Keduanya sudah sampai di depan rumah Vita. Rumah sederhana di tengah-tengah perkebunan salak. Tempatnya adem karena banyak sekali pepohonan. Sedangkan jarak dari satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh, pertanda bau-bau kemiskinan masih terasa. Suhu udara di sana sangat dingin. Yudha sempat mengira ruangan ini memakai AC, ternyata memang alami dari alam.
“Bagaimana dengan mobilmu?” tanya Vita kepada Yudha pada saat mereka masuk ke dalam rumah. Tetapi dengan kondisi Vita yang dipapah karena masih kesulitan berjalan.
“Sebelum pergi sudah dipinggirkan oleh pemuda-pemuda di sini.”
“Jadi kau meminta tolong dengan mereka?” tanya Vita dengan raut wajah tak biasa.
“Tentu saja aku meminta tolong mereka. Lalu siapa lagi? Hanya ada mereka waktu itu. Di sini sangat sepi sekali.”
“Mereka itu kumpulan pemuda nakal. Kamu lihat saja pakaiannya. Tiap hari pekerjaan mereka itu cuma menongkrong di depan warung sambil mengincar mangsa. Nggak pandang bulu. Laki, perempuan, atau orang tua sekalipun.” Vita menjelaskannya dengan raut wajah yang penuh dengan luapan amarah.
“Mangsa bagaimana?” tanya Yudha.
“Kamu itu pura-pura nggak tahu atau memang polos sih?” tanya Vita heran. “Mungkin saja dompetmu juga dicopet sama mereka.”
“Saya sudah mengira sebelumnya.”
“Lalu kenapa kamu diam saja?”
“Aku mengetahui dompetku hilang setelah mereka pergi. Ke mana aku harus mengejar?”
“Mereka harus diberi pelajaran!” kata Vita bersungut-sungut.
“Ya, terserah kau saja.”
“Kenapa terserah? Kau tidak sayang dompet dan ponselmu?”
“Lalu mau macam mana lagi, aku hanya sendiri, mereka banyak. Aku masih sayang dengan nyawaku.”
Vita hanya menatap Yudha sekilas, lantas mengalihkan pandangannya lagi setelah dia mengerti keadaan Yudha saat itu.
“Kudengar kau tinggal sendiri, Ayahmu meninggal?” Yudha melayangkan pertanyaan.
Vita mengangguk. “Beliau bunuh diri karena stres ditinggal mati istrinya.”
“Apa sangat tipis sekali iman orang-orang di sini sehingga kehilangan saja membuat mereka bunuh diri? Bukankah kita tahu, nyawa yang kita miliki pun bukan milik kita,” jelas Yudha menggebu-gebu. “Aku tak habis pikir dengan orang-orang di sini. Apa lagi dengan para pemudanya yang rusak-rusak itu.”
“Ya, begitulah,” jawab Vita tak ingin menjelaskan lebih lanjut. Dia sudah kenyang menghadapinya setiap hari dan tidak begitu mempermasalahkannya karena sudah terbiasa.
“Kamu seorang gadis, tinggal di sini sendirian dengan keadaan sekitarmu yang seperti ini. Memangnya tidak takut?”
“Justru mereka yang takut denganku,” kata Vita bersungguh-sungguh. Dari yang tampak melalui wajah dan penampilannya, agaknya Vita gadis yang berani.
“Berapa umurmu?”
“Apa perlu kujawab?”
“Aku hanya kasihan. Kamu masih muda tapi sudah tak memiliki orang tua.”
“Dua puluh,” jawab Vita singkat. Berbeda jauh dengan Yudha yang sudah berusia sangat matang.
“Lalu apa tujuanmu ke tempat ini?” Vita bertanya lagi.
“Aku mau ke rumah Kyai Hasyim asyari.”
“Kyai Hasyim?” ulang Vita bertanya. “Kyai itu ada di Desa sebelah,” jelasnya.
“Ya, aku tersesat.” Kemudian Yudha menjelaskan apa tujuannya ke tempat Kyai Hasyim. Perjalanan ini berawal dari Jakarta. Semalam, Yudha pergi tanpa memperoleh izin dari orang tuanya untuk pergi menemui Kyai Hasyim, mantan guru pesantrennya dulu ke sebuah desa yang ada di Jawa tengah. Selain untuk bersilaturahmi, dia di undang ke resepsi pernikahan salah satu teman laki-lakinya. Tetapi karena map di ponselnya sedang eror—membuatnya tersesat entah ke mana dan berakhir demikian.
“Mungkin ini akibat aku pergi tanpa izin dari kedua orang tua,” kata Yudha.
Bukan hanya Yudha, Vita juga menjelaskan bahwa dirinya seorang anak yatim piatu yang baru beberapa minggu ditinggal mati ayah dan ibunya. Ibunya mati karena penyakit, sedangkan ayahnya bunuh diri karena stres terlalu kehilangan istrinya. Oleh sebab itu, dia mencari nafkah sendiri dengan menitipkan kue buatannya ke warung-warung terdekat. Seperti apa yang dilakukannya hari ini. Tapi nahas, karena kejadian ini membuat dia tidak bisa melakukan pekerjaannya lagi sampai ia benar-benar sembuh dan kembali berjalan normal lagi seperti biasa.
“Aku akan secepatnya mencari bantuan,” kata Yuda kemudian yang sekarang sudah jauh lebih akrab dengan Vita.
Tetapi tentu saja tidak bisa melakukannya hari ini karena hari sudah mulai sore. Yudha baru akan pergi dari rumah itu keesokan harinya setelah semalaman ia tidur di ruang tamu dengan hanya memakai alas tikar.
