"Ada banyak sekali kejadian mengerikan yang terjadi selama kita di sini. Semakin lama, aku semakin merasa takut kalau selamanya kita akan terjebak di sini dan berakhir tewas seperti yang lain…" lirihnya dengan pandangan tertuju ke arah lain. Ia enggan untuk bertatapan dengan wanita yang kini berdiri dihadapannya.
"Semakin lama, aku semakin merasa tidak tenang. Terkadang setiap kali aku akan tidur, aku merasa takut. Aku takut kalau tidak akan pernah ada lagi hari esok untukku, dan semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa kalau waktuku hanya tinggal sedikit…"
"…Maka dari itu, sebelum semuanya terlambat… aku ingin mengatakannya lebih cepat padamu."
Lucio menoleh ke arah wanita yang kini berdiri dihadapannya tanpa kata.
"Aku mencintaimu," tuturnya dengan kalimat lugas, seolah mengucapkan kata itu tanpa pikir panjang.
Ekspresi wanita itu seketika berubah kaget, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.
"Aku tahu kita baru saja bertemu, dan aku juga tahu kita baru saja bersama selama beberapa Minggu. Tapi aku sungguh mencintaimu. Entah sejak kapan perasaan ini muncul, tapi—"
"Aku juga mencintaimu!" potong wanita itu cepat sampai membuat Lucio diam tanpa kata.
Lucio mengerjapkan matanya beberapa kali. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja wanita itu katakan.
"Aku juga tidak tahu sejak kapan aku sadar akan perasaanku padamu. Tapi yang pasti… semenjak bertemu denganmu, aku merasa nyaman, dan aku juga merasa aman. Kau selalu ada untuk membantuku, dan kau selalu melindungi ku. Sikapmu benar-benar telah membuatku luluh…" Wanita itu bicara dengan wajah merah merona. Ia menunduk, menghindari kontak mata secara langsung dengannya.
Perlahan tanpa sadar, senyuman terukir di wajah Lucio. Ia merasa sulit untuk percaya dengan apa yang baru saja dikatakan wanita dihadapannya itu.
Satu kalimat yang terlontar dari bibir mungilnya, berhasil membuat bunga-bunga dalam hatinya bermekaran. Membuat Lucio merasa seolah terbang hingga ke langit ke tujuh.
Lucio berjalan tanpa sadar, menarik tangan wanita itu dan mendekapnya erat.
Refleksnya benar-benar berhasil membuat jantung wanita itu berdebar.
"Terima kasih karena kau sudah mau jujur dengan perasaanmu. Senang rasanya mengetahui kau memiliki perasaan yang sama denganku," bisiknya tepat di telinga wanita itu.
Wanita itu perlahan tersenyum lantas membalas pelukan Lucio.
Jleb!
Tanpa ada peringatan apa-apa, Lucio merasakan sebuah benda tajam menusuk punggungnya.
Craattt!
Darah merembes keluar ketika benda yang baru saja menusuk dirinya itu dilepas.
Lucio membulatkan mata, ia spontan melepaskan pelukannya dengan wanita itu.
"L-Lucio…" Wanita itu menutupi mulutnya yang menganga. Wajahnya pucat bukan main, ia benar-benar shock dengan apa yang baru saja terjadi.
Lucio tak kalah kaget. Apalagi ketika ia melihat tangan wanita itu berlumuran darahnya.
"K-kau…" Wajah Lucio memucat. Tubuhnya perlahan kehilangan keseimbangannya.
Tanpa sadar bergerak mundur. Sambil menahan sakit, ia berusaha menjauh dari wanita dihadapannya.
Tidak aku sangka. Ternyata semua ini ulahmu? Lucio menatap wanita itu bukan lagi sebagai wanita yang dicintainya, melainkan sebagai tersangka atas pembunuhan sejumlah aktor yang menjadi rekan kerjanya.
Aku benar-benar sudah ditipu…
Lucio terus melangkah mundur sampai ia tidak sadar kemana kakinya melangkah.
Di tengah menahan rasa sakit, ia malah tergelincir hingga akhirnya jatuh.
Tubuhnya bergerak begitu cepat, terjun bebas tanpa pengaman apapun dari gedung tua setinggi belasan meter.
Brukk!
