Dua hari berlalu dengan sangat berarti bagi Vita. Kedua orang yang tadinya tidak saling mengenal itu, kini bagaikan sudah mengenal sangat lama. Mereka bahkan sudah tidak terlalu canggung lagi untuk sekadar duduk-duduk berdua di dalam satu ruangan. Tak jarang, pada saat tidur malam—mereka saling berbagi satu selimut yang sama, sampai tak menyadari jika salah satu dari mereka terbangun lebih dulu, lantas mendapati dirinya dalam keadaan saling menempel satu sama lain.
“Biar aku bantu,” kata Yudha pada saat melihat Vita sedang kerepotan di depan wastafel pencucian piring.
“Tidak usah, biar aku—” tapi tak sempat terselesaikan karena Vita merasa tubuhnya terangkat ke atas, lalu bergeser ke samping. Sangat mudah bagi pria itu menyingkirkan tubuhnya yang kecil.
Vita memperhatikan saja cara bagaimana cara pria itu mencuci. Sepertinya dia memang tidak pernah sekalipun melakukan pekerjaan remeh temeh seperti ini.
Dari caranya benar-benar aneh serupa orang yang sedang kesetanan karena sangat cepat sekali sampai beling-beling miliknya berdenting keras. Belum sampai lima menit, Yudha sudah selesai melakukannya dan menoleh kepadanya dengan sangat bangga.
“Sudah,” katanya percaya diri. “Cepat kan?”
“Apa seperti itu cara Mas Yudha mencuci piring?” Vita menahan diri untuk tak tertawa.
“Lantas bagaimana?”
“Itu, itu, itu, masih kotor.” Vita memberi tahu bagian-bagian yang masih berminyak dan berbusa dengan jari menunjuk.
“Itu hanya busa. Tidak akan membuat kita mati.”
“Kau ini benar-benar!” geram Vita mulai naik darah. “Ini sih bukannya membantu malah ngerecokin.”
“Ya, ya. Baiklah aku lihat caramu mencuci. Lalu aku yang membilasnya.”
“Tidak perlu.”
“Kenapa tidak perlu?” Yudha mendekati Vita untuk meminta berbagi tempat.
“Ya ampun, minggir. Lagi ngapain ke sini-sini segala.”
“Aku ingin membantumu.”
“Dengan cara apa aku memberitahumu?” ucap Vita bersungut-sungut. Dia membalikkan tubuhnya dan menatap Yudha dengan kesal. Namun yang dilihat hanya tersenyum menyebalkan.
“Marah adalah sebagian dari sifat setan,” ujar Yudha beberapa saat kemudian.
“Jangan lupakan setan juga sama-sama suka menggoda manusia.”
“Karena kita mempunyai dua sifat yang dimiliki oleh setan, berarti kita berdua sama-sama setan.”
“Enak saja!” sembur Vita kembali melakukan pekerjaannya lagi membilas piring yang belum selesai dikerjakannya. Namun sesaat kemudian, Yudha kembali menggodanya lagi dengan menempelkan busa sabun ke pipi Vita seraya terkekeh seperti biasa.
“Yasalam.”
Vita berbalik badan dan memelototinya. “Dasar menyebalkan!”
“Lanjutkan pekerjaanmu, aku tidak akan mengganggumu lagi,” ujarnya tanpa merasa bersalah.
“Aku tidak percaya. Kau suka sekali berbohong.”
“Kali ini tidak.”
“Bohong.”
“Tidak.”
Dengan mudahnya Vita percaya. Gadis itu kembali menghadap ke wastafel. Namun tanpa diduga, Yudha memosisikan diri di belakangnya seperti sedang memeluk. Dia kembali mengulang seperti kemarin saat mereka berada di sungai, saling membersihkan tangan dan saling memilinn jari satu sama lain.
Tubuh keduanya meremang saat saling bersentuhan. Dari posisi yang sedekat ini, mereka sama-sama merasakan gelenyar aneh yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Vita menggigit bibirnya kuat demi menahan hasrat yang muncul tiba-tiba. Pesona Yudha sulit ditolak. Pria itu terlalu sempurna untuknya sehingga ia terbuai dalam secercah harapan.
Vita bertanya-tanya sendiri. Dari caranya memperlakukannya, apakah Yudha sudah mulai tertarik kepadanya?
Bisakah ia membuat pria itu memilihnya saja sebelum dia menikahi perempuan lain?
Terkadang, Vita begitu penasaran dengan keindahan Rahma; wanita yang lebih dulu masuk ke dalam kehidupan Yudha. Dari keseluruhan, apakah dia lebih indah darinya?
Vita berkecil hati, sadar akan dirinya yang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja.
***
“Nah, nah. Tidak salah ‘kan? Kalau warga di sini menyebut mereka berzina,” celetuk ketiga ibu-ibu yang sedang melintas depan rumahnya. Kebetulan, Vita sedang menyapu di teras rumah.
