Superesse
"Ada banyak sekali kejadian mengerikan yang terjadi selama kita di sini. Semakin lama, aku semakin merasa takut kalau selamanya kita akan terjebak di sini dan berakhir tewas seperti yang lain…" lirihnya dengan pandangan tertuju ke arah lain. Ia enggan untuk bertatapan dengan wanita yang kini berdiri dihadapannya.
"Semakin lama, aku semakin merasa tidak tenang. Terkadang setiap kali aku akan tidur, aku merasa takut. Aku takut kalau tidak akan pernah ada lagi hari esok untukku, dan semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa kalau waktuku hanya tinggal sedikit…"
"…Maka dari itu, sebelum semuanya terlambat… aku ingin mengatakannya lebih cepat padamu."
Lucio menoleh ke arah wanita yang kini berdiri dihadapannya tanpa kata.
"Aku mencintaimu," tuturnya dengan kalimat lugas, seolah mengucapkan kata itu tanpa pikir panjang.
Ekspresi wanita itu seketika berubah kaget, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.
"Aku tahu kita baru saja bertemu, dan aku juga tahu kita baru saja bersama selama beberapa Minggu. Tapi aku sungguh mencintaimu. Entah sejak kapan perasaan ini muncul, tapi—"
"Aku juga mencintaimu!" potong wanita itu cepat sampai membuat Lucio diam tanpa kata.
Lucio mengerjapkan matanya beberapa kali. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja wanita itu katakan.
"Aku juga tidak tahu sejak kapan aku sadar akan perasaanku padamu. Tapi yang pasti… semenjak bertemu denganmu, aku merasa nyaman, dan aku juga merasa aman. Kau selalu ada untuk membantuku, dan kau selalu melindungi ku. Sikapmu benar-benar telah membuatku luluh…" Wanita itu bicara dengan wajah merah merona. Ia menunduk, menghindari kontak mata secara langsung dengannya.
Perlahan tanpa sadar, senyuman terukir di wajah Lucio. Ia merasa sulit untuk percaya dengan apa yang baru saja dikatakan wanita dihadapannya itu.
Satu kalimat yang terlontar dari bibir mungilnya, berhasil membuat bunga-bunga dalam hatinya bermekaran. Membuat Lucio merasa seolah terbang hingga ke langit ke tujuh.
Lucio berjalan tanpa sadar, menarik tangan wanita itu dan mendekapnya erat.
Refleksnya benar-benar berhasil membuat jantung wanita itu berdebar.
"Terima kasih karena kau sudah mau jujur dengan perasaanmu. Senang rasanya mengetahui kau memiliki perasaan yang sama denganku," bisiknya tepat di telinga wanita itu.
Wanita itu perlahan tersenyum lantas membalas pelukan Lucio.
Jleb!
Tanpa ada peringatan apa-apa, Lucio merasakan sebuah benda tajam menusuk punggungnya.
Craattt!
Darah merembes keluar ketika benda yang baru saja menusuk dirinya itu dilepas.
Lucio membulatkan mata, ia spontan melepaskan pelukannya dengan wanita itu.
"L-Lucio…" Wanita itu menutupi mulutnya yang menganga. Wajahnya pucat bukan main, ia benar-benar shock dengan apa yang baru saja terjadi.
Lucio tak kalah kaget. Apalagi ketika ia melihat tangan wanita itu berlumuran darahnya.
"K-kau…" Wajah Lucio memucat. Tubuhnya perlahan kehilangan keseimbangannya.
Tanpa sadar bergerak mundur. Sambil menahan sakit, ia berusaha menjauh dari wanita dihadapannya.
Tidak aku sangka. Ternyata semua ini ulahmu? Lucio menatap wanita itu bukan lagi sebagai wanita yang dicintainya, melainkan sebagai tersangka atas pembunuhan sejumlah aktor yang menjadi rekan kerjanya.
Aku benar-benar sudah ditipu…
Lucio terus melangkah mundur sampai ia tidak sadar kemana kakinya melangkah.
Di tengah menahan rasa sakit, ia malah tergelincir hingga akhirnya jatuh.
Tubuhnya bergerak begitu cepat, terjun bebas tanpa pengaman apapun dari gedung tua setinggi belasan meter.
Brukk!
Tubuhnya menghantam tanah. Hanya dalam hitungan detik, Lucio benar-benar tidak bisa melihat hal lain, selain kegelapan.
