“Selamat, ya,” ucap Jodi menjabat tangan Yudha.
“Iya, makasih, Di. Sudah mau jauh-jauh datang ke sini,” Yudha menjawab.
“Semoga rukun.” Tidak ada ucapan lain lagi dari sahabatnya itu. Hanya saja, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. Orang yang menjadi panutannya, malah mencontohkan hal yang kurang baik. Lantaran menurutnya, poligami adalah pandangan buruk bagi sebagian orang, terutama wanita. Karena yang tampak di mata mereka adalah, ‘laki-laki doyan kawin,’ terlepas dari apa pun niat si pria tersebut.
Sudah Jodi ingatkan waktu itu di rumah Vita, bahkan sampai memarahinya juga di sana. Tetapi Yudha memang benar-benar ceroboh, bodoh, dan terlalu ringan tangan. Sia-sia saja koar-koar menceramahinya karena tidak akan berdampak apa pun kecuali menyebabkan bau mulut saja.
“Istrimu mana?” tanya Yudha. “Tidak ikut?”
“Tidak kubawa. Hamil.” Setiap kalimat yang keluar dari mulut Jodi terdengar agak ketus, sehingga membuat roman di wajah perempuan yang berada di sebelah Yudha berubah agak masam. Padahal, memang sudah pembawaan pria itu begitu.
Rahma pun tak habis pikir, padahal Jodi dulu mendukung kisah percintaannya dengan Yudha. Atau pemikiran pria tersebut memang sudah berubah?
Setiap orang, mempunyai sudut pandang yang berbeda. Tetapi setelah Rahma kaji-kaji berulang kali—menurutnya, dia tidak sepenuhnya bersalah. Bukan dia yang datang ke dalam kehidupan mereka, melainkan Vita sendiri yang masuk ke dalam kehidupannya. Menghancurkan mimpi-mimpinya bersama Yudha.
“Wah, selamat ya, Di. Sudah mau jadi seorang ayah sekarang,” kata Yudha memberikan selamat.
“Kau juga. Dari dua orang istri pula. Hebat ‘kan?” Jodi tersenyum kecut. “Ya sudah, aku langsung pulang setelah ini. Kau baik-baik.”
Yudha peka. Dia memang menangkap nada bicara Jodi yang berbeda. Namun tidak elok jika mengajaknya berdebat di sini.
Akad nikah mau pun resepsi sudah hampir selesai. Para tamu sudah mulai berhamburan keluar dari lokasi. Pandangan Yudha mengedar ke bawah pelaminan, namun sayangnya, Yudha tak menemukan siapa pun di sana terkecuali Abah, keluarga inti dan saudara dekatnya saja.
Sebenarnya, Yudha ingin sekali melompat dari sana mencari Vita untuk melihat bagaimana keadaannya sekarang. Tetapi dia juga harus menghormati Rahma dan keluarganya. Takut hal ini dianggap sebagai ketidakpantasan.
“Bah? Umi, Alif dan Vita sudah pulang?” tanya Yudha ketika dia sudah menjauhi pelaminan. Saat itu, tamu sudah benar-benar tidak ada lagi. Dan Rahma sedang makan malam bersama dengan keluarga mereka sambil berbicara keseruannya tadi di pesta resepsi.
“Sudah,” jawab Abah Haikal. Terdengar helaan napas kasar dari Abah sembari memejamkan matanya sejenak. “Ada yang ingin Abah bicarakan padamu.”
“Bicaralah, Bah.”
“Acara besar ini, semua siapa yang merencanakan?”
“Ibu Nely,” jawab Yudha merasa bersalah. “Aku tahu ini sebuah kezaliman, Bah. Tapi aku tidak bisa menentang. Semua sudah dirancang dan tidak bisa kutolak begitu saja.”
Abah menatapnya dengan sorot mata kecewa. “Kami semua ikut terlibat, terutama Abah sendiri. Abah juga merasa telah menzalimi istri pertamamu. Kau harus meminta maaf padanya.” Abah memegang pundaknya. “Menurut boleh, tapi disetir jangan,” ujarnya penuh penekanan. “Abah tahu, kau terlalu ringan tangan, tapi kau harus mempunyai pendirian.”
Yudha terdiam. Menyadari dirinya yang begitu bodoh.
“Hanya itu pesan dariku. Ya sudah, Abah pulang dulu. Sampaikan kepada mertuamu. Abah sedang banyak urusan.”
Yudha hanya mengangguk. Membiarkan Abahnya pergi meninggalkannya. Malam ini, sudah jelas pria itu pulang ke arah mana.
***
“Kak, tidak mau mandi? Tidak mau ganti baju?” tanya Rahma ketika mereka sudah sampai di rumah perempuan itu. Saat ini keduanya sudah berada di dalam kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa.