“Iya, kalau tidak berzina, pasti laki-laki yang katanya kebetulan mampir sudah pulang kan, dari kemarin. Buktinya mobilnya masih ada disitu. Memang mereka itu sama-sama demen kok kayaknya.”
“Tapi pas di rumah Pak RT kemarin mereka mengelak untuk mengakui.”
“Untung tetap dinikahkan sama ketua RT ya, Bu-Ibu!” timpal yang lain dengan mulut nyinyir.
“Bener kalau tidak, desa kita bisa kotor sama kelakuan mereka.”
Vita tidak terima masih selalu digosipkan demikian oleh sejumlah orang. Terang saja dia marah. Telinganya tidaklah tuli. Gegas ia melempar batu kerikil kepada mereka. “Rasain nih!”
“Eh awas ibu-ibu! Dia dah gila kayak Bapaknya yang bunuh diri itu kayaknya.” Ketiga orang itu menatapnya waspada. Tetapi karena mereka belum juga berhenti menyinyirinya, membuat Vita kembali memungut batu. Namun kali ini ia mengambil yang lebih besar lagi sebesar kepalan tangan orang dewasa.
“Ya ampun, bisa pecah kepala saya!” Serampangan ketiga orang itu berlari ketakutan.
Mata bening itu mulai menggenang mengingat namanya yang sangat buruk. Bahkan perjalanannya hidup ini masih sangatlah panjang. Tetapi baru permulaan saja sudah terasa sedemikian perih.
“Ada apa sih, rame-rame?”
Suara Yudha membuatnya sontak menghapus air matanya agar tak diketahui oleh pria itu. Dia tidak ingin dinilai sebagai wanita yang cengeng.
“Ada orang yang mengataiku pezina. Aku tidak terima dan aku lempar mereka pakai batu.”
“Tinggal kamu jelaskan supaya mereka itu tahu. Jangan pakai kekerasan.”
“Aku malas bertegang urat dengan mereka. Tinggal lempari saja pakai batu biar mereka pergi.”
“Tapi cara itu tidak akan menyelesaikan masalah.”
“Malas sekali menyelesaikan masalah dengan mereka. Tempurung kepala mereka itu bebal, dungu, berkarat dan sempit. Yang ada di kepala mereka itu cuma tanah, uang, baju, rumah, perhiasan. Jadi sia-sia saja aku menjelaskan karena apa yang aku jelaskan tidak akan menyambung. Mereka baru akan nyambung kalau aku berbicara salah satu dari itu.”
“Kalau kamu begini, mereka malah akan menganggapmu orang kurang waras.”
“Biar saja. Sudahlah. Aku malas memikirkannya,” pungkas Vita kemudian masuk ke dalam kamar. Diam-diam di dalam sana Vita meloloskan air mata. Dia tidak sekuat yang terlihat. Sesungguhnya hatinya sangat rapuh dan mudah pecah.
“Vit ....” Tok tok tok!
Yudha mengetuk pintu kamar Vita agar gadis itu mau membukakan pintu untuknya.
“Vit! Izinkan aku berbicara denganmu.”
Tidak ada jawaban.
“Sebenarnya ada hal penting yang harus aku bicarakan,” sambung Yudha lagi.
Mendengar kata penting membuat Vita akhirnya mau membukakan pintu.
“Apa ... kakimu sudah benar-benar sembuh?” tanya Yudha hati-hati.
“Kenapa, Mas Yudha mau pulang sekarang?” tebaknya tanpa meleset.
“Aku bertanya, apa kakimu sudah sembuh?” ulang Yudha karena jawaban yang keluar dari mulut Vita, tidak sesuai dengan pertanyaannya.
“Bukankah sudah aku bilang dari awal, aku tidak apa-apa kau tinggal? Kenapa masih juga bertahan di sini. Keluargamu dan wanitamu bahkan lebih penting dariku. Orang udik yang baru kamu kenal.”
“Aku hanya ingin bertanggung jawab karena kesalahanku. Aku akan lebih tenang saat meninggalkanmu dalam keadaan baik-baik saja.”
‘Jadi hanya karena kesalahan itu Mas Yudha memperlakukanku dengan sangat baik? Sepertinya aku salah sangka.’
“Pulanglah,” kata Vita akhirnya karena tidak bisa mengatakan hal lain apalagi menahannya.
“Ya, mereka sangat menungguku di sana.”
Dan untuk yang ke sekian kalinya, Vita merasa wajahnya menjadi aneh. Matanya menjadi perih. Bibirnya bergetar dan tubuhnya menjadi lemas seperti hilang sebagian. Dia mengira tubuhnya seperti ini lantaran kurang tidur. Namun kenyataannya tidak. Karena lama kelamaan air asin yang berasal dari matanya kembali menyembur keluar tanpa aba-aba.
“Aku memang tidak seberharga itu untuk anggap kamu ada,” lirihnya terbata-bata.