Tubuhnya menghantam tanah. Hanya dalam hitungan detik, Lucio benar-benar tidak bisa melihat hal lain, selain kegelapan.
...*...
Singgg!
Perhatiannya seketika beralih pada benda yang sejak tadi menempel pada kantong kemeja yang ia kenakan. Permata pada benda itu bersinar, seolah memberikan suatu pertanda untuk dirinya.
Ada yang tidak beres.
Aku rasa, ada sesuatu yang terjadi padanya…
Dia menoleh ke arah lautan lepas. Dimana langit mulai di dominasi warna jingga, menandakan bawah gelap sebentar lagi tiba.
"Binbin, apa yang kau lakukan di sana? Sebentar lagi gelap. Lebih baik kita kembali ke hotel, pak Ilario juga sudah meminta yang lain untuk menunda pencarian hingga besok." Suara wanita itu berhasil mengalihkan perhatiannya.
"Baiklah, ayo kembali. Aku juga harus memastikan sesuatu."
...*...
Gelap.
Apakah aku benar-benar sudah mati?
Tapi… kenapa begitu nyaman?
Rasanya empuk dan hangat.
Apakah aku ada di surga dan sedang terbaring di atas tanah kapas?
Drrttt! Drrttt!
Lucio terdiam. Samar-samar, ia mendengar suara sebuah dering yang teramat nyaring hingga membuat telinganya terasa sakit.
Suara apa ini? Kenapa begitu keras?
Berisik sekali. Dimana asal suaranya?
Tangan lelaki itu terulur, meraba ke segala arah guna mencari asal suara yang di dengarnya. Sampai kemudian, tangannya menangkap sebuah benda berbentuk persegi.
Ia meraihnya tanpa sadar, membuka kedua matanya perlahan.
Silau sekali, pikirnya sembari menyipitkan mata.
Jempolnya bergerak menggeser sebuah tombol hingga kemudian suara itu berhenti. Refleks tubuhnya menempelkan benda ditangannya ke telinga.
"Hey, Lucio! Kau masih tidur, ya? Astaga, jam berapa ini? Cepat bangun! Aku sudah di depan. Buka pintunya!" teriak seseorang di seberang sana.
Lucio tersentak kaget, ia refleks menjauhkan benda itu dari telinganya.
Ciro…
Aku baru saja mendengar suaranya.
Aku baru ingat kalau aku sudah terpisah sangat lama dengannya, kira-kira bagaimana keadaannya sekarang? Dia pasti sedang kebingungan mencariku.
Aku jadi merindukannya. Aku bahkan belum sempat mengatakan selamat tinggal.
"Lucio Marcherano!" pekik lelaki di seberang sana dengan berang. Kali ini benar-benar berhasil membuat Lucio kaget setengah mati sampai membuka matanya dan refleks terduduk di ranjang.
"Ya, kenapa?" ucapnya begitu saja.
"Cepat buka pintunya. Aku sudah di depan!" kata Ciro kesal.
Suaranya dan keadaan ini… entah kenapa rasanya seperti Dejavu.
"Kau dengar tidak?!"
"Pintu apa maksudmu? Aku tidak melihat pintu."
"Lucio, cepat bangun dan buka pintunya! Kau benar-benar sudah membuatku menunggu lama. Menjengkelkan!" teriak lelaki itu lagi penuh emosi.
"Sudah kubilang pintu apa yang kau maksud? Pintu menuju akhirat? Apakah kau tidak tahu kalau aku ini sudah mati—" Lucio mendadak diam tanpa melanjutkan kalimatnya.
Tunggu…
Ia membuka kedua matanya.
Ada yang tidak beres, pikirnya sambil menatap benda yang ada dalam genggamannya.
Lucio tercekat begitu melihat ponsel digenggamnya.
A-apa?
Dia menatap kedua tangannya, membolak-balikkan benda itu dengan wajah tak percaya. Detik berikutnya, ia meraba wajahnya sendiri.
Aku masih hidup?
Tidak mungkin! Bukankah aku sudah mati?
Lucio mendongakkan kepalanya, menatap ke sekeliling ruangan. Ia melihat ruangan yang tidak asing dalam ingatannya. Ruangan yang tidak lain adalah kamarnya sendiri.
Aku… ada di kamarku?
Lucio speechless. Otaknya berusaha memproses setiap kejadian yang dialaminya.
...***...
