Tangan Vita masih terasa gemetar. Pun dengan jantungnya yang masih berdegup kencang tiga kali lebih cepat daripada biasanya. Serta merta dia mengeluarkan air mata. Tak percaya.
Vita menyadari dirinya terlalu berlebihan menyikapi hal ini. Apakah seperti ini juga yang dirasakan oleh calon ibu di luar sana saat pertama kali mengetahui kehamilannya?
Ditatapnya sekali lagi hasil akurat itu. Dua garis merah, jelas, tidak samar. Masih dalam posisi duduk, Vita belum memutuskan beranjak dari atas closet karena takut terjatuh jika dia berdiri atau berjalan. Tubuhnya masih sangat lemas dan gemetar.
“Cepat pulang, Mas. Aku ingin melihat bagaimana nanti reaksimu.”
Rasanya nano-nano. Bahagia, haru, sedih, sekaligus bingung menjadi satu. Umurnya masih dua puluh tahun. Apa dia bisa menjadi seorang ibu di usianya yang semuda ini?
Vita belum pernah membicarakan masalah anak sebelumnya dengan Yudha. Vita menyadari kehidupan rumah tangganya malah sibuk di isi dengan pertengkaran-pertengkaran yang tidak ada faedahnya. Padahal yang diinginkannya tidaklah demikian—tetapi selalu saja banyak persoalan yang membuat hubungan ini berada di ambang kerusakan. Emosinya terus berputar-putar tanpa ujung yang disebabkan oleh satu rasa, yakni cemburu.
Dan yang menjadi sedih adalah, statusnya dan juga kisah cintanya yang terbagi. Ini akan memberatkan ke depannya nanti. Terus terang, ia ingin Yudha lebih condong kepada dirinya karena kondisinya sekarang. Namun permintaan itu sepertinya terlalu muluk-muluk. Sebab Yudha memiliki wanita yang lebih dicintainya.
Wanita itu melow. Untuk beberapa lama, ia membiarkan dirinya menangis sendirian untuk meluapkan segala emosinya.
“Kuakui, aku memang keras kepala. Tapi aku lemah dalam urusan cinta.”
Sering kali ia berpikir, rumah tangganya akan baik-baik saja kalau tidak seandainya suaminya itu tidak menikahi Rahma.
Pada saat pertengahan siang, ia mendengar pintu diketuk. Gegas Vita pergi untuk membuka pintu dan menyambut siapa yang datang.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Mi.” Vita mencium tangan ibu mertuanya dan menerima apa yang sedang beliau bawa. Satu kotak makanan yang tercium bau yang sangat enak. “Wah, apa ini? Enak sekali baunya.”
Umi duduk di ruang tamu yang kebetulan belum terlalu rapi karena Vita sedang mengacak-acaknya, menata bunga sintetis ke dalam vas bunga.
“Itu gulai sandung lamur, Umi yang bikin. Karena Umi ingat kamu, jadi Umi bagi ke sini,” jawab beliau sambil menyentuh apa yang sedang Vita kerjakan. “Kamu taruh dulu, gih. Tapi jangan ditutup dulu, ya. Tunggu sampai dingin dulu, baru kamu tutup.”
“Iya, makasih, Mi.” Vita menuju ke meja belakang. Meletakkan gulai tersebut di sana. Lantas menutupnya dengan penutup yang berbentuk seperti jaring.
Agar asap dari gulai tersebut masih bisa keluar. Vita menggigit bibir bawahnya. Mendadak ia begitu menginginkan saat hidungnya mencium bau makanan enak. Dia tersugesti. Padahal sebelum ia tahu hamil kemarin, ia tidak merasakan hal ini.
“Sabar ya, bayi. Belum saatnya kamu makan. Aku mau menemui Umi dulu,” gumam Vita menepuk-nepuk perutnya.
“Ini bunganya cantik loh. Vita beli di mana?” tanya Umi Ros begitu Vita keluar. “Vas bunganya juga.”
“Beli sama Mas Yudha di Ace Hardware kemarin, Mi,” jawab Vita. “Umi mau? Sama Vas bunganya juga?” ujarnya menawarkan.
“Umi mau, tapi ini milikmu, hanya segini pula. Gimana kalau kita pergi saja ke sana,” ajak Umi antusias. Bisa dibilang, beliau juga pecinta bunga atau pun tanaman-tanaman hias.
Vita tersenyum tanpa bisa menolak ajakan ibu mertuanya, “Boleh, Vita juga bosan di rumah terus.”