Yudha tersenyum, melihat Rahma yang sudah membersihkan diri, memakai kimono sepanjang lutut dan membiarkan rambut hitam lurusnya tergerai begitu saja. Tampaklah semua bagian yang biasanya tersembunyi.
Perempuan itu mendekatinya. “Kakak ingat sama Vita, ya?” tanyanya dengan roman sedih dan kecewa.
“Dia tidak ada di sana tadi, aku hanya ingin mengetahui kabarnya saja. Tapi sayangnya ponselnya dimatikan.”
“Ya sudah, Kak Yudha bisa melihatnya besok.”
“Tapi bagaimana denganmu?”
“Tidak apa-apa, Kak. Memangnya kenapa?”
“Aku harap kamu selalu seperti ini. Mengerti keadaanku.”
“Selalu, Kak. Aku sadar kau bukan milikku seorang.”
Yudha tersenyum dan memeluk Rahma. Ini pertama kalinya dia memeluk wanita itu setelah sekian lama dia menanti pernikahan ini terjadi.
‘Seandainya aku tidak pernah pergi ke desa itu, pasti rasanya tidak seberat ini.’
“Kamu bahagia?” tanya Yudha setelah melepaskan pelukannya.
Rahma mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. “Lebih bahagia lagi kalau Kakak tidak mempunyai istri lain. Tapi ... semua sudah terjadi. Aku harus ikhlas menerimanya. Aku mencintaimu, Kak. Dari dulu. Apa jadinya kalau aku tidak menikah denganmu. Aku bisa mati.”
“Sampai segitunya?”
“Itu hanya umpama!” cebik Rahma pura-pura kesal.
“Kirain,” Yudha terkekeh. “Ya sudah, aku mandi dulu,” pamit Yudha beranjak berdiri. Lalu masuk ke dalam kamar mandi dengan membawa baju ganti yang sudah Rahma persiapkan.
Beberapa menit setelahnya ia keluar dengan sudah memakai pakaian lengkap. Melakukan ibadahnya yang tertinggal, lantas naik ke atas ranjang. Menemui istri keduanya yang sudah memakai balutan pakaian tipis yang menggoda.
“Sudah siap?” tanya Yudha dengan perasaan yang sebenarnya hambar. Dia hanya mengandalkan napsu saja waktu itu.
“Aku menunggu momen ini semenjak lama.”
Yudha tersenyum. Menarik Rahma untuk mendekat dan membacakan doa untuknya. Melaksanakan ibadah yang seharusnya dia lakukan. Nafkah batin pertama kali untuk Rahma.
Keesokan harinya, Nely dan Ilyas saling senggol ketika mendapati putrinya keluar dengan wajah bersemu. Sudah dapat dipastikan, apa yang semalam terjadi.
“Sebentar lagi Ibu punya cucu, ya, Yah?” ujarnya saling sindir.
“Sepertinya, Bu.”
Sementara itu, di dalam kamar Yudha sedang bersiap-siap akan kembali ke rumah Uminya. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Vita. Bahkan Yudha sampai tidak bisa tidur sampai pagi karena terus memikirkannya.
“Kak Yudha mau pergi sekarang?” tanya Rahma setelah ia kembali ke dalam kamarnya lagi.
“Iya. Kamu kujemput besok, ya. Persiapkan semuanya.”
“Hati-hati, ya, Kak.”
“Iya, istriku. Beristirahatlah. Kamu pasti lelah,” godanya seraya mengecup bibirnya sekilas.
Rahma tersenyum. Merelakan suaminya pergi untuk menemui istri pertamanya. Memang cukup berat dan tidak mudah diterima oleh wanita mana pun. Tetapi ini sudah menjadi pilihannya dan dia sudah mengantisipasi hal ini—oleh karena sebab itu dia menyiasatinya dengan melakukan sejumlah kesibukan.
‘Kita saling mencintai, Kak. Aku yakin, suatu saat nanti yang bukan menjadi takdirmu akan pergi dengan sendirinya. Aku yakin kau hanya tergoda saja dengannya,’ batinnya sangat yakin.
“Suamimu langsung pergi?” tanya Ibu Nely.
“Ya, Bu. Aku harus mengerti Kak Yudha. Dia punya istri lain.”
“Tapi tidak seharusnya begitu. Ini jatah waktumu,” ujar Nely terus mengompori. “Dia harus ditegur. Kalau tidak, nanti menjadi semacam kebiasaan. Jangan karena kamu menjadi istri kedua, lantas membuat dirimu selalu mengalah. Itu tidak benar, Nak. Semua harus diperlakukan sama.”
“Kak Yudha hanya pergi sebentar, nanti juga balik lagi. Dia juga memikirkanku, kok Bu.”
“Ya sudah. Tapi lain kali tidak akan kubiarkan.”
***
Beberapa menit berlalu. Akhirnya Yudha telah sampai di rumahnya. Dia tak menemui siapa pun di ruang tamu terkecuali Bi Retno yang sedang menyapu lantai ruangan dalam.