"Lama sekali kau membuka pintu sa—"
Grep!
Ciro mendadak diam ketika pintu terbuka dan secara spontan Lucio memeluknya erat.
"Ternyata ini bukan mimpi, aku benar-benar lega. Aku masih hidup. Aku senang bisa bertemu denganmu lagi. Tadinya aku sempat berpikir kalau aku tidak akan pernah bisa bertemu denganmu lagi!" Lucio meracau sambil mengeratkan pelukannya, membuat Ciro tak bisa bernapas.
Lelaki itu mendorong tubuhnya. Dengan wajah bingung bercampur kaget, ia melihat Lucio.
"Kau ini bicara apa pagi-pagi begini?! Bicaramu sungguh tidak masuk ak—"
"Ini sungguh kau 'kan, Ciro?" Sekali lagi Lucio membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Pria itu mendadak memegangi wajahnya dan menatapnya berbinar.
"Menggelikan! Menjauh dariku," tukas Ciro yang kembali mendorong tubuh Lucio. Pagi ini, laki-laki yang menjadi atasan sekaligus rekan kerjanya itu benar-benar bersikap diluar dugaan. Tidak biasanya Lucio bersikap menggelikan seperti ini.
"Apa sebenarnya yang kau katakan? Aku tidak mengerti. Sejak tadi kau terus bicara hal yang aneh-aneh, dan tidak masuk akal. Apakah kau mengigau?" Ciro berjalan melewatinya, melangkah menuju ruang dapur yang terhubung dengan ruang tengah lalu menaruh beberapa kantong belanjaan yang dibawanya ke atas meja bar yang ada.
Lucio segera mengikutinya dari belakang.
"Tadinya aku sempat berpikir kalau aku sudah mati. Bahkan aku masih ingat betul kalau aku baru jatuh dari atas sebuah menara di pulau berhantu. Rasanya benar-benar seperti nyata. Tapi syukurlah, ternyata semua itu hanya mimpi." Lucio tersenyum lega. Ia menghampiri meja makan dan duduk di kursi yang ada.
Ciro melirik ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kau ini sepertinya benar-benar mengigau," komentarnya sambil mengeluarkan semua barang bawaannya dari kantong kertas berwarna cokelat lalu membuka kulkas untuk membereskan isinya.
Syukurlah, aku benar-benar lega kalau semua yang aku alami itu hanya mimpi. Sekarang tidak ada yang perlu aku cemaskan lagi. Aku hanya perlu menjalani kehidupanku secara normal. Wajah Lucio tampak berseri-seri. Ia sungguh bahagia karena menganggap apa yang dia alami tentang kematiannya hanyalah sebuah mimpi belaka.
"Oh ya, aku membawa sesuatu untukmu pagi ini." Ciro mengalihkan fokusnya pada Lucio yang sejak tadi duduk di kursi yang ada.
Lucio seketika mengalihkan perhatiannya pada Ciro yang berjalan menghampiri meja bar yang ada lalu mengobrak-abrik isi tas lain yang dibawanya. Ia seperti sedang mencari sesuatu.
Entah kenapa, tapi rasanya Dejavu… pikir Lucio. Aneh, perasaannya tidak enak secara tiba-tiba.
"Ini dia!" Ciro mengangkat benda yang dibawanya. Sebuah naskah bersampul polos hanya dengan tulisan judul film yang nanti akan digarapnya.
Lucio menyipitkan kedua matanya begitu melihat kertas yang diacungkan Ciro.
"Kau dipilih oleh pak Ilario, untuk menjadi aktor utama dalam film yang akan digarapnya dalam waktu mendatang." Ciro tersenyum ceria. Namun Lucio menampakkan reaksi kebalikannya.
Ia membatu, rasanya seperti baru saja disambar petir di siang bolong mendengar apa yang baru saja dikatakan Ciro barusan.
"Kau pasti akan menyukainya!" Ciro dengan semangat menghampiri Lucio dan duduk disampingnya sambil menyodorkan kertas dalam genggamannya.
T-tunggu. Apa?
I-ini… tidak mungkin 'kan?
Lucio sulit mempercayai semua yang kini terjadi padanya.