Setelah mengganti pakaiannya, Vita mengunci pintu. Keduanya berjalan beriringan ke dalam rumah lama untuk mengambil mobil. Tepat di ruang tamu, Vita tak sengaja bertemu dengan adik madunya yang lebih tua dari usianya tersebut.
“Vita, kamu mau ke mana?” tanya Rahma menyadari pakaian yang Vita kenakan bukan pakaian rumahan.
“Aku mau ke toko bunga,” Vita menjawab.
“Sama Umi?” tanya Rahma memastikan.
“Iya.”
Tatapan Rahma terlihat meredup. Meski tanpa disadari oleh Vita.
Takut dianggap sebagai ketidaksantunan, Vita pun berbasa-basi mengajak wanita itu. “Mau ikut Mbak?”
Rahma menggeleng. “Aku di rumah saja.”
Umi keluar kamar setelah beliau mengganti pakaian perginya. Ditangannya terdapat tas dan kunci mobil. Beliau menyetir sendiri menuju ke lokasi. Kurang lebih dua puluh menit, keduanya masuk ke dalam market itu.
“Umi baru tahu, loh. Di sini ada Ace Hardware,” kata Umi Ros mengajaknya bicara di dalam market besar tersebut. “Vita tahu dari siapa?”
“Kemarin aku ikut ke kantor Mas Yudha, Mi. Pulangnya aku lihat tempat ini, terus minta mampir.”
“Untung tempat ini jauh dari rumah kita, ya. Kalau tidak, Umi bisa bolak-balik ke sini tiga kali sehari.”
Vita tersenyum. Seperti minum obat saja pikirnya.
Sambil memilah-memilih keduanya berbincang begitu hangat. Bagaikan anak dan ibu kandung. Keduanya bahkan sesekali terlihat tertawa sambil berpelukan saat membahas masa kecil Yudha dan juga Alif yang terdengar lucu.
Vita tidak melakukan apa pun apalagi berusaha untuk menjilat agar Umi Ros lebih menyayanginya. Sama sekali tidak. Vita bukan orang yang munafik. Dia hanya memperlakukan Umi Ros layaknya ibunya sendiri, mengingat ibunya telah tiada.
Cukup lama mereka berada di sana untuk berkeliling. Mereka kembali saat jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Itu artinya mereka sudah pergi selama lebih dari dua jam.
Setibanya di rumah Umi Ros, mereka disambut oleh Rahma dengan raut wajah yang agak masam. Dan kali ini disadari oleh Vita meskipun dia tidak terlalu menanggapinya.
“Barang sudah turun semua ya, Mi,” kata Vita bermaksud untuk pergi dari sana.
“Sudah,” kata Umi menjawab. “Besok ke sini, ya. Bantuin Umi menata bunga di ruang tamu ini. Biar kelihatan apa namanya?”
“Estetik,” jawab Vita.
“Ah iya, itu maksudnya.”
Kedekatan itu semakin menambah luka dan iri bagi seorang Rahma. Pada saat-saat malam yang panjang. Wanita itu pun sering menangis sendiri, melihat sebagian besar hidupnya sudah terenggut oleh Vita. Oleh karena perempuan itulah semuanya mendadak berubah.
Dia memang masih merasa memiliki sepenuh hati suaminya. Namun tidak dengan ibu mertuanya. Ada yang berubah semenjak mereka menikah. Rahma merasa selalu dirinya yang memulai. Rahma merasa dirinya yang selalu bertanya lebih dulu. Rahma yang selalu berinisiatif lebih dulu untuk melakukan banyak hal di rumah ini. Kepedulian mertua terhadapnya terasa berkurang.
Rahma merasa Umi Ros melihatnya dengan mata yang berbeda. Jika pada saat dengan Vita, beliau terlihat banyak bicara, menyuruh dan juga meminta pendapat. Lain kepada dirinya yang justru seperti mempunyai jarak, atau tembok penghalang yang tinggi. Rahma pun heran. Padahal sebelum menikah, hubungan mereka tidaklah demikian. Entah benar atau tidak, tetapi inilah yang dirasakannya.
***
Tepat di terminal tiga Soetta, terlihat seorang pria gagah berwibawa (tour leader), mengumumkan rasa terima kasihnya kepada semua traveller yang sudah memilih jasa travelnya. Mereka baru saja tiba setelah mengudara selama kurang lebih dua belas jam. Dari Istanbul.
