Aku lelah dengan perasaan ku dok!, aku takut jika semakin lama hidup dengannya aku akan semakin jatuh cinta, sedang dokter ... tidak.
Aku cukup sadar diri, jika diri ini tak layak membersamainya. Ia lelaki sempurna. Sedang aku ... Hanya anak yatim piatu, dan bahkan sekarang harus menjadi sebatang kara, karena Nenek yang selama ini merawatkupun harus pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Aku takut ia terpaksa menjalani ini, dan ia hidup tanpa ada rasa cinta untukku. Sedang di sini, aku dan perasaanku telah menggebu luar biasa.
"Tentang pesan Nenek ... Tidak apa kok, dok, saya yakin Nenek di sana pasti juga mengerti.". dengan tertunduk Za berbicara lagi.
Idris letakkan kopi ke atas meja. Lalu ia tersenyum hambar.
Ia lupa jika wanita di hadapannya kini masih sosok remaja, mungkin baginya memegang amanah seperti memegang air, tak dapat di genggam. walau jelas berbekas setelahnya, namun bekas itu akan hilang dengan sendirinya. mungkin seperti itu fikirnya.
Namun, bagiku, amanah adalah amanah. sesuatu yang harus benar-benar ku jaga dan ku laksanakan, dan tidak untuk di permainkan. Atau jangan-jangan dia ....
"Kamu punnya pacar?" Idris bertannya, seraya menghadapkan wajahnya pada Za.
sedikit terkejut dengan pertanyaan Idris, Za angkat kepalannya dan memberanikan diri menatap Idris.
"Tida dok!" seraya menggelengkan kepalanya.
"Punya temen?, ya, temen deket gituh?"
Za menggeleng.
"Kamu ... Tidak nyaman dengan saya?"
Segera Za menggeleng lagi.
"Tentu tidak dok!, malah saya yang takut membuat dokter tidak nyaman, dan terbebani dengan tanggung jawab dokter atas saya.!"
"Terus, kenapa ingin di lepas?, dan kalau kamu hidup seorang diri, emang kamu akan aman?. Za, ingat! kamu lulus sekolah aja belum genap setahun, gak punya temen deket, nanti siapa coba yang jagain kamu"
"Za, pasti bisa jaga diri, kok, dok. Dan nanti Za juga bisa cari kerja ...." belum selesai Za mengatakan kalimat nya, Idris langsung memotong ucapannya dengan sedikit kesal.
"Kamu pikir cari kerja itu mudah!. Nggak, Za!, dunia luar itu keras!."
"Tapi saya merasa menjadi beban buat dokter, dokter juga pasti punya rencana hidup sendirikan?, saya nggak enak sama dokter!." sambung Za.
Nggak enak dok!, emang gak enak!, memendam perasaan di saat orang yang kita cinta ada dan jadi milik kita, namun ia dingin seolah tak ada rasa. Yah, aku masih remaja dok, dan baru mengenal cinta saat bertemu dengan mu, saat kau begitu perhatian, jujur aku terlena, hingga tanpa ku sadari rasa itu tumbuh dengan sendirinya, secepat itu, sedang ku lihat diri ini. Begitu tak layak denganmu. Dok!, aku harus bagaimana?.
"Za! dengarkan saya!. Sejak pertama kali saya menerima tawaran Nenek, sejak saat itu saya menyerahkan takdir saya pada Allah. Dan ketika saya sudah memutuskan sesuatu, saya tidak akan bermain-main menjalankannya." Idris menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Jadi tolong! jangan berfikir yang tidak-tidak. Kita jalani pernikahan ini, aku tidak ada sedikitpun niatan untuk melepasmu." ucapnnya lagi.
"Dan maaf jika akhir-akhir ini aku sering pulang larut, karena memang aku sibuk Za, bukan karena ingin menghindar dari hubungan kita."
Idris menatap Za dan menggenggam tangannya.
"Za, maukah kamu menjalani pernikahan ini dengan ku?."
Za mengangkat wajahnya, ia tatap wajah suaminya, ada bulir bening yang mengalir di pipi Za. sesak, dadanya semakin sesak, hingga ia tak dapat lagi membendung haru. Za menangis hingga bahunya terguncang.
Idris peluk Za, dan berusaha menenangkan istrinya itu, namun, semakin erat Idris memeluknya, Za semakin sesegukan.
