Dari jauh mata memandang, terlihat kabut tebal terlihat turun ke bawah bukit. Panorama sejuk dan segar berbalut kenyamanan. Terhirup udara yang sangat luas tak terbelanga. Pemandangan hijau cerah pelengkap cangkupan indra. Sinar mentari itu menembus jendela rumah kecil, hingga penikmatnya mengu lum senyum. Seorang lelaki berparas rupawan itu menerawang. Hingga saat ini, ia belum percaya bahwa dia bisa tersesat di sini dan menjadi seorang suami dari gadis yang baru beberapa hari ini dia kenal.
Yudha menghentikan kegiatannya mengagumi sekitar, lantas menoleh ke belakang, memperhatikan istrinya yang tengah sibuk sendiri dengan makanannya. “Pagi-pagi sudah makan buah?”
“Ingin,” kata Vita menjawab. Satu buah jambu air sedang berada di tangannya yang sudah tergigit separuh.
Seperti biasa, saat pagi hari, pasti mereka berhadapan dengan minuman hangat untuk menghangatkan tubuh mereka yang kedinginan.
“Aku baru tahu kalau di Indo ada daerah sedingin ini.”
“Hmm.” Vita hanya berdeham. Baginya ini adalah pemandangan yang biasa dialaminya sehari-hari. Tapi bagi Yudha hal ini menjadi ketakjuban yang luar biasa.
“Kabut juga masih terlihat sangat tebal.”
Vita tak terlalu mengindahkan Yudha berbicara. Dia sibuk mengisi perutnya yang sudah sangat keroncongan. Energinya benar-benar terasa seperti terkuras karena aktivitas semalam.
“Sibuk sekali,” kata Yudha sambil terkekeh pelan.
“Mau?” Vita mengulurkan tangannya. Tapi Yudha menggeleng dan lebih memilih minum teh.
“Kamu petik dari mana ini?”
Tangan Vita menunjuk ke depan rumah.
“Oh yang itu? Memangnya bisa manjat pohon?”
Vita mengangguk. Dia terpaksa memanjat tadi, sebab jika buah yang masak sampai terjatuh ke tanah, maka akan hancur bentuknya. Beruntung pohon itu tak terlalu tinggi.
Keduanya sempat terlibat obrolan ringan yang sebenarnya tidak benar-benar Vita ambil ke dalam hatinya kecuali hanya sekadar menanggapi. Hingga pada suatu ketika, perbincangan Yudha menjurus tentang keberadaannya di sini yang dirasa sudah sangat lama.
“Aku sudah lima belas hari berada di sini,” ujarnya dengan raut wajah yang sendu. Pria itu menatap kosong serupa insan yang telah kehilangan banyak hal. “Sudah lama sekali aku menganggur. Banyak yang aku tinggalkan di sana. Pasti keadaan kantor juga sudah carut marut.”
Sontak Vita menghentikan makannya dan memilih untuk menaruh sisanya ke tempat sampah. Perasaannya mendadak menjadi tidak enak sehingga ia memilih diam untuk lebih menyimak.
Yudha memang pernah bercerita kepadanya bahwa dia mempunyai usaha Tour and Travel yang dikelola oleh keluarga secara turun temurun. Usaha Travel muslim yang memberangkatkan para jamaah untuk umrah plus dan wisata muslim ke berbagai negara. Selama ini, Yudha yang mengelola usaha tersebut bersama dengan adiknya yang bernama Alif Noran. Bahkan tak jarang mereka bergantian menjadi tour leader atau tour guide, tergantung ke mana mereka ditugaskan.
Yudha menggenggam tangan Vita dan menatap matanya lekat-lekat, kemudian berbicara dengan sangat hati-hati. “Ikut denganku. Kita akan tinggal di sana.”
Vita sama-sama menatap suaminya. Agak lama Vita terdiam hingga akhirnya dia menjawab perkataan Yudha dengan lirih. “Bisakah aku di sini saja?”