"Ini adalah proyek film baru yang akan beliau kerjakan beberapa bulan mendatang. Karena kau sedang sangat populer, pak Ilario si sutradara terkenal itu ingin menjadikanmu sebagai pemeran utama pria dalam filmnya. Bagaimana? Bukankah ini berita bagus? Sejak dulu, kau sangat ingin bermain dalam film yang di sutradarai beliau 'kan—"
"Tidak!" potong Lucio cepat dengan wajah panik. Ciro sampai kaget dibuatnya.
"K-kau kenapa? Kenapa kau tampak kaget begitu?"
"Aku tidak ingin bermain dalam filmnya!"
"Apa? Kenapa? Bukannya kau sangat ingin—"
"Pokoknya batalkan! Aku tidak ingin bermain di filmnya."
"Tapi kenapa? Apa alasannya kau menolak tawaran ini mentah-mentah? Padahal kau sama sekali belum membaca isi skenario filmnya. Jika kau baca, kau juga pasti menyukainya. Aku jamin itu! Karena film ini sendiri sebenarnya diadaptasi dari novel salah seorang penulis populer, bahkan dia sendiri yang menulis skenarionya lho!"
"Aku tidak peduli dengan semua itu. Pokoknya aku tidak maun!" tegas Lucio.
Apa sebenarnya ini? Kenapa semuanya jadi begini? Jika yang aku alami tentang kematianku adalah mimpi, apakah itu artinya mimpi itu akan menjadi kenyataan? Atau justru… itu adalah sebuah ramalan? Kalau begitu aku tidak boleh sampai mewujudkan semua itu! Aku masih ingin tetap hidup. Lucio mendadak berkeringat dingin. Ketakutan mendadak menggerayangi tubuhnya.
"Huft~ setidaknya baca dulu skenarionya setelah itu baru putuskan. Lagipula kau harus punya alasan yang spesifik untuk menolak tawaran mereka!" tutur Ciro.
Lucio menoleh padanya. "Aku tidak mau karena aku memilih firasat tidak enak mengenai proyek film ini."
"Apa maksudmu?" Ciro mengerutkan kening.
"Aku tidak tahu apakah kau akan percaya dengan ucapanku ini atau justru malah menganggap ku aneh atau semacamnya. Yang pasti… aku benar-benar memiliki firasat buruk mengenai proyek film ini." Lucio melirik naskah di atas meja yang tadi diberikan Ciro.
"Venesia dell'amore illimitato. Sebuah cerita drama-romansa yang menceritakan tentang seorang wanita yang berusaha mencari kekasihnya. Tapi ternyata malah dikhianati, lalu dipertemukan dengan seorang pria yang terjebak dalam bayang-bayang mantan tunangannya yang meninggal. Sosok tokoh utama wanita yang memiliki wajah mirip dengan mantan tunangannya, membuat si tokoh utama pria berusaha mendekatinya dan berharap bisa menjalin hubungan dengan si tokoh utama wanita…"
"…Hubungan keduanya lantas berubah menjadi lebih intens ketika takdir terus mempertemukan mereka dalam situasi tak terduga. Seiring berjalannya waktu, kedekatan mereka menumbuhkan perasaan di hati masing-masing." Lucio menjelaskan sedikit mengenai isi skenario yang diingatnya.
Ciro speechless dibuatnya. Tak lama lelaki itu bertepuk tangan dengan begitu keras.
"Hebat! Bagaimana kau bisa tahu? Apakah kau sudah membaca bukunya? Tidak aku sangka ternyata diam-diam kau adalah pria yang suka membaca buku novel romansa," katanya yang dalam sekejap menyita atensi Lucio.
"Apa? Bukan seperti itu! Aku tidak —"
"Kau tidak perlu malu. Lagipula memang banyak orang yang suka dengan novel ini," potong Ciro tanpa mendengarkan penjelasannya.
"Aku bilang ini semua tidak seperti yang kau pikirkan! Aku tidak membaca novelnya!" teriak Lucio dengan wajah merona.
"Lalu kalau kau tidak membaca novelnya, kau tahu darimana semua itu?"
Lucio mendadak diam. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Masih dengan wajah merona, ia benar-benar malu kalau harus menceritakan ia tahu semua itu dari mimpinya.
"A-aku tahu mungkin ini kedengarannya konyol, tapi…"
...***...
"Aku tahu mungkin kedengarannya ini konyol, tapi… aku melihat semua itu dalam mimpiku," gumam Lucio dengan wajah merona. Kalimatnya berhasil membuat gelak tawa Ciro terdengar mengisi seluruh ruangan.