Semua kembali dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Hanya ada sedikit masalah: ada salah satu orang dewasa yang sakit. Tapi sudah langsung ditangani oleh tenaga medis yang memang sengaja disediakan untuk mendampingi mereka selama perjalanan.
“.... Baik, untuk pengumuman saya tutup. Sampai bertemu lagi di perjalanan-perjalanan selanjutnya, wassalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.”
“Waalaikumsalam warahmatullah ...,” jawab semuanya bersamaan.
Ke empat puluh orang tersebut berhamburan keluar terminal untuk mencari jemputannya masing-masing. Pun dengan Yudha yang langsung dijemput oleh adiknya. Dia telah menunggu lama di sana sebelum Abangnya mendarat. Sampai akhirnya Alif melihat Yudha keluar, lalu mendekatinya dengan memakai kaca mata hitam.
“Langsung pulang, Bang?” tanya Alif ketika mereka sudah dalam perjalanan menuju ke rumah.
“Lalu mau ke mana lagi?”
“Terus turun di mana?”
“Aku mau menemui Umi dulu.”
“Oh Rahma?” tanya Alif memperjelas.
“Umi ....”
“Di rumah Umi kan ada Rahma. Jadi otomatis bertemu Rahma dulu.”
Yudha terdiam. Dalam kondisi demikian, dia bingung. Siapa sebenarnya yang harus ia temui terlebih dahulu. Apakah A apakah B? Namun menurutnya keputusan ini sudah benar. Yudha menemui Uminya terlebih dahulu.
Setibanya di rumah itu, Yudha langsung disambut oleh Umi dan Abahnya. Pria itu juga membagikan oleh-oleh dari sana yang sempat terbeli dan sedikit bercerita tentang perjalanannya kali ini selama seminggu.
“Kalau datang ke Turki masih lebih baik. Masjid-masjid di sana masih banyak. Jadi kita tidak kesusahan untuk sekadar mencari tempat beribadah. Berbeda kalau kita datang ke negara lain, salah satunya Korea. Bahkan untuk mencari makanan halal saja, rasanya susah sekali. Mereka memandang kita sangat aneh dan waspada. Karena mereka beranggapan, orang seperti kita adalah komplotan te roris,” kata Yudha panjang lebar menjelaskan. Dia berada di ruang tamu bersama dengan anggota keluarga yang lain. Mereka turut menyimak cerita Yudha mulai dari awal berangkat sampai ia tiba lagi kembali ke sini.
“Iya, Bang. Betul. Mau cebok saja susah. Semua closet di sana tidak di sediakan selang air. Mereka itu kan tidak pernah cebok sehabis mereka membuang hajatnya,” kata Alif ikut menyahut sambil mengunyah makanan yang terhidang.
Abah pun ikut menyela. “Wajar saja mereka tidak tahu najis, tidak tahu kotor tidak tahu halal atau haram. Lantaran kebanyakan dari mereka tidak beragama. Padahal semua agama mengajarkan kebaikan dan kebersihan. Alangkah beruntungnya kita sebagai umat muslim terlahir di sini.”
“Tapi apakah mereka puas, membersihkan diri hanya dengan cara seperti itu?” Umi Ros ikut bertanya.
“Ya, itu karena mereka sudah terbiasa,” jawab Yudha.
“Nah, inilah keprihatinanku mengenai perjalanan Travel umum di negara kita untuk para muslim. Rata-rata mereka kurang memikirkan masalah makan, shalat, dan jarang sekali melakukan kunjungan-kunjungan ke tempat ibadah,” ujar Alif berkomentar tentang pandangannya terhadap Travel umum di negeri ini.
“Ini merupakan peluang kita untuk memperluas jaringan, Bang. Kebetulan, Indo adalah negara dengan populasi umat Islam terbanyak. Kalau tidak salah sampai 86,7 persen,” sambung Alif lagi.
“Tumben otakmu sedang lurus,” sahut Umi Ros tersenyum bangga sambil merangkul putra bungsunya. “Katanya kamu mau lanjutin S2 di Yaman, kenapa tidak jadi hm?”
“Takut Umi kangen sama Alif. Rindu itu berat, loh. Biar aku saja.”
“Halah! Alasan saja alasan.”
Alif terlebih dahulu tergelak, disusul oleh yang lain.
Ke empatnya masih bercerita dan berbagi pengalaman banyak hal, sebelum akhirnya Yudha mengakhiri obrolannya, lalu naik ke atas untuk membersihkan diri dan menemui Rahma di kamarnya.
