita-cita masih mau tambah lagi,” dumel Alif tak kuasa diam melihat kerumitan Abangnya sendiri. “Abang tahu kenapa kendaraan bermotor mempunyai rem?” semua terdiam mendengarkan Alif bicara. “Rem digunakan untuk mengatur laju kendaraan yang dikendarainya. Salah satunya berguna untuk menghentikan perputaran, agar tidak menabrak kendaraan lain kalau sewaktu-waktu ada yang memotong mendadak. Begitu juga dengan manusia yang diberikan oleh Allah, sifat pengendali.”
“Alif!” sebuah peringatan dari Abah membuat alif terdiam. “Kalau tidak tahu, lebih baik diam,” lanjut Abah lagi.
“Merepotkan,” gumam Alif lagi melirik pria di sebelahnya dengan roman tak biasa. Sedangkan Yudha hanya mengabaikan saja ucapan itu berlalu. Ia tidak bisa mengatakan hal lain lagi—yang malah dapat memancing perdebatan lebih lanjut.
Usai makan malam, Yudha kembali naik ke atas. Tidak nyaman dijauhi demikian, Yudha menuju ke kamar yang sedang ditempati Vita saat ini. Setelah sebelumnya ia meminta kunci cadangan kepada Bi Retno.
Klek. Pintu terbuka membuat Vita agak terkejut melihat kedatangannya secara tiba-tiba. Perempuan itu sempat menatapnya sekilas, lantas segera mengalihkan pandangannya lagi. Mengabaikan Yudha yang masuk dengan bebas, tanpa peduli apa yang akan dilakukannya.
Sunyi.
Hanya ada jarum jam yang berdetak pertanda waktu terus berlalu. Menghitung jeda kesenyapan di ruangan ini tanpa ada satu pun yang mau mengawali pembicaraan.
“Mau sampai kapan kamu mau mengurung dirimu di kamar ini dan mendiamkanku?” tanya Yudha setelah kurang lebih lima menit kemudian. Pria itu duduk di pinggiran ranjang. Di belakang tubuh Vita yang sedang meringkuk menghadap ke arah jendela luar. “Kau juga membawa semua pakaianmu.”
“Biarkan saja aku di sini. Aku hanya ingin belajar, supaya aku terbiasa tanpamu. Karena ke depannya, pasti waktuku akan terbagi dengan perempuan lain ... di kamarmu.”
Yudha mengusap wajahnya. Mengingat rentetan kesalahannya. “Dari siapa kamu tahu?”
“Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri,” jawab Vita. Kemudian melanjutkan, “Pergilah. Aku hanya ingin sendiri. Untuk beberapa hari ini saja, tolong jangan temui aku dulu.” Vita menutup selimutnya sampai ke batas dada, lantas memejamkan matanya untuk melupakan semua masalah yang menimpa dirinya.
***
Beberapa hari berlalu tak biasa bagi Vita yang lebih bungkam daripada biasanya. Hubungan yang awalnya terasa manis madu kini sudah terasa sepahit empedu.
Tidak ada kata-kata yang terlontar dari bibir Yudha untuk sebaris kalimat maaf pun tentang serentetan kesalahan yang dilakukannya. Mulai dari tidak pulang selama semalaman suntuk, tidak bisa dihubungi, dan rencana akan menikah lagi. Vita diam Yudha pun sama-sama demikian.
Apa hanya beberapa hari pindah ke rumah ini lantas mengubahnya menjadi pria yang tidak tahu diri? Apa dia terlalu pengecut walau hanya sekadar mengucapkan kata maaf?
Yudha mengerti sikap seperti ini tidak bisa dibenarkan selain bisa membuat luka hati Vita menganga semakin lebar. Namun ia juga tak kuasa melepas keduanya. Perasaan itu memang aneh, sulit dijelaskan dan tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali dirinya sendiri.
“Dia ada di atas sekarang, temuilah dia,” ucap Yudha diangguki oleh Rahma. Hari ini Yudha berniat untuk mempertemukan mereka berdua, agar mereka saling mengenal.
Keduanya langsung mendapati Vita ketika mereka sampai di lantai dua. Perempuan itu sontak menghentikan aktivitasnya membaca buku ketika melihat mereka datang.
“Vita,” panggil Rahma lebih dulu. Dia mendekat dan menatapnya dengan seulas senyum. Dan Vita pun membalasnya serupa.
Vita menatap Rahma dengan sekuat jiwa dan raga. Berusaha terlihat baik-baik saja di depannya. Timbul rasa iri yang begitu nyata, namun ia berusaha mengesampingkan perasaan itu.
‘Pantas Yudha sangat mencintainya. Rahma begitu sempurna. Tidak ada satu pun bagian dari tubuhnya yang kurang dalam penilaianku sebagai seorang perempuan, apalagi kaum laki-laki. Ah, apalah aku ....’
