Yudha merasa sedang berada dititik terendah. Berkali-kali dia meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, semua pasti berlalu, dan ini adalah tahapan lain yang harus dilaluinya. Untuk selama beberapa saat, dia bisa mengendalikan diri dan merasa tenang—namun setelah beberapa menit kemudian, dia kembali ke jurang kenestapaan.
Masih tercetak jelas dalam pikirannya bagaimana hancurnya sosok Rahma yang berlalu dari hadapannya. Membuatnya ikut merasakan sakit. Bayangan-bayangan tentang kenangan mereka bermunculan, berputar di kepalanya seperti kaset yang rusak. Teringat bagaimana caranya dulu ia mencintai wanita itu.
Tetapi disisi lain, ia juga tidak mungkin menceraikan Vita demi Rahma. Bagaimana tanggung jawabnya nanti di hadapan Tuhan? Membuang istrinya sendiri demi membahagiakan perempuan lain yang diharamkan atas segala-galanya. Apakah itu bukan perbuatan yang zalim?
Yudha pun bertanya-tanya terhadap diri sendiri. Siapakah sebenarnya cinta sejatinya?
Kembali kepada kenyataan. Yudha mengalirkan air keran yang terletak di samping rumah. Membasuh wajahnya agar kepalanya terasa lebih dingin dan merasa lebih baik. Setelah selesai, ia kembali ke dalam menemui istrinya yang saat ini sedang menunduk lesu.
“Kita ke kamar,” ucap Yudha berusaha memaksakan senyum, walau sebenarnya Vita tahu, Yudha hanyalah berpura-pura agar terlihat baik-baik saja di hadapannya.
Vita menatapnya sekilas, kemudian beranjak berdiri dan mengikuti ke mana Yudha menuju. Di kamar yang berukuran lima kali lima meter itu, Yudha menutup pintu. Beberapa barangnya, sudah terlihat teronggok di sana.
“Ini bisa kamu bereskan nanti siang,” ujar Yudha menghentikan Vita yang hendak membuka tasnya. “Memangnya tidak capek?”
Vita menggeleng.
“Kamar mandi ada di dalam sini.” Yudha menunjukkan pintu lain yang terletak tak jauh dari pintu masuk. “Aku tinggal dulu, mau langsung ke rumah sakit menjenguk Umi.”
“Ya, pergilah,” jawab Vita tanpa bisa mengatakan hal lain lagi.
“Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong ke belakang, di sana ada Bi Retno.”
“Jangan terlalu lama perginya.”
“Kenapa, kamu tidak bisa jauh dariku?” godanya seraya tersenyum.
“Tidak usah terlalu GR. Aku baru sampai dan langsung kamu tinggalkan sendiri di sini. Bagaimana aku tidak bingung?”
“Kenapa harus bingung? Aku tak menyuruhmu untuk melakukan apa pun. Anggaplah rumah ini seperti rumahmu sendiri.”
“Apa aku bisa betah tinggal di rumah ini?” Vita mendudukkan tubuhnya di pinggiran ranjang. Disusul oleh Yudha juga yang melakukan hal sama.
“Apa yang membuatmu berkata begitu? Kamu bahkan belum lima menit duduk di sini.”
“Bagaimana dengan ... Rahma?” tanya Vita menahan napas.
“Jangan tanyakan itu kalau kamu tidak merasa nyaman,” jawab Yudha mengerti apa yang sedang Vita rasakan. Yudha tahu, ini memang tidak bisa diterima dengan mudah oleh wanita mana pun. “Biar itu jadi urusanku. Kamu cukup memikirkanku saja.” Yudha berusaha memberikan penghiburan dengan mendekap tubuh kecil Vita ke dalam pelukannya.
“Seharusnya aku tidak pernah hadir di antara kalian. Akulah penyebab dari hancurnya hubunganmu dengannya,” lirih Vita mengandung penyesalan.
“Sst ... jangan pikirkan itu.”
“Bagaimana aku tak memikirkannya? Akulah pusat dari kesalahan itu, Mas.”
Yudha menggeleng dan mengeratkan pelukannya. “Mungkin kamulah jodohku, sebagaimana pun kami merencanakan, semua ketentuan tetap ada di tangan Tuhan.”
“Aku ... aku ingin pulang,” Vita berkata dengan bibir bergetar. Membuat Yudha sontak menjauhkan tubuhnya dan menatapnya lekat-lekat. Menanti ucapan yang belum seluruhnya Vita ungkapkan.
“Apa sebaiknya kita pisah saja ...,” ujar Vita tersendat-sendat. “Aku berjanji tidak akan meminta apa pun. Sudah pernah ada di dalam dekapanmu saja, itu sudah cukup membuatku bahagia.”
Seketika Yudha langsung menyela. “Jaga bicaramu, Vita!”
