Pak Dobagnus membuka pintu rumahnya dan mendapati Cain yang telah menunggu di depan sambil memegang obor. Pria itu kini tidak mengenakan baju zirahnya, melainkan mengenakan pakaian penduduk biasa.
"Selamat malam Pak Dobagnus dan Bu Clara!" Sapa Cain.
"Selamat malam Cain!" Sapa balik Pak Dobagnus dan Bu Clara.
"Aku datang kemari untuk menjemputnya," tunjuk Cain padaku.
"Silahkan!"
"Apa dia merepotkan Pak Dobagnus selama berada di sini?"
"Tidak, tidak. Justru aku sangat senang karena dia bisa datang ke rumahku."
"Syukurlah..."
Cain pun mendatangiku dan mulai memasangkan borgol. Borgol yang dipasangkan pada kedua tanganku sendiri masih sama seperti yang kupakai tadi.
"Baiklah kalau begitu, aku izin pamit ya Pak Dobagnus dan Bu Clara!" Ucap Cain.
"Terima kasih banyak, pak, bu!" Aku mengikuti.
Setelah itu, kami berdua pergi berjalan meninggalkan rumah sang kepala desa menuju suatu tempat. Aku tidak terlalu banyak bicara selama di perjalanan dan hanya fokus untuk mengikuti Cain.
"Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan sejak tadi. Kenapa tidak kita lakukan saja sekarang? Namaku Cain. Aku adalah salah satu perwakilan kesatria Arawihala dari Doritto," ucap pria itu untuk memulai pembicaraan.
"Namaku Jion."
Aku tidak tahu harus mengatakan apalagi. Jika aku terlalu asik bicara, aku mungkin akan membuat kesalahan yang sama seperti saat berada di rumah Pak Dobagnus.
"Itu saja? Kau tidak ingin memberitahuku tentang hal lain?" Tanya pria itu.
"Hmmm," jawabku untuk mengiyakan.
"Baiklah jika kau memang tidak ingin memperkenalkan diri."
Situasi pun kini menjadi hening. Kami melanjutkan perjalanan sampai akhirnya tiba di sebuah bangunan yang mirip gudang dengan beberapa lentera yang ditaruh pada bagian depannya.
Cain memadamkan obor yang dia pegang pada sebuah ember, lalu berjalan menuju pintu gudang untuk membukanya. Selagi Cain membuka pintu tersebut dengan kunci yang dia kantongi, aku memperhatikan salah satu lentera yang dipasang di dekat pintu itu.
"Kenapa untuk pergi ke luar, kalian menggunakan obor dan bukannya lentera?" Tanyaku dengan heran.
"Alasannya cukup sederhana. Karena, obor sewaktu-waktu bisa digunakan sebagai alat pertahanan diri. Para penduduk yang berpergian ke luar rumah saat malam, sebaiknya menggunakan sesuatu yang dapat menerangi sekaligus melindungi diri mereka dari ancaman yang mungkin akan datang. Dan kau tahu, dipukul oleh sebuah obor panas itu lumayan sakit lho!" Jawab Cain yang kini sudah membuka pintu.
"Silahkan masuk!" Ajaknya.
"Baik."
Aku lantas berjalan masuk ke dalam gudang tersebut.
Tanpa diduga, ternyata bangunan itu memiliki ruang yang cukup luas dibandingkan gudang pada umumnya. Di dalam, terdapat sebuah sofa, meja, dan kursi kayu yang diiris dengan obor-obor pada beberapa sisi tembok.
Aku pun berjalan menuju keberadaan sofa itu dan bertanya dengan antusias, "Apa aku akan tidur di sofa ini?"
"Tidak. Aku yang akan tidur di situ," jawab Cain setelah menutup pintu.
"Terus aku akan tidur dimana?"
"Kau akan tidur di sana!" Tunjuk Cain.
Cain sendiri menunjuk ke bagian sisi lain ruangan gudang. Setelah melihat ke arah pria itu menunjuk, aku pun langsung kesal dibuatnya.
"Apa-apaan itu?! Sebuah penjara?!"
"Selama berada di Doritto, bukannya kau memang akan tinggal di sel?"
Dengan kesal aku menjawab, "Iya... Tapi tetap saja kalian memberikan hukuman ini tanpa dasar yang jelas!!!"
"Sudah, tenang saja. Sel itu lumayan nyaman kok!"
"Kalau nyaman, kenapa kau tidak tidur di sana bersamaku?"
"Aku lebih senang tidur di sofa," jawab pria itu sambil cengar-cengir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Leader
aku juga lebih suka tidur di sofa gan👍👍👍👍😂😂😂😂😂
2021-12-26
1
Bawang
Wkwkw obor lebih multifungsi daripada lentera yak 🤣🤣👍
2021-11-27
1