“Kapan datang, Mbak?” tanya Vita basa-basi.
“Baru saja datang sama Ibuku. Sekalian beliau jenguk Umi,” jawab Rahma tak kalah ramah. Sementara Yudha menjauhkan diri, memberikan kesempatan mereka berdua untuk berbicara agar lebih akrab. Lain dari itu, ia juga tidak tega mengatakan perihal pernikahannya dari mulutnya sendiri.
“Eh, kamu panggil aku Mbak. Memangnya kita beda berapa tahun? Aku dua delapan.”
“Ya, kita beda delapan tahun,” kata Vita kemudian.
“Wah, aku sudah tua juga rupanya.” Rahma menyipitkan mata, tersipu dengan pengakuannya sendiri. “Oh iya, aku bawa kue ini, loh. Buat kamu, nanti coba ya.”
“Iya terima kasih.”
Agak lama mereka berbasa-basi walau sebenarnya terlihat sangat kaku. Tampak jelas di mata Vita bahwa Rahma berusaha mengakrabinya dengan maksud yang tentu saja Vita ketahui. Ini bagian dari rencana mereka agar ia dapat menerima keputusan besar suaminya untuk menikah lagi.
‘Kenapa? Kenapa tidak kau sendiri yang mengatakannya, suamiku? Kamu takut aku menolaknya?’ batin Vita seperti terimpit benda tajam. Bahkan dari yang Vita dengar, pernikahan mereka akan dirayakan besar-besaran.
Tidakkah Yudha berniat untuk mengesahkan pernikahan mereka lebih dulu secara negara? Ah, tapi Vita sudah tidak berharap hal itu lagi. Karena sudah ada niatan untuk pergi dari kehidupan mereka.
Semua yang tampak, terkesan sangat terburu-buru. Keluarga Rahma mempercepat tanggal pernikahan dari waktu yang sebelumnya ditentukan. Ataukah mereka takut kalau-kalau Vita bisa menggeser posisi Rahma di dalam rumah ini?
Vita diam saja membiarkan Rahma berbicara, dia hanya sekadar menanggapinya tanpa benar-benar mendengarkan secara lebih serius. Sebelum akhirnya, pembicaraan mulai masuk ke ranah inti.
“Maaf kalau ini menyakitimu, Vita,” kata Rahma menyela pembicaraan. “Aku pun sakit hati waktu kutahu, Kak Yudha membawa pulang seorang istri. Tidak terbayang bagaimana rasa sakitku waktu itu. Tapi mungkin sudah menjadi takdir kita ... harus berbagi suami.”
“Aku yang salah, tak seharusnya aku masuk ke dalam hubungan kalian.” Vita tak lagi dapat menahan derai air matanya. Di depan Rahma, dia terpaksa memperlihatkan kelemahan. “Seharusnya dari awal aku tidak terlalu berharap pada pernikahan ini.”
Rahma menggenggam tangannya, “Kita mencintai orang yang sama. Kumohon berbesar hatilah, seperti halnya aku yang mengalami kenyataan bahwa kalian sudah saling menyentuh lebih dulu.”
“Tapi kau beruntung, Mbak. Karena kau memiliki hatinya. Sedangkan aku?” Vita menggeleng pelan.
“Kita tidak bisa hidup dengan prasangka, kita juga tidak bisa mengukur seberapa dalam perasaan cinta seseorang kepada pasangannya dengan perkiraan kita sendiri. Karena semua itu bisa berubah seiring berjalannya waktu. Bisa jadi, kaulah nanti yang paling dicintainya.” Rahma tersenyum dan menggenggam telapak tangan Vita. “Tapi aku berjanji untuk tidak menanyakan itu. Sebisa mungkin kita harus menghentikan semua perasaan yang bisa membuat kita cemburu.”
Vita tidak tahu harus seperti apa menyikapi Rahma. Tetapi yang terlihat, dia tidak membawa serta dendamnya selain memeluknya dengan sangat tulus.
Semenjak kedatangan Rahma yang menemuinya, membuat Vita menjadi lebih akrab. Mungkin di depan keluarga—mereka terlihat baik-baik saja, namun di dalam hati masing-masing, mereka tidak bisa mengelak kenyataan bahwa mereka memiliki perasaan cinta kepada orang yang sama.
Tetapi bagaimana hubungan Vita dan Yudha?
Semenjak mengetahui bahwa Yudha akan tetap menikahi gadis pujaannya, rumah tangga mereka tidak lagi bisa dikatakan harmonis. Vita bersikap menjadi lebih dingin. Tidak ada lagi Vita yang dulu yang selalu malu-malu menggodanya. Pun dengan Yudha yang juga sudah sibuk dengan pekerjaannya lagi sehingga tak terlalu menyadari perubahan sikap ini.
Sudah Yudha pikirkan akan akibat atas apa yang akan dia lakukan. Tetapi pria itu berpikir bahwa kelak Vita akan terbiasa, seperti Uminya dulu.