Sangat mungkin pria itu menggauli istrinya di sana. Sebagaimana yang biasa dilakukannya kepada Vita pada saat siang hari atau di waktu-waktu yang tak terduga. Begitulah cara laki-laki itu menyalurkan rasa rindu.
Beberapa jam berlalu. Tanpa bermaksud untuk mengurangi jatah waktu bersama Rahma, pada saat menjelang malam, Yudha meminta izin untuk pergi menemui Vita terlebih dahulu.
“Dia menungguku, hanya ingin melihatku bahwa aku sudah sampai di rumah dengan selamat, itu saja,” kata Yudha memberi Rahma pengertian.
“Pergilah, Kak. Tidak apa-apa, aku pun mengerti. Sama seperti yang kurasakan, dia juga pasti khawatir padamu.”
“Baiklah. Aku akan menemuinya sebentar.” Yudha mencium kening Rahma sebelum pergi dari rumah, menemui istri pertamanya.
Yudha tersenyum pada saat ia melihat wanita itu membukakan pintu. Menyambutnya dengan senyuman yang amat manis dan merentangkan tangan untuk memeluknya begitu erat.
“Syukurlah ... akhirnya Mas Yudha pulang juga.”
“Ya, aku tiba di sini tadi siang. Maaf, aku telat menemuimu.”
“Tidak apa-apa, Mas.”
Yudha pun memberinya beberapa oleh-oleh yang ia belikan serupa dengan istri pertamanya. Hanya warnanya saja yang berbeda. Sebisa mungkin pria itu akan berbuat adil kepada mereka berdua.
Sebenarnya Vita ingin menyampaikan kabar bahagia itu sekarang. Namun hari ini bukan waktu yang tepat karena Yudha akan bermalam dengan Rahma. Maka ia harus menunggu tiga hari esoknya lagi hanya demi bisa mendapatkan kebahagiaannya secara utuh.
***
Hari demi hari dilaluinya dengan sangat tidak sabar. Dia terus membayangkan bagaimana reaksinya nanti saat suaminya mendengar kabar baik yang akan di sampaikannya.
Sekarang hari itu sudah tiba. Vita semakin tidak sabar. Dia berjalan bolak-balik dengan jantung berdebar. Satu tangannya memegang stik hasil tes urin yang dicek nya kemarin. Sedang satu tangannya lagi mengelus pelan perutnya yang masih datar.
Hingga akhirnya, Yudha pun datang dengan membawa tas kecil, serta merta peralatannya bekerja. Pria itu terlihat bahagia sekali saat masuk ke dalam rumah. Entah apa yang sedang terjadi padanya sehingga tak henti-hentinya mengu lum senyum.
“Kamu sehat?” tanya Yudha memeluk dan mencium pipinya.
“Kami sehat,” jawab Vita memberi kode. Namun hal ini masih belum disadari oleh suaminya itu. “Mas Yudha kelihatan bahagia sekali. Ada apa sih?” tanya Vita sangat ingin tahu.
“Iya aku bahagia sekali, Vit. Karena aku akan menjadi seorang Ayah,” jawabnya sambil tersenyum.
Hah, dari mana Mas Yudha tahu? Batin Vita bertanya-tanya. Namun masih diam, menunggu pria itu melanjutkan bicaranya.
“Rahma sudah hamil empat minggu. Tadi pagi dicek dan sudah diperiksakan ke dokter juga.”
Deg!
Seketika hatinya seperti terbelah mendengar pengakuan ini. Tangannya batal menyentuh perutnya sendiri dan malah justru bergerak seperti sedang mere mas udara. Senyumnya langsung memudar, berganti rasa hati yang begitu panas.
Dia benar-benar terbentur dari harapannya yang terlalu tinggi. Dalam sekejap perasaannya menjadi hampa. Kosong melompong. Gelap gulita.
Dalam diam, Vita memikirkan segala kemungkinan; kelak, seperti apa nasib buruk yang bakal menimpanya!
***
To Be Continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Endah Ing
pada akhirnya juga Rahma yg ditemuiin dulu
2024-10-02
0
Endah Ing
sepeleh mungkin bagi laki" tapi bagi perempuan....?!?!
2024-10-02
0
Gee Fmy
namanya madu , tapi pahit dan sakit
namanya manusia tidak akan benar²adil ..
mgkn suaminya bisa adil , tapi Ulah dan iri hati isteri sukar untuk suami berlaku adil ..
2024-08-04
0