Tersenyum miring,"Anggap saja ini tip dariku untuk semua layanan yang kamu berikan setiap malam."
Dert
Dert
Dert
Ponsel Davin di atas meja mulai bergetar hebat menandakan ada telpon masuk dari seseorang. Davin langsung menjawabnya tanpa menunggu waktu lama. Ekspresi dingin nan angkuh di wajahnya segera berubah menjadi ekspresi lembut ketika berbicara dengan sang penelepon itu.
"Tunggu sayang, aku akan segera menjemput mu. Yah... tunggu aku di sana dan jangan bermain mata dengan laki-laki manapun." Nadanya masih lembut tapi sarat akan ancaman kecemburuan.
"Hahah..jadi semalam tidak berarti apa-apa untukmu.. baiklah..ini yang kamu mau, kata-kataku tidak bisa ditarik.." Dia melambaikan tangannya kepada Rein seraya keluar dari rumah.
Dia berbicara seperti itu dengan wanita lain tanpa memperdulikan bagaimana perasaan Rei ketika mendengarnya.
Rein masih belum mengeluarkan suara apapun. Dia berdiri diam memperhatikan punggung tinggi Davin yang mulai menghilang dari pandangannya diikuti oleh suara pintu ditutup.
Menatap kosong kepergian sosok dingin nan angkuh Davin, mata lelahnya lalu beralih menatap dua cek senilai 1 miliar yang Davin taruh di atas meja tadi. Itu adalah angka yang sangat besar namun Rein sama sekali tidak merasa gembira melihatnya.
Dia tidak pernah berharap bahwa rasa cintanya yang tulus akan dihargai dengan nominal sebuah angka.
Hatinya hancur, seperti ada ribuan pisau mengirisnya diwaktu yang bersamaan. Rasa perih dihatinya kemudian disusul oleh genangan cairan hangat dari kedua matanya yang masih sembab karena menangis semalam.
Dia menangis merasa hancur tapi suaranya isakan nya seolah tertelan masuk ke dalam perut.
"Aku sangat lelah." Bisiknya menatap kosong hidangan hangat yang masih mengepul di atas meja tanpa pernah disentuh Davin.
"Ini sudah berakhir." Matanya kini beralih menatap rumah yang sudah bertahun-tahun dia tinggali bersama Davin.
Rumah yang Davin beli dari hasil kerja kerasnya. Tidak besar dan tidak mewah tapi sangat nyaman untuk ditinggali, tapi itu dulu.
Sekarang semuanya sudah berubah. Rumah ini tampak menakutkan dan terlalu besar untuk ditinggali sendiri. Rein juga tidak bisa tinggal lagi di rumah ini karena dia pasti akan selalu terbayang akan sosok Davin yang dicintai.
Satu-satunya laki-laki yang dia cintai dan satu-satunya laki-laki yang menghancurkan hatinya.
"Tidak Davin," Rein membawa langkah gontai nya masuk ke dalam dapur untuk mematikan kompor.
"Rumah ini dan semua yang ada di dalamnya adalah milikmu. Aku tidak bisa memiliki apa yang sudah kamu usahakan dengan susah payah, aku tidak bisa serakah. Hidup bersamamu meskipun harus berakhir sakit adalah hal pertama dan terakhir kalinya aku bersikap serakah kepadamu. Selain itu aku tidak bisa.. serakah."
Dia masuk ke dalam kamar yang ditinggalinya dengan Davin. Mengambil tas punggung yang sudah menemaninya dari sejak SMA dan memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya.
Rein tidak mengambil gelang dan kalung yang Davin belikan kepadanya. Rein malah membantu Davin menyimpan barang-barang mahal itu di sisi pakaiannya agar ketika Davin datang nanti dia bisa membawa barang-barang mahal itu ikut bersamanya.
"Selama kita berpacaran kamu tidak pernah memberikan ku cincin. Awalnya aku pikir itu karena kamu masih mengumpulkan uang tapi sekarang aku sadar, itu bukan karena kamu tidak sanggup membeli melainkan kamu memang tidak ingin memberikannya kepadaku." Gumam Rein sedih memandangi kotak-kotak perhiasan yang sudah dia susun di samping pakaian Davin.
Dia tersenyum tipis, mengusap air mata di wajahnya, Rein memandangi kamar ini untuk yang terakhir kalinya. Kedua tangannya mengusap lembut permukaan perut yang masih rata dari balik pakaian tipis yang masih belum dia ganti dari semalam.
"Nak, kita harus pergi dari rumah ini dan memulai hidup baru di kota lain. Mommy takut kehadiran kita berdua dapat menunda kebahagiaan Ayah kamu di sini. Dia.. pergi bersama cintanya dan Mommy juga harus pergi denganmu. Kita sekarang hidup di jalur yang berbeda, Mommy harap ketika lahir ke dunia ini kamu mau menerima perbedaan Mommy. Dan Mommy harap Tuhan mengirim kamu ke dunia ini terlahir sebagai manusia yang normal, jangan seperti Mommy yang terlahir sebagai hermaprodhit. Karena hal pertama yang akan menyambut kamu adalah sebuah rasa sakit." Rein hanya berharap jika anaknya lahir sebagai manusia yang normal, seperti Davin.
Jangan seperti dirinya yang terlahir tidak 'normal'. Karena Rein sendiri juga tidak mau bila anaknya mendapatkan perlakukan yang dia dapatkan di dunia ini.
Tersenyum tipis untuk yang terakhir kalinya, "Selamat tinggal cintaku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 352 Episodes
Comments
Sri Yanti
omg
sad
2023-02-07
0
Dila
sedih bnget
2022-06-03
0
Yusneli Usman
Wah keren ni novel.....beda dr yg lain...
2022-04-08
0