...*...
Singgg!
Perhatiannya seketika beralih pada benda yang sejak tadi menempel pada kantong kemeja yang ia kenakan. Permata pada benda itu bersinar, seolah memberikan suatu pertanda untuk dirinya.
Ada yang tidak beres.
Aku rasa, ada sesuatu yang terjadi padanya…
Dia menoleh ke arah lautan lepas. Dimana langit mulai di dominasi warna jingga, menandakan bawah gelap sebentar lagi tiba.
"Binbin, apa yang kau lakukan di sana? Sebentar lagi gelap. Lebih baik kita kembali ke hotel, pak Ilario juga sudah meminta yang lain untuk menunda pencarian hingga besok." Suara wanita itu berhasil mengalihkan perhatiannya.
"Baiklah, ayo kembali. Aku juga harus memastikan sesuatu."
...*...
Gelap.
Apakah aku benar-benar sudah mati?
Tapi… kenapa begitu nyaman?
Rasanya empuk dan hangat.
Apakah aku ada di surga dan sedang terbaring di atas tanah kapas?
Drrttt! Drrttt!
Lucio terdiam. Samar-samar, ia mendengar suara sebuah dering yang teramat nyaring hingga membuat telinganya terasa sakit.
Suara apa ini? Kenapa begitu keras?
Berisik sekali. Dimana asal suaranya?
Tangan lelaki itu terulur, meraba ke segala arah guna mencari asal suara yang di dengarnya. Sampai kemudian, tangannya menangkap sebuah benda berbentuk persegi.
Ia meraihnya tanpa sadar, membuka kedua matanya perlahan.
Silau sekali, pikirnya sembari menyipitkan mata.
Jempolnya bergerak menggeser sebuah tombol hingga kemudian suara itu berhenti. Refleks tubuhnya menempelkan benda ditangannya ke telinga.
"Hey, Lucio! Kau masih tidur, ya? Astaga, jam berapa ini? Cepat bangun! Aku sudah di depan. Buka pintunya!" teriak seseorang di seberang sana.
Lucio tersentak kaget, ia refleks menjauhkan benda itu dari telinganya.
Ciro…
Aku baru saja mendengar suaranya.
Aku baru ingat kalau aku sudah terpisah sangat lama dengannya, kira-kira bagaimana keadaannya sekarang? Dia pasti sedang kebingungan mencariku.
Aku jadi merindukannya. Aku bahkan belum sempat mengatakan selamat tinggal.
"Lucio Marcherano!" pekik lelaki di seberang sana dengan berang. Kali ini benar-benar berhasil membuat Lucio kaget setengah mati sampai membuka matanya dan refleks terduduk di ranjang.
"Ya, kenapa?" ucapnya begitu saja.
"Cepat buka pintunya. Aku sudah di depan!" kata Ciro kesal.
Suaranya dan keadaan ini… entah kenapa rasanya seperti Dejavu.
"Kau dengar tidak?!"
"Pintu apa maksudmu? Aku tidak melihat pintu."
"Lucio, cepat bangun dan buka pintunya! Kau benar-benar sudah membuatku menunggu lama. Menjengkelkan!" teriak lelaki itu lagi penuh emosi.
"Sudah kubilang pintu apa yang kau maksud? Pintu menuju akhirat? Apakah kau tidak tahu kalau aku ini sudah mati—" Lucio mendadak diam tanpa melanjutkan kalimatnya.
Tunggu…
Ia membuka kedua matanya.
Ada yang tidak beres, pikirnya sambil menatap benda yang ada dalam genggamannya.
Lucio tercekat begitu melihat ponsel digenggamnya.
A-apa?
Dia menatap kedua tangannya, membolak-balikkan benda itu dengan wajah tak percaya. Detik berikutnya, ia meraba wajahnya sendiri.
Aku masih hidup?
Tidak mungkin! Bukankah aku sudah mati?
Lucio mendongakkan kepalanya, menatap ke sekeliling ruangan. Ia melihat ruangan yang tidak asing dalam ingatannya. Ruangan yang tidak lain adalah kamarnya sendiri.
Aku… ada di kamarku?
Lucio speechless. Otaknya berusaha memproses setiap kejadian yang dialaminya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
I Am Win
nise
2021-11-19
0
~RuMURU~
nice
2021-11-10
0