Dan pada saat itulah Yudha mengerti bahwa gadis itu sudah menyimpan sebuah perasaan untuknya dan menggantungkan harapan.
“Vita ...,” ucap Yudha melihatnya begitu iba. Dia menjadi pria yang serba salah. Yudha memegang pundaknya, bibirnya hendak mengucapkan sesuatu tetapi entah kenapa begitu berat untuk sekadar digerakkan.
Vita mendongakkan matanya, memberanikan diri menatap pria yang sudah menoreh luka di hatinya. “Sekarang, aku tanya. Apa arti pernikahan ini untukmu?”
Yudha menatap bola mata hitam itu lekat-lekat. Ia semakin tak mampu mengucapkan sepatah kata pun karena lidahnya terlalu kelu. Pria itu perlahan melepaskan kedua tangannya dari pundak gadis di depannya.
Vita sangat malu menanyakan hal demikian. Dia seperti perempuan yang sedang mengemis cinta kepada seorang laki-laki. Tetapi dia harus memperjelas hubungan ini—setidaknya kata talak agar ia tak terikat dan menjadi wanita yang bebas. Agar kelak, ia bisa menikah lagi dengan laki-laki lain.
“Jangan terbebani. Cukup ucapkan talak untukku sebelum kau pergi,” ucap Vita lagi sebelum akhirnya ia menutup pintu kamar.
Beberapa jam berlalu. Mereka saling berdiam diri di tempat terpisah. Tanpa makan, tanpa minum, tanpa berbicara, benar-benar senyap sekali.
Tidak tahan berada dalam kondisi keheningan, Yudha menghampiri Vita ke kamarnya. Dia melihat gadis itu sedang tidur meringkuk. Namun Yudha tahu bahwa Vita tak sedang benar-benar tertidur—melainkan hanya berpura-pura agar ia tak mengajaknya berbicara.
“Vita ...,” panggil Yudha membalikkan tubuh Vita yang membelakanginya. Dan benar saja, pada saat Yudha melihat wajahnya, ia langsung melihat lelehan air mata yang baru saja turun dari tempatnya berasal, disusul dengan suara isakan yang terdengar begitu pilu. Ia tidak tahu perasaan apa yang sedang menyelubunginya sehingga ia menjadi begitu terenyuh.
“Jadi, kamu menganggap pernikahan ini sungguh-sungguh?”
“Bagaimana mungkin Mas Yudha mengira bahwa pernikahan kita pura-pura?” ujar Vita agak menyentak. “Kupikir kau lebih tahu dariku tanpa aku menjelaskannya.”
Jawaban Vita membuatnya tersadar bahwa ia telah berbuat dosa besar karena telah menganggap sepele sebuah ikatan pernikahan.
Yudha menghapus titik air yang mengalir dari pelupuk mata Vita dan merengkuh tubuh Vita ke dalam pelukannya. “Kalau begitu, tolong maafkan suamimu,” ujarnya mengakui kesalahan.
Vita tak menjawab, hanya ada isakan yang terdengar dari bibirnya. Karena cintalah yang membuatnya menjadi lemah dan cengeng seperti ini. Dalam hati, dia meneriaki kebodohannya sendiri. ‘Aku menyukai dia yang mencintai wanita lain. Bukankah itu terdengar konyol?’
Hujan turun terdengar rintik-rintik dari atas rumah, yang semakin lama menjadi deras diselingi dengan suara petir yang menggelegar. Kala udara menjadi semakin dingin, Yudha semakin mengeratkan pelukannya untuk mencari kehangatan di tubuh perempuan yang sudah ia anggap sebagai istrinya.
Mata Yudha tak kunjung bisa tertidur. Terus terang—hasratnya semakin menggebu karena terlalu lama berdekapan seperti ini dengan seorang gadis. Terlebih, gadis itu halal baginya untuk disentuh.
Yudha mendongakkan dagu Vita yang terlihat sedikit menonjol itu dan berbisik, “Suamimu menginginkanmu.”
Tanpa bisa menolak, Vita memasrahkan dirinya. Juga sebagai upayanya agar Yudha hanya mencintainya saja. Dengan harapan, pria itu akan membatalkan pernikahannya dengan wanita lain.
Satu jam telah berlalu, keduanya telah larut dalam pusaran ombak yang menggulung permukaan. Peluh saling berjatuhan menandakan betapa kerasnya kerja mereka malam ini.
***
TO BE CONTINUED.
Tolong jan buli aku kalau typo. Beteweh aku ngetik di bengkel sambil nyervis bebek kumel yang bunyinya nyaring.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Rahmawaty❣️
Yahh jangan dlu vit . Cinta yudha bukan untkmu soalnya
2023-06-17
0
Rahmawaty❣️
Aku cinta kamu.. Tp kamu milik dia😓
2023-06-17
0
Ibu Dewi
ya ngapain ngasih harapan palsu sama vita ngajak tidur sedangkan hati nya cuma buat rahma kasian dong vita
2023-06-16
0