“Kamu tahu di mana Jakarta?” tanya Yudha, kemudian menambahkan, “Sangat jauh. Di sini tidaklah aman untukmu tinggal seorang diri.”
“Aku bisa jaga diriku sendiri.” Vita takut dengan segala kemungkinan yang akan dihadapinya nanti. Namun ia juga tidak bisa berbohong bahwa dia tak ingin jauh dari Yudha. Pria yang selama ini sudah mengisi hatinya dan menghiasi hari-harinya yang sepi sendiri.
Yudha menggeleng. “Tidakkah kamu ingin bertemu dengan mertuamu di sana?”
“Itu yang aku takutkan,” jawab Vita sendu. “Apa jadinya kalau mereka melihat anaknya yang sudah lama pergi, tahu-tahu pulang membawa seorang istri?”
“Akan aku jelaskan kepada mereka.” Yudha mengusap-usap pipi Vita dan menyilakan rambutnya yang terurai. “Kamu istriku bukan?”
Vita tak menjawab dan malah justru merapat dan mendekapkan tubuhnya di dada bidang suaminya. Sesungguhnya dalam hati yang terdalam ia sangat takut kehilangan.
Agak lama mereka terdiam, sebelum akhirnya Yudha kembali berbicara lagi. “Sangat wajar jika pada awalnya mereka akan terkejut. Selayaknya orang tua, pasti akan kaget jika mendapati putranya demikian. Dan bukan tidak mungkin mereka juga akan menduga hal yang tidak-tidak denganku—tentu juga denganmu. Tetapi pelan-pelan pasti mereka akan menerima dengan tangan terbuka. Aku sangat mengenal Umi dan Abah. Mereka orang yang sangat baik dan mengerti keadaan anak-anaknya.”
Vita mendongak melihat netra coklat Yudha dengan penuh harapan dan impian. Kemudian bertanya tentang hal yang belum pernah ditanggapi oleh Yudha secara sungguh-sungguh. “Lalu bagaimana hubunganmu dengan ...,” untuk sekadar menyebutkan namanya saja Vita sudah tak sanggup. “Bisakah hanya aku dan kamu saja?” lirihnya dengan bibir bergetar.
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Yudha sehingga menyulut kemarahan Vita pada saat itu—hingga beberapa pukulan kecil mendarat di dadanya yang diterima dengan lapang dada. Lantas berakhir dengan saling memeluk dan menangis bersamaan. Namun Vita agak merasa lega karena pada saat itu Yudha membisikkan kata di telinganya bahwa dia mulai menyayanginya.
Tidak bisa membedakan pengakuan Yudha, entah itu hanya sekadar pura-pura untuk menenangkannya atau pengakuan sungguhan. Tetapi sejenak dia berpikir, tidak ada gunanya menentang keadaan yang sering tidak berpihak, begitulah yang sering terjadi dan tidak pernah bisa dipahaminya.
Sebagai penghiburan, siang harinya Yudha mengajaknya untuk jalan-jalan berkeliling di kota itu. Berbagai macam wisata mereka kunjungi selayaknya orang yang tengah mabuk berkencan. Mereka juga memasuki pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian dan makanan.
“Kamu sudah pernah ke tempat ini?” tanya Yudha pada saat mereka berada di sebuah Cafe untuk sekadar mengurai lelah setelah memutari gedung yang cukup luas.
Vita terlebih dahulu meneguk minum di depannya. Tak lama kemudian dia menjawab, “Sudah ... dulu sama Ayah sering jalan-jalan. Tapi sewaktu ibu masih hidup. Aku juga masih kecil umur sepuluh tahunan.”
“Oh, iya?” Yudha semakin penasaran dengan cerita masa lalu Vita. “Naik apa dari rumah, kan jauh tempatnya.”
“Naik mobil coak.”
“Pernah punya?”
Vita mengangguk. “Iya, beliau pernah punya mobil itu buat ngangkut hasil panen warga setempat. Ekonomi kami sempat membaik, tapi tidak lama. Karena saat ibu sakit parah, mobil itu dijual untuk biaya.”