Untuk pertama kali Yudha membentaknya. Dari raut wajahnya mencuat semburat kemarahan dan kekecewaan. “Kamu sendiri yang bilang bahwa pernikahan ini sungguh-sungguh bagimu. Kamu tahu artinya sungguh-sungguh? Sungguh-sungguh artinya tidak mempermainkannya!”
‘Tapi aku nelangsa karena bahagia di atas penderitaan perempuan lain. Meskipun aku juga tidak akan rela kalian bersatu. Aku tidak tahu harus bagaimana dan aku benar-benar benci diriku sendiri.’
“Kamu tidak mencintaiku bukan?” tanya Vita setelah beberapa saat kemudian.
Namun pertanyaan sederhana itu tidak mendapatkan jawaban. Dan Yudha malah justru mengatakan hal lain.
“Aku tidak akan menceraikanmu, sampai kapan pun,” kata Yudha dengan pelan tapi tegas. “Tenangkan dirimu dulu. Aku pergi ke rumah sakit sekarang. Kuharap setelah aku kembali aku menemuimu dalam keadaan yang lebih baik.”
Usai berkata demikian, Yudha keluar dari kamar dan meninggalkannya seorang diri.
Namun belum ada satu menit, pintu kembali terbuka, terlihat Yudha masuk kembali ke kamar ini dan langsung memeluknya. Mengecup tangannya seperti biasa dan mengucapkan kata maafnya berkali-kali.
“Kalau aku tidak menyayangimu, mana mungkin aku membawamu ke sini dengan segala risiko yang akan aku hadapi. Kamu juga kukenalkan pada semua orang yang kutemui di rumah ini sebagai istriku, dan kamu pun mengetahuinya.”
‘Bibirmu mungkin bisa berkata seperti itu, tetapi hatimu bisa berkata lain. Pasti ada perbedaan jumlah dan akulah yang ada di posisi dengan kadar yang paling rendah.’
***
Di bawah siraman sinar matahari yang cukup terik, mobil berwarna putih dengan nomor pelat yang di awali huruf B menuju ke gedung rumah sakit yang berada di daerah jalan besar Adiyasa. Setelah memastikan mobil aman di tempat yang seharusnya, Yudha menaiki lift menuju ke lantai di mana Uminya sedang dirawat.
Nomor kamar yang dituju. Setelah sampai di depan kamar itu, Yudha pun membuka kamar seraya mengucapkan salam. “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab beberapa orang bersamaan.
Matanya langsung tertuju kepada Umi Ros yang sedang terbaring lemah dengan jarum infus yang menusuk di tangan kanannya. Ada Abah dan juga Alif. Namun orang yang pertama didekati adalah Umi Ros.
“Alhamdulillah, kamu pulang,” kata Umi Ros sangat bersyukur. Beliau berulang kali mengusap kepala putranya yang terus menunduk mencium tangannya.
“Cepat sehat,” kata Yudha dengan lirih.
“Iya, Umi sudah sehat.”
Abah ikut menyahuti, “Umi hanya tensi rendah dan kurang cairan saja. sudah bisa pulang besok hari kata dokter.”
“Kalau kamu gimana, sehat?” Umi bertanya.
Yudha hanya mengangguk. Dia tak kuasa menahan harunya suasana ini. Rindunya begitu besar terhadap keluarga yang sudah beberapa hari ditinggalkannya. Berbalik badan, Yudha memeluk Abahnya dengan penuh kerinduan. “Maaf, Bah. Yudha sudah membuat kalian susah.”
“Sama sekali tidak,” jawab Abah. Kemudian keduanya merenggangkan pelukan. “Alif bilang, kau membawa pulang seorang istri apa itu benar?” tanya Abah langsung ke poin utama.
Yudha menatap satu persatu ketiga orang yang sedang berada di sana. Oh, jadi Alif sudah memberitahukannya?
Tetapi memang sudah seharusnya mereka tahu bukan? Mau sekarang atau nanti pun sama saja.
“Duduklah, berbicaralah kepada kami,” titah Abah dengan tegas dan bijaksana. “Jelaskan semuanya tanpa terkecuali.”
“Tolong jangan pikir Yudha melakukan perbuatan tercela, Abah, umi. Demi Allah Yudha tidak melakukan itu.”
“Ya, maka dari itu, jelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi,” sahut Umi dengan bijaksana pula. “Agar kami tetap berprasangka baik terhadapmu.”
Terlebih dahulu Yudha menghela napasnya panjang, sebelum akhirnya menceritakan apa yang terjadi kepadanya selama beberapa hari di sana.