***
“Sedang apa di sini?” tanya Yudha ketika mendapati istrinya sedang duduk di depan kolam ikan.
Tanpa menjawab, Via menunjukkan telapak tangannya yang terisi palet (umpan ikan), serta merta dia sebarkan kepada ikan-ikan yang berkumpul di depannya.
Yudha duduk di sebelahnya, menemaninya.
“Sebentar lagi hari pernikahan kalian akan tiba,” ujar Vita setelah terdiam beberapa saat. “Apa aku sudah boleh pergi?”
“Pergi, apa maksudmu?”
“Tidak cukupkah ada Rahma saja di sini?”
“Ini bukan soal cukup atau tidak cukup,” jawab Yudha dengan tak habis pikir. “Jangan rusak kebersamaan kita sekarang dengan pertanyaan ini.”
“Lalu aku harus bahas apa?” Vita menumpahkan umpan ikan itu secara asal-asalan untuk meluapkan emosinya. “Kau suamiku. Kepada siapa aku harus bercerita?” katanya lagi seraya mengusap pipinya.
Dan perdebatan pun, tak terelakkan. “Aku seperti terasing. Semua orang di sini sibuk membahas pernikahanmu dengannya yang akan kalian rencanakan secara besar-besaran. Apa aku pantas membahas masalah ini dengan mereka?”
Ada jeda sekitar beberapa menit sebelum Vita melanjutkan, “Tidakkah Mas Yudha ingat, statusku hanyalah istri siri. Sedangkan kalian memperlihatkannya secara nyata perbedaan ini. Ini tidak adil.”
“Ya, kau boleh hukum aku, apa pun itu ... asalkan jangan minta pergi dariku.” Yudha tidak ingin membela dirinya lagi yang jelas-jelas mempunyai peranan paling besar di dalam derita yang Vita alami.
“Sebagai manusia yang sedang di uji, aku akan mencoba menjalaninya sekuat yang aku bisa. Tapi ingat, jika suatu saat nanti aku tidak bisa bertahan. Aku akan pergi dan jangan pernah cari aku lagi. Karena mungkin itu yang terbaik untuk kita semua.” Vita semakin tergugu.
Yudha mengusap wajahnya. “Tolong jangan menangis, karena itu kelemahanku.”
“Ya, karena aku menangis jadi kamu merasa kasihan. Lalu membawaku ke sini untuk kau kasihani.”
“Tidak seperti itu, Vita. Aku pun mencintaimu.”
Vita menggeleng. “Kamu bohong. Itu hanya kalimat penenang. Kupikir, diriku ini tak lebih dari sebuah pelampiasan,” ucap Vita menatap mata Yudha yang juga telah berkaca-kaca. “Tolong jawab, apa kau membayangkan dia saat berhubungan denganku?”
“Itu tidak benar!” selak Yudha meninggi. “Kenapa kamu berpikiran seperti itu Vita?”
“Karena Mas Yudha menyebut nama lain di malam pertama kita.”
Yudha terdiam selama beberapa saat. Pria itu bingung. Itu terjadi di alam bawah sadarnya dan dia pun tidak mengerti kenapa itu bisa terjadi sehingga membuat ia semakin sulit meyakinkan Vita—bahwa cinta sudah mulai hadir untuknya.
“Aku tidak pernah membayangkan wanita lain saat berhubungan denganmu, Vita. Apa yang kaupikirkan tidaklah benar. Aku pun bahagia, menikmati saat-saat kebersamaan kita. Tolong jangan berkata seperti itu lagi.”
“Kamu sendiri yang membuatku sulit untuk percaya.”
“Harus dengan cara apa aku membuktikan bahwa cinta ini mulai hadir untukmu, Vita?” tanya Yudha sungguh-sungguh. Menatapnya dengan begitu lunaknya.
Namun Vita tetap tidak mempercayainya. Apa yang diyakininya telah tertanam dalam di hatinya. Dia hanya sebuah pelampiasan dan tidak lebih dari itu.
Demikian juga yang tampak di mata Alif di atas sana, yang tak sengaja mendengarkan obrolan mereka dan menilai; bahwa banci lebih terhormat karena jujur menunjukkan siapa dirinya daripada kakaknya: Yudha—seorang pria sejati yang penuh keculasan dan dusta. Yang secara serakah ingin memiliki dua cinta sekaligus dengan cara yang amat kampungan!
***
To be continued.
Yang gak kuat yok angkat tangan!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
strawberry
☝akuuuu...
2024-10-05
0
Sunarmi Narmi
Wanita mnapun tak sanggup untuk berbagi Vita...hnya Author yg mampu untk eksekusi akhir kisah ini...smg Vita bshagia...😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2023-06-18
0
Sholih Atun
sampai bab ini belum ada yg menarik..🙏🙏💪kak..
2023-06-17
0