Pagi itu kecanggungan terasa di dalam mobil. Anindya terdiam begitu juga dengan Rio. Tak ada lagi keceriaan seperti hari hari biasanya.
Cercah sinar matahari pagi menerobos menembus kaca mobil membuat mata Anindya sedikit silau. Jalanan sedikit macet ketika jam kerja seperti ini.
Terlihat Rio memfokuskan penglihatannya ke arah jalan di depannya yang di penuhi hilir mudik kendaraan. Anindya mencuri pandang dari sudut matanya ke arah laki laki itu. Sebenarnya dia tak tahan dengan situasi ini. Ayolah Rio jangan diam seperti ini. Batinnya
Tapi Rio tetap tak bergeming, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Sampai tiba di kantor keduanya tetap membisu. Anindya berjalan ke ruangannya begitupun Rio berjalan memasuki ruangannya sendiri.
"Nin,,, hari ini Pak Rio kenapa? Dia sakit? " tanya Gendis penasaran. Alisnya mengernyit.
" Nggak tau, tapi dia sehat kok,memangnya kenapa? "Anindya balik tanya, tangannya mulai menyalakan laptop di meja kerjanya.
" Dia kaya lemes gitu, nggak ada gairah. " Gendis menjelaskan Apa yang dia lihat.
" Mungkin kurang tidur Dis, dia nggak ngomong apa apa sih. " Anindya berbohong.
" jangan jangan dia putus sama pacarnya. " Gendis bersemangat.
Anindya terkekeh melihat Gendis yang begitu bersemangat. Gadis itu kelihatannya sangat menyukai Rio. Tapi apa Rio tahu kalau Gendis menyukainya. Secara Gendis kan anaknya pemalu, dia tidak berani terang terangan mengungkapkan perasaannya seperti yang lainnya.
"Berdoa saja Dis. " Anindya tersenyum tipis.
" Ya Allah mudah mudahan Pak Rio secepatnya menjadi jomblo. " Gendis menengadahkan kedua tangannya.
" Aam...." Anindya menutup mulutnya. Tak jadi meneruskan ucapannya. Kalau dia mengaminkan itu sama saja dengan mendoakan diri sendiri untuk segera pisah dengan Rio. Apa jadinya keluarganya nanti kalau nasib pernikahan mereka hanya bertahan seumur jagung.
"Iiih kok nggak di lanjutin. " Gendis merengek.
" Jahat banget sih doa kamu. "Anindya menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
" Hahahaha... " Gendis ikut tergelak.
*****
Jam istirahat
Tumben Rio tidak mengajaknya makan siang di luar. Anindya melihat jam tangannya. Sudah 15 menit berlalu dari waktu istirahat siang. Tapi Rio belum juga muncul. Biasanya laki laki itu selalu menjemput kw ruangannya untuk makan siang bersama keluar. Tapi kali ini dia tidak datang.
Anindya gelisah. Makan siang dengan siapa kalau Rio tidak ada. Mungkinkah Rio sudah makan siang sendiri,tanpa mengajaknya? Tega banget Rio, pikir Anindya menaruh dagunya diatas meja dengan kedua tangan memainkan bolpoin.
Semua pegawai di ruangan itu sudah berlalu satu persatu keluar hendak mengisi perutnya. Menyesal td Anindya menolak tawaran Gendis untuk ikut makan siang bersamanya. Mau keluar sendiri dia tidak berani dan tak tahu jalan karena memang baru beberapa hari dia bekerja di tempat ini.
"Hhmmm"
Anindya memegangi perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi. Ia melirik lagi ke arah pintu masuk berharap Rio berdiri di situ untuk mengajaknya makan siang. Tapi tak ada sosok Rio disana. Anindya tertunduk lemas.
Waktu istirahat siang sudah hampir habis dan Rio tidak ada muncul sama sekali. Ya sudah lah lebih baik sholat dzuhur aja dulu, pikir Anindya beranjak menuju mushola kantor. Rasa perih mulai terasa di perutnya. Anindya melangkah gontai ke luar ruangan menuju mushola.
Ruang mushola berdekatan dengan tangga yang menuju lantai bawah. Saat Anindya hendak masuk ke dalam mushola terdengar cekikikan seorang perempuan di tangga menuju atas. Anindya terhenti sejenak.
"Makasih loh Pak sudah neraktir saya. "
Anindya merasa tak asing dengan suara itu. Rina. Dengan siapa dia makan siang? Ah apa urusannya dengan dia. Anindya kembali melanjutkan langkahnya memasuki mushola.
" Sama sama Rin, makasih juga sudah nemenin aku makan. "
Deg! Jantung Anindya berdesir. Itu suara Rio. Dari tadi dia menunggu tapi ternyata Rio malah mengajak Rina makan siang bukan dengannya. Hati Anindya seperti teriris pisau, sakit, perih.
Rio menapakan kakinya di lantai dua. Matanya beradu pandang dengan Anindya yang tengah menatap ke arahnya. Rio terkejut.
" Hei Anindya, sudah makan siang belum? Maaf ya Pak Rio aku pinjem tadi" Rina tersenyum tipis tangannya memegang lengan Anindya.
Di pinjam? Memangnya Rio barang?
" Su... su...dah." jawab Anindya lemas.
Rio menatap penuh selidik seakan tak percaya dengan ucapan Anindya.
" Ya sudah aku duluan ya,,, Pak Rio sekali lagi terima kasih. " Rina pamit dan melempar senyum manisnya ke arah Rio.
Rio mengangguk dan membalas senyum Rina. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke arah Anindya yang sedang menatap tajam dirinya. Kedua matanya berkaca kaca.
" Kamu kenapa? " Rio terperangah melihat air mata yang sedikit merembes di sudut mata Anindya. Dia meraih tangan gadis itu berusaha mencari tahu apa yang terjadi.
Anindya menatap penuh kekecewaan. Dan Rio bisa merasakan itu. Air mata tak tahan lagi ia bendung, Anindya melepas tangan Rio dengan kasar dan berlalu pergi meninggalkan Rio yang masih terpaku.
Selesai sholat Anindya masuk kembali ke ruangnya. Perutnya semakin melilit tak karuan. Magh nya kambuh. Dia mengambil sebutir obat magh dari dalam tasnya yang selalu ia bawa kemanapun.
Tiba tiba sepasang tangan melingkar di perutnya. Disusul sebungkus nasi padang sudah bertengger diatas mejanya.
"Maaf... " terdengar suara Rio berbisik di telinganya. Anindya terpejam. Menahan sakit ketika mengingat Rina bukan dirinya yang diajak Rio makan siang tadi.
Anindya membalikkan badan menghadap Rio. Laki laki itu terlihat menyesali keputusannya tadi. Dia tidak berpikir kalau Anindya adalah orang baru yang belum tahu daerah situ. Dia egois. Mementingkan harga dirinya di banding kesehatan Anindya.
" Makanlah sebelum magh mu kambuh. " Rio mengusap air mata yang mengalir di pipi mulus Anindya.
Mendapat perlakuan seperti itu Anindya malah menangis tersedu. Antara rasa haru, sedih, kecewa dan benci bercampur menjadi satu. Menjadikan sesuatu yang terasa mengganjal di hatinya.
Rio menarik Anindya ke dalam pelukannya. Mengusap lembut rambutnya. Sungguh dia merasa bersalah tidak mengajak Anindya makan siang dan meninggalkannya sendirian. Rio malah menerima ajakan Rina yang mengajaknya makan siang bareng.
"Maaf... Maafkan aku. " Bisiknya lirih.
" Jangan perlakukan aku kaya gini lagi. " Anindya memukul pelan dada Rio melampiaskan rasa kecewanya.
" Iya tidak akan... aku janji. " Rio melepaskan pelukannya. Mengusap lembut pipi yang telah basah oleh air mata. Memberanikan diri untuk mengecup lembut kening wanita yang ia sayangi itu. Anindya tidak menolak kecupan dari Rio, dia hanya memejamkan kedua matanya.
" Ya sudah makan dulu, nanti keburu dingin. " Rio membuka bungkusan nasi padang yang ia beli tadi, mengambil sendok dan air minum dari pantry. Dia siapkan segala sesuatunya untuk Anindya. Dia ingin menebus rasa bersalahnya terhadap gadis itu.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Daylily
jadi ikutan sedih, huhhbuhuhhuhu 😭🤭😃
2021-07-11
0
nobita
ada yg mulai perhatian ini.. hmhmm
2021-04-09
0
Mutiara Zahra
ikut nangis
2020-07-10
1