"Hahahaha, apa kau bilang tadi? Mimpi? Kau percaya pada mimpi? Hahahaha, yang benar saja!" Ciro tak bisa menghentikan tawanya.
Lucio mendelik ke arahnya dengan wajah gusar. Ia jadi menyesal sudah mengatakannya. Lagipula siapa yang akan percaya?
"Berhenti tertawa!" tukas Lucio ngambek.
"Haha, okay-okay. Aku berhenti." Ciro berusaha untuk menghentikan tawanya.
"Yang terpenting, bukan itu… melainkan apa yang terjadi padaku dalam mimpi yang aku alami ketika menerima tawaran film ini." Lucio berusaha melanjutkan ceritanya.
"Memangnya apa yang terjadi padamu?"
"Dalam mimpi itu, aku dan aktor yang lain tiba-tiba saja terpisah dari kapal yang kita tumpangi. Setelah itu, aku dan aktor lain terdampar di pulau Poveglia. Kejanggalan demi kejanggalan mulai terjadi, satu persatu aktor yang ada tiba-tiba saja mati secara mengenaskan—"
"Apakah kau juga termasuk salah satunya?" potong Ciro.
"Eh?" Lucio menaikkan sebelah alisnya, dengan ekspresinya ia seolah berkata, "bagaimana kau tahu?"
"Maka dari itu sejak tadi kau bicara melantur?" lanjut Ciro.
"Ah… tapi itu semua benar-benar terasa nyata."
Tep!
Ciro menepuk pundaknya pelan. "Kau tidak perlu terlalu cemas. Lagipula itu hanya mimpi, dan seperti yang kita semua tahu. Mimpi hanyalah bunga tidur, jadi kau tidak perlu terlalu memikirkannya."
Ciro beranjak bangun dari tempatnya. Hendak melanjutkan kegiatannya, memasak untuk sarapan mereka berdua.
"Aku tahu, tapi bagaimana jika mimpi itu menjadi kenyataan?"
"Tidak mungkin. Sudahlah lebih baik sekarang kau cuci wajahmu setelah itu kita sarapan. Mengenai skenario itu, lebih baik kau pikirkan dulu sebelum mengambil keputusan. Jarang-jarang kau mendapatkan kesempatan sebesar ini untuk bermain di film seorang produser film terkenal 'kan?"
Lucio terdiam membenarkan ucapan Ciro. Memang benar jarang sekali mendapatkan tawaran untuk bermain dalam film yang dikerjakan secara langsung oleh produsen film terkenal seperti Ilario.
...*...
Apakah aku harus menerima tawarannya? Tapi jika mimpiku itu menjadi nyata, bagaimana?
Lucio menatap dirinya lewat pantulan cermin yang ada dihadapannya. Sekarang ini dirinya berada dalam kamar mandi, baru saja selesai menggosok gigi dan mencuci wajahnya. Sekarang ia hendak mengganti pakaiannya.
Kalau aku menolaknya, alasan apa yang harus aku berikan?
Apa aku harus menjelaskan alasan yang sesungguhnya?
Mimpi? Yang benar saja. Yang ada pak Ilario menertawakan ku seperti Ciro tadi.
Atau aku harus menyalahkan skenarionya? Bilang saja kalau skenario filmnya tidak aku sukai? Begitu?
Ah tidak! Yang ada aku malah dianggap besar kepala karena mentang-mentang karirku sedang bagus dengan seenaknya menolak kontrak yang diberikan oleh produser terkenal seperti beliau.
Lucio menghela napas dalam-dalam. Ia jadi galau sendiri memikirkan apa yang sedang dialaminya.
"Huft~ sudahlah. Lebih baik aku ganti pakaianku dulu setelah itu sarapan, baru pikirkan lagi hal ini." Lucio beranjak dari kamar mandinya.
Ia melangkah menuju ruang penyimpanan pakaiannya yang terletak bersebelahan dengan kamar tidurnya.
Tiba di dalam sana, ia segera mencari pakaian yang hendak dikenakannya.
Lucio melepaskan piyama tidurnya. Ia mendadak berhenti ketika sesuatu menyita perhatiannya begitu ia membuka baju.