Yudha mengangguk. Tetapi sepertinya tidak baik meneruskan pembicaraan ini karena bisa mengubah suasana menjadi melankolis. Jauh dari yang semula diharapkan bahwa dia akan menyenangkannya hari ini. “Apa lagi yang ingin kamu beli?” ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Vita menggeleng.
“Mau pulang atau mau mampir?”
“Pulang.”
“Yakin? Tidak mau jalan-jalan lagi?”
“Aku tidak begitu suka jalan-jalan. Jangan samakan aku sama perempuan kebanyakan.”
Yudha tersenyum. Mereka saling bergandengan tangan menuju pulang. Sesampainya di rumah, keduanya masih saling menggoda satu sama lain. Bahkan Vita sendiri sudah mulai berani menggodanya dulu dengan mencium pipi suaminya.
“Kamu memancingku,” kata merasa terganggu dengan ulah istrinya. Dengan gerak cepat dia menarik Vita ke pangkuannya, kemudian mencium tangannya seperti biasa. Namun kemudian Yudha menyeletuk kata mengejutkan. “Bau terasi.”
Vita sontak menarik tangannya dan mencium tangannya sendiri dengan raut wajah panik. “Kau bohong,” katanya bersungut-sungut. “Mana yang bau terasi?”
Karena kesal, Vita menggelitik pinggang Yudha dan Yudha pun melakukan hal yang sama. “Rasakan ini!”
Keduanya larut dalam canda tawa, hingga akhirnya, ponsel Yudha berdering menghentikan kebahagiaan mereka.
“Sebentar, aku mengangkat telepon.”
“Dari siapa?” tanya Vita penasaran.
“Alif.” Yudha menunjukkan layar ponselnya sebelum pria itu menggeser ikon panggilan. “Halo, Lif?”
“Bang, cepat pulang. Umi sakit.” Suara Alif terdengar panik sehingga membuat Yudha juga demikian.
“Sakit apa?”
“Dia masuk rumah sakit hari ini tensinya sangat rendah sekali sampai pingsan dua kali.”
“Kamu sudah pulang?” tanya Yudha karena beberapa hari yang lalu, Umi bilang bahwa dia memimpin jamaah ke Mekah.
“Kebetulan baru sampai tadi pagi. Cepat pulang, Bang. Kau harus jelaskan apa yang sedang terjadi padamu pada Abah. Beliau curiga. Aku merasa kau sedang tidak beres di sana.”
Yudha tak ingin menjelaskannya di sambungan telepon ini karena bisa menimbulkan kesalahpahaman, lantas dia menjawab, “Ya, aku pulang malam ini,” kata Yudha akhirnya memutus sambungan.
“Bereskan pakaianmu segera. Pastikan surat-suratmu jangan sampai tertinggal,” titah Yudha agar Vita ikut bersamanya.
“Apa harus saat ini juga? Ini sudah hampir malam,” kata Vita kurang setuju.
“Kita berangkat malam ini agar tidak sampai di sana terlalu siang. Umi sakit, aku takut terjadi apa-apa padanya.” Melihat Vita tak kunjung beranjak dari pangkuannya membuat Yudha terheran. “Kenapa?”
“Aku takut.”
Takut hatiku tidak sanggup untuk menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.
“Jangan takut.” Yudha menanamkan kepercayaan diri istrinya.
________****________
TO BE CONTINUED
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Ibu Dewi
adih gimana nih nnti disana klo jdi oerdebatan belum nnti soal rahma aku yang jfi degdegan pasti menjadi rumit masalah nya g msu nerusin baca degdegan tpi pensarsn juga gimnana nnti alur cerita nya
2023-06-16
0
Christy Oeki
trus bersyukur
2022-07-12
0
Siti Sarfiah
vita ikut saja mudahan kedua orang tua dan juga adikx menerimamu dengan ikhlas
2022-05-01
0