“Eh, Mas Yudha sudah pulang?” ujarnya begitu mengetahui pemuda itu muncul di hadapannya.
“Pada ke mana, orang-orang, Bi?”
“Mas Alif sudah berangkat, kalau Umi sama Abah lagi olahraga di sport club pojok kompleks, Mas.”
“Oh, iya?” tanya Yudha heran. Karena pada saat ia masuk tadi ia tak melihatnya? Sport club yang dibangun di sebelah pos security kompleks itu tampak sepi.
“Mungkin di dalam, Mas. Kan luas tempatnya. Kalau di luar kan hanya kolam renang sama lapangan basket saja.”
“Vita gimana?” tanya Yudha agak berbisik. Dan setelah bertanya seperti itu, mata Bi Retno terlihat mengembun. Beliau jadi teringat dengan anak perempuannya sendiri. Batinnya berharap, semoga putrinya tidak mengalami nasib yang sama seperti Non Vita.
“Non Vita baik-baik saja, Mas,” jawabnya tanpa ingin menjelaskan lebih lanjut.
Yudha melangkahkan kaki ke atas. Setiap lantai yang dia pijak semakin terasa berat dan lunglai. Langkahnya mengayun perlahan—rasanya seperti seorang pengkhianat yang hendak memasrahkan diri.
Sampai di depan kamar, Yudha memegang knop dan mendorong perlahan pintu yang sedikit terbuka itu. Terlihat tubuh kecil istrinya sedang membersihkan kamarnya sendiri. Di tangannya terdapat alat pel yang ditekan ke lantai dan digeserkannya perlahan.
“Eh, ada orang,” ucap Vita begitu menyadari siapa yang datang. Wanita itu tersenyum dan menatapnya sekilas, lantas melanjutkan pekerjaannya lagi.
Bibir itu memang tersenyum. Tetapi bukan senyum dalam arti yang sebenarnya. Senyum yang tampak adalah senyum yang mengandung banyak beban dan masalah berat.
Yudha mendekatinya dan duduk di pinggiran ranjang. Lidahnya membisu, sulit untuk sekadar digerakkan. Dia memperhatikan saja perempuan itu selama beberapa lama.
“Mas Yudha sudah sarapan? Sudah minum air hangat?” tanya wanita itu menghindari kontak mata.
Yudha tak menjawab. Dia sudah sangat hafal kebiasaan istrinya. Jika sedang terjadi sesuatu padanya, maka dia akan membuat dirinya menjadi sangat sibuk—seperti yang terjadi pada saat mereka di dapur dulu. Dan saat ini pun demikian. Bedanya, jika dulu Vita sedang memeras santan—kali ini gadis itu sedang mengepel, membereskan meja, melipat sajadah berikut mukena bekas pakainya.
Semua itu tidak luput dari sorot mata Yudha. Pun dengan setetes air matanya yang tak sengaja luruh menimpa lantai.
“Sayang ....”
Untuk pertama kalinya Yudha memanggilnya seperti itu. Sungguh Vita sangat benci sekali mendengar Yudha memanggilnya dengan sedemikian merdu. Karena kemungkinan, panggilan itu juga sama dilakukannya kepada wanita lain, yakni Rahma.
“Aku keluar dulu mau taruh ini ke tempatnya,” ujarnya mendorong alat pel keluar. Bertujuan untuk menghindari tatapan mata pria tersebut. Tetapi kini langkahnya tertahan, karena Vita merasa pergelangan tangannya digenggam dan ditarik kembali. “Mas, minggir dulu. Aku mau taruh ini,” dia kembali mengulang agar Yudha dapat mengerti bahasanya.
Yudha menariknya paksa kemudian memeluknya tanpa mengatakan apa pun.
“Lepas! Tolong jangan seperti ini,” Vita memberontak. Parfum yang tercium di tubuh pria itu sudah tercampur dengan aroma wanita lain. Menyengat, menyumbat hidungnya sehingga menimbulkan hati menjadi semakin pedih.
“Aku membencimu! Aku membencimu!?” dia memukul-mukul dada pria itu meski tak berpengaruh apa-apa padanya.
Dalam waktu beberapa lama, keduanya berpelukan. Tergugu. Tangis perempuan itu semakin pecah. Hingga akhirnya, dia telah sampai titik rasa sakit yang paling dalam. Tubuh kecilnya semakin melemah. Ambruk dan tak sadarkan diri lagi!
***
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Sunarmi Narmi
Wuih..ternyata jiwamu mirip Mak Lampir....Rahma....kirain baik luar dlm tak taunya Busuk 😡😡😡😡😡
2023-06-18
1
Rahmawaty❣️
Yudha lagsug hajar bae ya.. Ktahuan bnget emg doyan selangkangan😪
2023-06-17
0
Sulastri Utami
mewek aq thor
2023-06-16
0