Pria itu terdiam, menatap dirinya lewat pantulan cermin.
"Ini…" Lucio memegangi benda yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia benar-benar baru sadar kalau dirinya mengenakan sebuah gelang.
Lucio mengangkat tangannya, menatap benda itu lekat.
"Galang ini… bukankah ini adalah gelang yang pernah diberikan pria itu?"
...*...
Beberapa waktu lalu…
Lucio berjalan beriringan dengan Ciro, melangkah menyusuri trotoar menuju salah satu pusat perbelanjaan yang biasa mereka kunjungi.
"Apa saja yang harus aku beli."
"Aku sudah membuat daftarnya di sini." Ciro menatap layar tablet di genggamannya, di sana sudah terdapat beberapa daftar barang yang harus mereka beli sebelum berangkat syuting beberapa waktu mendatang.
Tiba di dalam, mereka mengunjungi salah satu toko dan membeli beberapa barang di sana.
Lucio yang terduduk di sofa, menunggu Ciro selesai melakukan pembayaran atas barang belanjaan mereka secara tiba-tiba dihampiri oleh seorang pria.
Pria itu tiba-tiba saja datang dan duduk di sofa kosong disampingnya.
"Dilihat dari penampilanmu, kau adalah aktor terkenal itu 'kan?" tanya pria itu yang dalam sekejap membuat fokus Lucio beralih padanya.
"Bagaimana kau—"
"Semuanya terlihat jelas dari brand pakaian yang kau gunakan," potong pria itu cepat sebelum sempat Lucio menyelesaikan kalimatnya.
Lucio sudah mengenakan penyamaran yang nyaris sempurna, tapi tidak di sangka ternyata dirinya bisa dengan begitu mudah dikenali. Aura bintangnya sungguh tidak bisa ditutupi.
"Tolong jangan ribut, aku tidak ingin sampai orang—"
"Kau tenang saja. Aku tidak akan membuat keributan dengan memberitahu semua orang kalau seorang bintang top ada di sini."
"Syukurlah, terima kasih banyak. Tapi, kenapa kau melakukan itu? Apakah kau ingin meminta tanda tangan ku? Atau kau ingin berfoto bersamaku? Akan aku lakukan asalkan kau tidak ribut dan mengundang para fans berdatangan, aku sedang ingin pergi cepat-cepat."
"Aku tidak membutuhkan itu semua. Aku kemari hanya untuk memberitahu sesuatu padamu."
"Eh?"
"Sebentar lagi kau akan melakukan syuting film terbaru di Venesia 'kan?"
"Cepat sekali beritanya menyebar… padahal pak Ilario belum secara resmi mempublikasikan berita ini."
"Akan ada sebuah kejadian besar yang terjadi nanti."
"Apa? Apa maksudmu?"
"Aku bisa merasakan sebuah aura negatif dari syuting mu kali ini. Kau harus berhati-hati."
"Aku tidak mengerti, apa yang kau…"
"Pakailah ini, benda ini dapat membantumu terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Anggap saja sebagai jimat, atau gelang keberuntungan."
"Huh?"
Pria itu tanpa permisi memasangkan gelang ditangannya pada Lucio.
"Ingat untuk jangan melepas gelang ini jika kau ingin benar-benar selamat. Itu saja yang ingin aku katakan." Pria itu beranjak bangun dan berlalu meninggalkannya.
"Tunggu! Apa maksud dari—" Lucio hendak mengejarnya, tapi secara tiba-tiba Ciro memanggilnya, membuat fokus lelaki itu seketika beralih padanya.
"Lucio, aku sudah selesai dengan semuanya. Ayo kita pulang."
"Sebentar, aku harus melakukan sesua—" Begitu menoleh, pria yang tadi memberikannya gelang itu hilang entah kemana.
Lucio terdiam tanpa kata. Matanya mengedar mencari sosok yang tadi ditemuinya.
Dia beranjak cepat menghampiri pintu keluar, berharap pria itu masih berada di sekitar sana.
"Apa yang sedang kau cari?" tanya Ciro dengan ekspresi bingung ketika melihat lelaki itu tampak resah mencari seseorang yang entah siapa.
"Aku mencari seorang pria yang tadi aku temui."
"Maksudmu?" Ciro menaikkan sebelah alisnya bingung.
"Pria yang tadi di toko!"
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!