Pesta pernikahan yang hanya dihadiri keluarga besar dan beberapa rekan kenalan kedua belah pihak pun digelar dengan tanpa gangguan. Di pelaminan dengan dekorasi bunga mawar putih itu, berdiri sepasang pengantin dalam busana jawa berwarna putih yang memberikan kesan suci, tulus, dan romantis.
Sepasang pengantin yang belum mengenal satu sama lain, nyatanya dapat bekerja sama dengan apik, memberikan senyuman mereka kepada setiap tamu undangan yang hadir. Senyuman indah seolah-olah tak pernah luntur dari wajah keduanya. Bukan senyum settingan, tetapi mendengar doa tulus dan ucapan bahagia dari para tamu undangan membuat Khaira bahagia, dia pun berharap bisa menjalani pernikahan yang bahagia, sakinah, mawadah, wa rahmah till jannah bersama suaminya tersebut.
Bagi Khaira tidak masalah apabila keduanya saling mengenal terlebih dahulu, menunggu hingga bunga-bunga kasih sayang bersemi di hati keduanya. Lagipula, waktu yang mereka miliki untuk saling mengenal satu sama lain adalah waktu yang panjang.
Usai semua prosesi pernikahan selesai, Khaira langsung diboyong ke rumah pribadi Radit yang dibelikan kedua orang tuanya sebagai hadiah pernikahannya. Khaira yang telah melepas kebaya, hiasan rambut, hingga membersihkan make up nya harus bersiap meninggalkan rumahnya, meninggalkan kamar sebagai tempat ternyamannya, meninggalkan Ayah Ammar dan Bunda Dyah, dan harus mengikuti suaminya, Radit.
"Ayah... Bunda... Khaira pamit, tapi khaira akan tetap sesekali mengunjungi Ayah dan Bunda." Gadis itu menangis sesegukkan di pelukan kedua orang tuanya.
"Iya Khai... Rumah ini selalu terbuka untukmu. Belajar menjadi istri yang baik ya Nak..." Pesan Ayah dan Bunda kepada anak satu-satunya itu.
"Iya Ayah... Bunda..."
Radit pun berpamitan kepada Ayah Ammar dan Bunda Dyah. Tidak lupa Ayah menitipkan putri kesayangannya itu dan memberikan doa untuk Radit dan Khaira.
"Sekarang kita sudah menjadi keluarga, Mar... Tujuanku menjadi keluarga denganmu sudah tercapai dengan menikahkan Radit dan Khaira. Jangan khawatir, sekarang kami juga orang tua Khaira, kami juga akan menyayangi Khaira sama seperti kami menyayangi Radit. Khaira bukan menantu kami, tetapi putri kami." Ucap Ayah Wibi sembari memeluk Ayah Ammar, mereka yang bersahabat sejak muda kini bisa menjadi keluarga dengan pernikahan kedua anak mereka.
"Titip Khaira ya, Bi... Bimbing anakku satu-satunya. Sayangi anakku itu, bila anakku berbuat salah, tegurlah dia." Sahut Ayah Ammar menepuk punggung sahabatnya itu, sembari menahan matanya yang berkaca-kaca.
"Ya udah, kami pamit ya Besan. Khaira aman bersama Radit, kami juga akan sering-sering mengunjungi mereka."
Akhirnya mobil Ayah Wibi dan mobil pengantin pun berjalan beriringan. Ayah Ammar dan Bunda Dyah berdiri di depan pintu gerbang melambaikan tangannya melepas kepergian anak satu-satunya mengikuti suaminya.
Sementara di dalam mobil, Khaira menangis terisak-isak, walaupun ini hanya perpisahan sementara, tetapi ia begitu sedih. Rumah yang ia tempati sejak kecil, orang tua yang merawatnya setiap hari kini tak ada lagi, statusnya sebagai istri yang harus membuatnya meninggalkan ayah dan ibunya, lalu bersatu dengan suaminya.
Radit yang melihat Khaira menangis terisak-isak, justru menunjukkan raut wajah jengah dengan kelakuan istrinya yang seperti anak kecil.
"Udah gak usah nangis, cengeng banget sih kayak anak kecil." Perkataan itu meluncur begitu saja dari mulut Radit dengan nada yang ketus. Pria itu tidak tahu bila satu kalimat yang ia ucapkan justru menggores hati istrinya itu.