“Kalau Mas Yudha mau menghubungi keluarga, sebenarnya aku punya ponsel walau ... jadul,” kata Vita dipelankan di akhir kalimat karena malu.
“Tapi aku tak menghafal satu pun nomor di keluargaku.”
“Payah.” Vita mencebiknya kesal. Ada-ada saja kelakuan aneh seperti dia. Masa, salah satu nomor keluarganya sendiri pun tidak hafal? Kalau sudah begini, repot sendiri ‘kan, akhirnya?
“Mas Yudha mau pergi sekarang?” tanya Vita setelah mereka selesai melakukan sarapan pagi.
“Iya, tunjukkan di mana rumah Pak RT di sini.”
“Pak RT di sini dungu dan agak tuli. Rupanya saja yang banyak omong, tapi otaknya kosong. Percuma saja Mas Yudha bertemu dengannya menanyakan banyak hal. Dia tidak akan mengerti.”
“Ya Allah. Kenapa nggak ada yang benar orang-orang di desa ini?” geram Yudha menahan emosi. “Jadi aku harus meminta tolong sama siapa?”
“Begini saja, Mas Yudha langsung ke rumah Kyai Hasyim saja. Mas Yudha jalan lurus, nanti kalau ada pertigaan belok kiri, ada perempatan lagi belok kanan, kalau ada perempatan lagi belok kiri, terus tanya saja sama warga setempat di mana rumahnya. Lumayan jauh dan maaf aku tidak bisa mengantarkanmu karena kondisiku belum pulih.”
“Pusing,” keluh Yudha membuat Vita terkekeh.
“Mas Yudha bisa naik ojek,” kata Vita kemudian. “Ada uangnya?” ucapnya berniat ingin membantu.
“Mungkin masih ada di mobil. Kamu tidak usah khawatir.”
“Jangan bohong karena merasa tidak enak denganku.” Vita menarik tangan Yudha dan memberikan uangnya kepada Yudha.
“Vita!” seru Yudha menolak.
“Ambil sajalah, aku malas berisik,” kata Vita santai.
“Tapi mungkin saja kamu sedang membutuhkannya.”
“Kamu lebih membutuhkannya,” kata Vita tak mau kalah. “Ambillah dan cepat cari bantuan. Supaya besok Mas Yudha tidak sakit lagi tidur di lantai seperti semalam.”
“Maaf Vita, aku sudah berkali-kali merepotkanmu. Terima kasih, Vita.”
Vita hanya berdeham.
Yudha keluar dari rumah setelah mengucapkan salam, namun nahas. Saat ia sedang memakai alas kaki, segerombolan warga di sana menghentikan aktivitasnya.
“Hei, mau ke mana kamu?” tanya salah satu dari mereka.
“Saya mau pergi, ada apa ya, Pak?” tanya Yudha tak mengerti.
“Apa yang kalian lakukan semalam? Tidur berdua satu rumah.”
Yudha langsung memotong, tak terima dituduh demikian. “Eh, jangan salah sangka dulu, Bapak-bapak. Saya memang menumpang tidur di sini, tapi kami tidur terpisah.” Jangankan berzina, saling mengenal saja tidak, batin Yudha ingin sekali melontarkan.
“Bohong!” celetuk salah seorang warga menggebu-gebu. “Kita seret saja dua orang ini ke Pak RT! Nggak bisa panen kampung kita kalau ada pasangan beginian dibiarkan!”
Mereka mempunyai kepercayaan, jika mendapati sepasang pemuda-pemudi yang berzina di desanya, maka semua warganya akan terkena sial. Tanah menjadi tidak subur dan tanaman menjadi tidak bisa dipanen. Padahal, murka Tuhan bukan hanya karena itu saja, tapi juga karena jauhnya jarak antara dahi dan tempat sujud. Pemahaman orang-orang ini jelas masih banyak yang keliru. Tidak ada sentuhan azan apalagi kajian, maka hampir semua warganya berkelakuan agak sedikit sesat.
Vita yang sudah mulai merasa tak nyaman tersebut langsung keluar. “Ada apa ini, Pak? Kenapa rame-rame?” tanyanya.
“Kalian berzina ‘kan semalam?”
“Jangan asal nuduh, ya!”
“Jangan percaya sama dia, Pak! Maling mana mau mengaku? Itu buktinya rambutnya basah!” salah seorang dari mereka menunjuk rambut Vita yang setengah basah.
“Saya memang keramas, tapi bukan berarti saya melakukan hal yang kotor. Hanya keramas saja tidak bisa kalian jadikan sebagai acuan bahwa kami telah benar-benar berzina,” jawab Vita membela diri.
Yudha langsung menyahut, “Biar saya jelaskan, Pak.”
“Alaaah, kami nggak percaya! Betul bapak-bapak?”
Semua berteriak menghakimi. Tanpa benar-benar bisa mengalah, akhirnya mereka tak kuasa untuk digelandang ke rumah Pak RT yang katanya dungu tersebut, lalu dinikahkan secara agama.
“Dasar desa gaib,” Yudha mengumpat setelah pernikahan itu benar-benar terjadi.
***
To be continued.
Dukung cerita aku dengan tap like dan love. terima kasih. IG @ana_miauw
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Rahmawaty❣️
Gini ni kaya sinetron ikan terbang😂
2023-06-17
1
Rahmawaty❣️
Lah klo bgtu knp dipilih jd RT😂😂
2023-06-17
0
Rahmawaty❣️
Akupun bgitu . Nomor sndri aja ga hapal..pdhl gmpang buat di hafalin tp gatau kayanya susah bnget hafalnya😆 cuma no suami yg hafal, krna itu no udh dari dlu dan gmpang😅
2023-06-17
0