“Sebelumnya Yudha minta maaf Abah, Umi. Karena Yudha berangkat tanpa mengantongi restu dari kalian. Mungkin karena sebab itulah, Yudha terkena akibatnya ....” kemudian Yudha menceritakan awal mula dia masuk ke desa terpencil dengan serentetan musibah yang terjadi kepadanya; susah sinyal (yang mengakibatkan navivasinya tidak berfungsi dengan baik), menabrak seorang gadis, mogok berikut kecopetan dan terpaksa tinggal bersama karena tidak punya jalan keluar lain—lantas berakhir pada sebuah fitnah keji yang mengharuskan mereka menikah.
Yudha juga menceritakan bagaimana kehidupan Vita di sana yang seorang diri. Juga dengan bobroknya keadaan desa itu. Abah, Umi mau pun alif, mendengarkan semua yang Yudha jelaskan tanpa ada yang menyela mau pun menyulut api amarah.
Beberapa puluh menit berlalu. Setelah keluarga menelaah semua penjelasan Yudha dan menangkap garis besarnya, Abah turut berbicara, membantu memberikan saran dan jalan keluar.
“Datangi rumah Rahma sekarang. Katakan permintaan maafmu kepada keluarganya. Jelaskan sejujurnya apa yang kamu alami agar tidak menjadi sebuah kesalahpahaman. Abah tidak mau mereka mengira bahwa kau adalah orang yang tidak bisa memegang janji.”
“Baik, Bah.” Yudha menyanggupi karena memang sudah seharusnya demikian.
“Kau tahu masalah ini bisa menyeret-nyeret nama keluarga. Buktikan kepada mereka bahwa kami tidaklah salah dalam mendidikmu.”
Yudha mengangguk mengakui serangkaian kesalahannya. “Sekali lagi maafkan Yudha, Bah.”
Abah memegang sebelah pundak putranya sekilas. “Ini bukan kesalahanmu sepenuhnya. Kami sudah memaafkanmu, tetapi lain kali kau lebih hati-hati lagi.” Ada jeda sebelum Abah kembali melanjutkan petuahnya, “Kau sudah menjadi seorang suami sekarang, yang tindak tanduknya akan diikuti oleh istrimu. Kau harus menjadi imam yang baik agar bisa menjadi contoh untuk anak-anakmu kelak.”
“Jadi Abah dan Umi menerima Vita di keluarga kita? Walau dia tak berasal dari ....”
“Tidak ada yang berbeda di mata kami, Nak. Semua tampak sama saja,” kata Umi menyela ucapan putranya.
Yudha mengusap dadanya lega karena Uminya menerima Vita di keluarganya dengan tangan terbuka. Sudah Yudha duga sebelumnya bahwa Umi adalah wanita yang paling tulus yang pernah ia kenal dan ia miliki. Berkali-kali Yudha mengucapkan rasa syukur dan terima kasihnya, sebelum akhirnya Yudha menyelesaikan masalah berikutnya di rumah Rahma. Menemui keluarga itu.
***
“Mas Yudha ke mana? Teganya dia membiarkanku sendirian begini.”
Setengah hari berlalu terasa sangat lama bagi Vita berada di rumah besar keluarga Al Fatir. Bagi orang yang baru seperti Vita, dia cukup bingung berada di sini. Seharusnya, Yudha tidak pergi selama itu meninggalkannya.
Tidak ada yang dilakukannya hari ini selain menunggu kepulangan Yudha seraya berharap dengan cemas. Kecemburuan sudah pasti ada. Takut diam-diam suaminya menemui Rahma tanpa sepengetahuannya.
Tetapi apakah betul Yudha tega berbuat hal demikian? Bukankah pria itu cukup tahu apa saja yang membuat pernikahan ini bernoda?
Namun tidak bisa dipungkiri, Ustaz paling suci pun, bisa berbuat kekhilafan. Karena ujian terberat laki-laki dalam hidupnya adalah kaum perempuan, sedalam apa pun mereka memiliki iman.
“Biasanya perginya Mas Yudha lama tidak, Bi?” tanya Vita yang sudah akrab dengan Bi Retno, satu-satunya asisten rumah tangga di rumah ini. Berusia sekitar lima puluh tahunan.
“Tergantung perginya Non. Kalau ke kantor paling jam lima, beliau sudah sampai di rumah. Tapi kalau ke tempat lain, ya tidak bisa dipastikan,” Bibi menjawab dengan seulas senyum. “Dihubungi saja kalau ingin tahu Non,” ujarnya lagi memberinya saran.
“Nomornya tidak bisa dihubungi,” jawabnya penuh kekecewaan.
Hingga malam hari Vita menunggu, namun Yudha tidak juga pulang ke rumah apalagi menghubunginya. Malam itu tanpa ada Yudha di sampingnya, Vita menangis sampai larut.
****
Thank you buat ketiga orang ini peyuk onlen....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Jaya Nada
alhmdullah keluargany menerima vita
2022-10-08
0
Christy Oeki
trus sehat
2022-07-12
0
Nai's House
sedih
2022-06-15
0