Khaira sama sekali tak membalas perkataan Radit. Dia membuang mukanya dan lebih memilih melihat pemandangan dari balik kaca mobilnya. Kalimat pertama yang suaminya ucapkan justru kalimat ejekan dengan mengatainya 'cengeng'. Padahal anak mana pun tentu akan menangis ketika berpisah dengan kedua orang tuanya, dan mengikuti suaminya. Itu adalah perasaan naluriah yang muncul karena besar kasih sayang anak dan orang tuanya. Bukan berarti cengeng, siapa pun juga menangis ketika harus meninggalkan orang tuanya dan memulai hidup baru bersama suaminya.
Mobil yang ditumpangi Radit dan Khaira membelah jalanan ibukota yang masih ramai, hingga akhirnya mobil itu memasuki area perumahan dengan sistem one gate yang menjaga keamanan seluruh penghuni kawasan perumahan tersebut. Mobil itu terhenti di satu perumahan minimalis dua lantai, dengan cat perpaduan abu-abu dan hitam, dan gerbang teralis bercat hitam yang menjadikan rumah tersebut nampak indah. Keduanya turun dari mobil, dan masuk ke dalam rumah yang nampak baru itu.
"Kamarnya di atas, langsung naik aja." Ucap Radit sembari melangkah duluan menaiki anak tangga. Sementara Khaira pun turut mengikuti langkah kaki suaminya tersebut.
Khaira turut memasuki kamar yang dengan jendela menghadap langsung ke jalan depan rumahnya itu. Ia menyapu pandangannya ke sekeliling, mengamati kamar itu. Terdapat satu tempat tidur berukuran king size, televisi, sofa sedang, meja belajar, serta kamar mandi dalam.
"Ini kamar kamu... Kamu bisa tinggal di sini, aku keluar dulu."
"Makasih, Mas Radit mau ke mana?" Tanya Khaira yang memanggil nama suaminya dengan sebutan "Mas". Sebab, bagaimana pun menurut tradisi Jawa yang sering diceritakan oleh Bunda Dyah, memanggil suami dengan sebutan "Mas" adalah tanda seorang istri menghormati dan menghargai suami.
"Bukan urusan kamu, karena aku tidak akan tidur di sini bersama kamu. Atau jangan-jangan kamu menginginkan malam pertama seperti pasangan pengantin baru pada umumnya?" Sahut Radit dengan menyunggingkan senyuman ketus di sudut bibirnya.
"Tidak..." Sahut Khaira dengan nada lirih.
"Jangan harap untuk mendapatkan nafkah batin dariku, karena aku tidak mencintai kamu. Aku meminangmu tanpa cinta. Aku meminangmu untuk memenuhi perjodohan yang dibuat oleh Ayahku. Dan, aku sudah memiliki wanita lain yang aku cintai. Aku akan menikahinya dengan segera. Wanita yang aku cintailah yang layak untuk menjadi permaisuri hatiku dan mendapatkan nafkah batin dariku, bukan anak kecil yang cengeng kayak kamu."
Usai mengucapkan kata-kata menyakitkan itu, Radit meninggalkan istrinya seorang diri. Sementara Khaira merasakan sayatan di dalam hatinya. Luka tak berdarah! Perkataan suaminya yang panjang lebar nyatanya hanya memberikan duka dan lara.
"Aku juga menerima pinanganmu tanpa cinta, Mas. Tetapi mengapa kamu menjadi suami yang begitu kejam." Ucapan itu terucap begitu saja dari mulut Khaira dan ia menangis tersedu-sedan di tempat tidurnya.
"Jika pinangan harus didasari dengan cinta, memang ini bukanlah pinangan dengan cinta, tapi ini takdir Allah..." Hatinya merasa sembilu dengan setiap perkataan yang diucapkan suaminya di malam pertama mereka. Malam pertama yang seharusnya diarungi kedua mempelai dalam samudra cinta justru berakhir pilu bagi Khaira, di malam pertamanya Suaminya meninggalkannya dan mengatakan akan meminang gadis yang dicintainya.
"Kejam... Kau suami yang kejam, Mas." Khaira merutuki takdirnya lantaran harus membina rumah tangga tanpa cinta. Sekaligus suaminya pun nampak tak menginginkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 293 Episodes
Comments
Alea
ku tunggu bucinmu dit
2023-11-17
0
Nur Inuhan
sabar Khai nanti jg dia bucin.
2023-07-15
1
senja
harusnya kamu bisa ngomong yg baik kan Radit...ga ngegas gitu...mau liat cewek yang dicintai Radit..sebagus apa dia... sombong bgt jadi cowok....
2022-10-12
0