Tentu Za tak menyangka jika Idris akan bicara seperti itu. Menjalani. Benarkah itu, dan apakah rasa itu akan hadir juga di hati suaminya.
****
Idris tidak mungkin meninggalkan Za, bukan hanya karena amanah sang Nenek, tapi ia juga tidak bisa membiarkan Za terlantar hidup sebatang kara.
Teringat kejadian di waktu tahlilan Nek Sumi, di sela-sela tahlilan yang sedang berlangsung, tanpa sengaja Idris melihat Bi Arum meminta sesuatu pada Za dengan cara memaksa.
Flashback
"Di mana Za?" tanya Bi Arum pada Za.
Sedang mereka berada di dalam kamar Za, sementara orang-orang yang ikut tahlil berada di luar, di teras rumah Za.
"Apa Bi?" Za tak paham dengan pertanyaan Bi Arum.
"Sertifikat!, di mana kamu taro sertifikat rumah ini?" Za mengernyitkan alis masih tak faham dengan ucapan bibinya. Sertifikat, untuk apa Bi Arum menanyakan sertifikat rumah ini. batin Za.
"Cepat jawab Za!!" suaranya naik beberapa oktaf.
Tak sabar menunggu jawaban Za, Bi Arum menggeledah lemari Za. Tak ia temukan di sana, ia beralih ke kamar Nek Sumi, sedang Za mengekori sang bibi sambil berusaha menenangkannya.
"Di mana Za!, kamu taro di mana, hah!"
"Za, tidak tahu soal sertifikat itu Bi"
"Jangan bohong kamu!"
"Demi Allah,Bi!, Za tidak tahu, Nenek tidak pernah menitipkannya pada Za!"
"Memang untuk apa sertifikat itu Bi" Za memberanikan diri untuk bertanya.
"Perusahaan mengalami kerugian, dan bibi butuh sertifikat itu untuk menutupi kerugian perusahaan" ucap Bi Arum tanpa ada yang ia tutup-tutupi.
"Bi Arum, mau menjual rumah ini!" tebak Za.
"Ya." Jawab Bi Arum, santai.
Za terkejut, dengan pengakuan Bibinya itu. Ia memohon pada sang Bibi untuk tidak menjual rumah ini, karena bagi Za rumah ini sangat bersejarah.
"Za mohon Bi!, jangan jual rumah ini!. Rumah ini satu-satunya kenangan Za dengan Nenek, dengan ayah dan ibu Za."
"Posisi kamu hanya cucu di sini, sedang saya adalah anak dari Nenek kamu, jadi, saya lebih berhak atas rumah ini!. Lagian kamu juga sudah punya suami, cari saja tempat tinggal dengan suami mu itu." ucap Bi Arum dengan penuh penekanan.
"Ini juga karena kamu yang gak mau nikah sama Surya, malah nikah sama orang yang gak jelas, pekerjaannya juga gak jelas lagi!" sampai saat ini Bi Arum belum tau jika Idris adalah seorang dokter.
Dan pantas saja bi Arum sangat ingin menjodohkanku dengan Surya, ternyata Bi Arum memiliki rencana lain.
"Katakan Za!, kamu sembunyikan di mana sertifikasi itu?"
"Demi Allah, Bi, Za tidak tahu" Za berucap dengan sangat yakin.
"Awas kalau kamu bohong!" ancam Bi Arum, lalu ia pergi meninggalkan Za.
Tanapa mereka sadari jika sedari tadi perbincangan mereka di dengar oleh Idris. Idris menghela nafas menatap Za yang sedang terduduk di ujung ranjang dengan wajah berurai air mata. Ingin rasanya Idris menghampiri, memeluknya dan menenangkan Za dalam pelukannya. Namun, kakinya tertahan, ia berfikir jika ia belum saatnya ikut campur masalah keluarga Za, Za juga belum bercerita apa-apa tentang keluarganya.
****
Mengingat kejadian itu, Idris jadi mengerti, kenapa Nek Sumi ingin segera menikahkan nya dengan Za. Ia ingin menitipkan Za padaku, ia mempercayai ku, dan aku bukan lelaki pengecut yang lari dari amanah.
Insyaallah, Nek, aku akan menjaga Za, dan berusaha mencintainya dengan segenap jiwa ragaku. Aku ... Idris Al Kaf, dan ini janjiku Nek.
bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments