Pernikahan terpaksa itu sudah benar-benar dilaksanakan. Karena Vita sudah tak mempunyai Ayah, jadi warga memanggil paman Vita untuk menikahkannya. Malu bukan kepalang, Vita benar-benar dimaki olah pamannya di depan umum. Padahal selama ini lelaki itu tak pernah ada untuknya di saat-saat tersulit sekalipun. Tetapi kini seolah menjadi laki-laki yang paling peduli dengan menyerapahinya segala rupa.
“Kamu ini dididik baik-baik kok, kelakuannya memalukan begini. Kurang apa coba keluarga Paman sama kamu selama ini?”
“Paman, dengarkan penjelasan Vita du—”
“Alah, semua bukti mengarah pada berbuatan bejad kalian. Paman benar-benar malu punya keponakan sepertimu!”
Masih teringat jelas kata-kata Pamannya yang menyakitkan itu. Padahal Vita ingin sekali menerangkannya secara jelas. Tetapi beliau tetap membutakan mata dan telinganya. Benar kata pepatah, ‘Orang yang membenci tetaplah benci, sebaik apa pun kita.’
“Aku juga malas punya Paman sepertimu,” gumam Vita dalam hatinya.
Terhuyung-huyung Vita berjalan menuju ke rumah. Air matanya tak bisa lagi dibendung. Dia benar-benar nelangsa setengah mati sudah dituduh sedemikian buruk oleh sejumlah warga. Jangankan melakukan zina, berpacaran saja Vita tidak pernah. Karena setiap ada laki-laki yang mendekatinya, Vita selalu menolak. Tidak ada pemuda yang benar-benar baik di sini selain para pemuda pemberontak.
Lebih baik Vita tak pernah menikah daripada harus menikah dengan salah satu dari mereka. Karena hanya akan lebih menyengsarakan hidupnya yang sudah sangat malang ini.
“Vit, biar aku bantu jalan, ya,” ucap Yudha. “Kamu bisa pegang tanganku.
“Tidak perlu.” tolak Vita dengan suara yang terdengar agak ketus.
Berkali-kali Yudha menawarkan bantuan untuk membantu Vita berjalan, tetapi ditepisnya lantaran sedang sangat emosi. Bukan kepada Yudha, tetapi entah ditujukan kepada siapa karena tidak ada yang bisa Vita salahkan saat ini.
“Apa kamu punya—maaf, mungkin orang yang tidak menyukaimu?” tanya Yudha sesaat setelah mereka sampai di rumah. “Kalau tidak ada, mana mungkin ada mencari gara-gara denganmu.”
“Mungkin banyak,” jawab Vita singkat.
“Tapi tidak bisa dipungkiri. Akulah penyebab utamanya. Hidupmu akan baik-baik saja kalau aku tidak datang ke sini,” ucap Yudha menyadari kesalahannya. “Sebaiknya aku pergi saja sekarang cari bantuan, karena lebih cepat aku pergi dari sini, pasti lebih baik untukmu dan untukku juga.”
Vita menoleh ke arah Yudha. Menatapnya dengan penuh tanda tanya. Lupakah Yudha dengan status mereka sekarang? Dia akan pergi begitu saja tanpa penyelesaian di antara mereka?
Meskipun mereka menikah di bawah tangan, tetapi status mereka telah sah secara agama. Pernikahan mereka suci. Yudha menyebut nama dirinya dan ayahnya. Mahar yang diberikan berupa surat pendek. Vita tidak akan pernah lupa. Surat Al ikhlas yang dibaca oleh Yudha dengan suara yang bergetar karena dia terlalu gugup.
Nama Vita juga sudah tercemar sekarang. Dia sudah dicap sebagai pezina oleh warga setempat, dan mungkin saja dia sudah kesulitan secara sosial. Lalu dengan siapa dia harus bergantung sekarang kalau Yudha pun tak memedulikannya?
“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Yudha karena gadis itu terdiam selama beberapa lama.
“Tidak. Pergilah temui temanmu itu,” jawab Vita akhirnya.
Setelah punggung Yudha menjauh, gadis itu merenungi diri sendiri. “Ah, siapalah aku. Tidak seharusnya aku berharap pada pernikahan yang dilakukan secara terpaksa ini. Mungkin saja sudah memiliki kekasih atau istri lain. Lagi pula, perbedaanku dan dia juga sangat jauh. Bagaikan bumi dan langit. Aku hanya gadis dusun. Dia pemuda kota yang mungkin saja berasal dari keluarga yang terpandang. Dia hanya sedang menyasar di sini. Jangan salah sangka!” Vita meneguhkan dirinya agar tidak sampai jatuh cinta pada pria itu.
“Kamu tidak boleh berharap kepadanya, Vita. Dia bukan siapa-siapa. Kamu tidak mengenalnya sama sekali.”
***
Beberapa jam berlalu, Yudha kembali bersama dengan mobilnya yang sudah bisa ia gunakan lagi setelah sebelumnya mogok di jalanan dekat sini. Raut wajah Yudha sangat senang ketika menghampirinya. Tetapi tidak sendiri, melainkan bersama dengan satu temannya yang entah berasal dari mana.
“Assalamualaikum, Vit. Mobilku sudah bisa jalan lagi sekarang,” kata Yudha tersenyum. “Perkenalkan ini Jodi, orang yang membantuku. Temanku yang aku ceritakan padamu kemarin.”
Vita menjawab salam dan menyatukan kedua tangannya di depan dada. “Vita.”
“Jodi,” kata pemuda itu yang usianya diperkirakan sebaya dengan Yudha.
Keduanya pun dipersilakan masuk ke dalam rumah. Banyak perbincangan yang dilakukan oleh kedua orang itu. Mulai dari perkembangan bisnisnya, pernikahan Jodi, tentang pertemuannya dengan Kyai Hasyim dan masih banyak lagi. Namun Vita tak benar-benar menanggapinya sampai hati karena dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Akan seperti apa nasibnya setelah ini?
Dan pada saat hari mulai sore menjelang, Yudha menyusul Vita ke ruang tengah, berpamitan untuk meninggalkannya. “Vit?” panggilnya mengejutkan Vita yang sedang melipat pakaian.
Yudha berkata lagi, “Aku pergi, ya. Maaf kalau selama dua hari ini aku merepotkanmu.” Yudha tersenyum tanpa menyinggung hubungan mereka seolah pernikahan tersebut tak pernah terjadi.
“Ya, tidak apa-apa, pergilah,” jawab Vita merasa tak berhak menahan kepergian pria itu karena dia juga mempunyai jalan kehidupannya sendiri.
“Kapan-kapan aku akan kesini lagi.”
Tentu saja kau harus ke sini, bukankah aku ini istrimu? Kata Vita, namun ia tak bisa menyuarakannya.
“Satu atau dua bulan lagi aku akan menikah. Aku sangat berharap kamu bisa datang.”
Deg!
Ternyata dugaannya benar. Yudha memang sudah memiliki kekasih. Mendengarkan demikian membuat hati Vita menjadi nyeri. Meski belum ada perasaan apa pun, tetapi tak bisa dipungkiri ia telah berharap sebagai seorang istri.
“Tidak. Mana mungkin aku datang ke sana? Dengan siapa aku akan pergi? Lagi pula aku memang tidak akan pernah mau datang ke pernikahanmu,” jawab Vita terdengar agak ketus. Tapi karena memang gaya bicara dan pembawaan Vita demikian, Yudha tak benar-benar menanggapinya dengan serius.
“Kamu memang gadis yang tegas dan pemberani,” puji Yudha tersenyum dan menyentuh pundaknya. “Ya sudah, aku pergi dulu. Kamu baik-baik ya, di sini. Ini nomor teleponku yang baru dan alamat rumahku di sana,” Yudha meletakkan selembar kertas di atas meja. “Kamu bisa menghubungiku kalau kamu membutuhkan bantuanku.”
Ya, awalnya Yudha memang berpamitan demikian kepada Vita. Tetapi pada saat Vita beranjak dari tempatnya duduk dan melihat caranya berjalan dengan kepayahan, hati Yudha malah justru terenyuh.
Vita hanya sendirian, masih sakit karena ulahnya. Dan sekarang ia akan meninggalkan begitu saja? Apakah itu bukan perbuatan yang zalim?
“Kenapa Mas Yudha masih di sini?” tanya Vita. “Pergilah! Temanmu menunggumu di depan.”
Terdengar helaan napas dari Yudha sebelum akhirnya dia memutuskan hal yang tak terduga, “Baiklah, aku akan tinggal di sini sampai kamu benar-benar sembuh.”
“Kamu tidak perlu melakukannya. Aku bisa mengatasi semuanya sendiri,” kata Vita menolak dengan tegas. “Keluargamu pasti sedang menunggumu di sana.”
“Biarkan aku bertanggung jawab atas kesalahanku,” kata Yudha kemudian.
***
Jangan lupa main-main ke igku yaa @ana_miauw. dukung dengan cara klik love dan like yah.
Mohon perhatiannya, tolong jangan skip2 bacanya ya, soalnya konflik sepenuhnya ada di awal2 bab (kira2 sampai 30an) Biar dapet feel-nya maksudku😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Rusiani Ijaq
untung bacanya atau ketemu nta sdh and kalau tak di jamin aku tak bisa tidur Krn nungguin bab selanjutnya dan tak selera makan Krn nyesek di dadaku Thor 💪😢
2023-06-16
0
Sunarti
tra apa guna nya Yudha menikahi Vita klo akhirnya akan pergi meninggalkan dan akan menikah sama gadis pilihan Yudha apa Yudha lupa
2023-04-04
0
Juan Sastra
masa yuda lupa sama pernikahannya, meski secara siri namun sah
2023-03-27
0