Canggung

'Tar, malam, sebelum ke rumah sakit, kamu mampir dulu, yah!, ke rumah Za!, sekalian bawain baju-baju ku!, nanti ku sharelock tempatnya.'

'Sorry, bro!, gua, gak mau jadi obat nyamuk pengantin baru'

Idris menggelengkan kepala membaca balasan dari,Sam.

'Nenek, Za, sudah meninggal Sam. Kalau sempet sekalian kamu ikut tahlilan malam nanti.'

'Serius!, Dris!'

'He'eh.'

'yasudah, gue ke sana!'

Setelah mengahiri chat dengan Sam, kini Idris mulai memejamkan matannya.

malam merambat, suasan dirumah Za kini di penuhi para tetangga yang ikut serta dalam tahlilan nek Sumi. Begitupun bibi-bibi Za, mereka juga hadir.

"Assalamualaikumualaikum"

Salam seseorang, yang tak lain adalah Sam. Idris yang mengenali suara itu bergegas menuju ke depan. menghampiri sahabatnnya itu.

"waalaikumussalam" Sampe juga kamu Sam!. Mau sekalian masuk dulu!.

"Maaf Dris, lain kali, yah. Gue ada panggilan dari RS nih!" Tolak Sam yang memang tengah terburu-buru.

Za yang melihat sosok seseorang yang familiar sedang berbincang dengan suaminnya, segera menghampiri Idris.

"Dokter ...."

"Sam!." Sam mengulurkan tangannya, dan di sambut dengan tangkupan kedua tangan yang di tangkupan di depan dada Za.

"Kita pernah bertemu namun belum sempat berkenalan." ucap Sam sambil menarik kembali tangannya yang menggantung di udara.

Terlihat Idris menahan tawa.

"Oh, yah, turut berduka cita, yah,Za."

"Terima kasih, dok"

"Yasudah, saya pamit. Assalamualaikum"

"Waalaikumussalam" jawab Idris Dan Za, berbarengan.

Sam sempat melirik Idris yang masih menahan tawanya. Idris yang melihat tatapan Sam, memberikan senyumnya, senyum mengejek. Pasalnya Sam adalah salah seorang dokter yang di gemari di rumah sakit tempat mereka.

Sam yang memiliki wajah karismatik, juga sikap ramah nya kepada siapapun, membuat banyak para pasien terutama pasien wanita melakukan berbagai macam alasan agar bisa di tangani oleh Sam.

Di sentuh adalah hal yang sangat para wanita-wanita itu idamkan.

bahkan tidak hannya pasien, para perawatpun sering berebut untuk bisa mendampingi Sam.

Dan melihat Za, tak meresponnya saat bersalaman membuat idris ingin menertawakannya. Haha ....

☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Tujuh hari setelah kepergian nenek, Za dan Idris tinggal berdua di rumah nek Sumi. Namun hubungan mereka tak selayaknya pengantin baru.

Setelah hannya berdua di rumah itu, mereka tampak seperti orang asing, canggung, dan jarang bertegur sapa kecuali memang ada hal penting yang harus di bicarakan. seperti menawari Idris makan, menawarinnya kopi. dan setelah itu, senyap mereka tak memiliki topik untuk di bahas.

Sikap Idris yang kaku, dan Za yang pemalu, kadang membuat mereka resah akan di bawa kemana bahterai rumah tangga mereka.

Pagi hari, seperti biasa, Za dan Idris sarapan bersama, lalu mereka akan menyantap makanan masing-masing dalam diam. Hanya suara sendok dan garpu yang saling bertautan dengan piring mereka.

"Ini, untuk kamu" Idris menyodorkan amplop coklat berisi uang kepada Za.

"Ini apa dok?"

"Uang ini untuk kamu, gunakanlah untuk membeli kebutuhan kamu!"

"Maaf dok!, tapi saya rasa ... saya tidak berhak dok."

"Sekarang inikan saya suami kamu!, jadi ... anggap ini nafkah dari saya."

"Tapi dok ...."

"Kamu berhak, ambilah!" Idris memberi isyarat pada Za dengan matannya, agar Za mau mengambil uang itu.

Za mengambil uang yang Idris berikan. "Terima kasih, dok"

"He'eh"

"Bisa tidak, kamu jangan panggil saya, dokter!." Za tampak berfikir, jika tidak memanggil nya dokter lalu apa?.

"Panggil saja seperti kamu memanggil saya di depan keluargamu"

Za mengangguk " Yah"

selesai mengisi perutnya. Idris bangkit.

"Saya berangkat sekarang!" ucapnnya pada Za.

"Yah, dok," Idris menatap Za. "Eh, maksud saya, Mas." ralat Za.

Idris menyodorkan tangannya untuk Za cium. Namun beberapa detik Za hannya bergeming. karena ini kali kedua nya Idris menyuruh Za mencium punggung tangannya. Yang pertama saat mereka menikah, dan yang kedua saat ini. Padahal biasannya Idris akan pergi begitu saja tanpa melakukan adegan ini.

"Za!" Za terlonjat.

"Eh, yah, maaf, mas" segera ia raih tangan suaminnya dan mencium punggung tangannya. lagi, debar aneh itu muncul, debar di dadannya yang tak ia fahami.

Tangan kiri Idris terulur hendak menyentuh kepala Za, namun ia canggung dan ahirnnya tangan itu hannya mengambang di udara.

"Saya pergi, Assalamualaikum" pamitnya.

"Waalaikumussalam." jawab Za.

Mobil Idris lenyap tak terlihat lagi. Namun debar aneh itu tak kunjung mereda.

Za berniat pergi ke pasar membeli beberapa bahan makanan untuk di masak nanti. Dalam perjalanan ia bertemu Bu Syifa di depan rumahnnya, ia menanyai keadaan Za setelah di tinggal sang nenek.

"Gimana keadaan kamu Za, sehat?"

"Alhamdulillah, Bu"

"Kamu yang kuat, yah, Za!"

"Insyaallah, Bu"

"Oh, ya, Suami kamu, di rumah?"

"Gak, Bu, suami saya sudah pergi kerja"

"Kerja di mana?"

"Di rumah sakit"

"Kerja, di bagian apa, Za?"

"Suami saya ... Seorang dokter, Bu" ku jawab dengan sedikit canggung.

"Walah, dokter toh!, pantes ganteng gitu!, emang muka-muka Dokter mah beda yah, Za, lebih ... kinclong gituh. Beda sama pemuda-pemuda sini" ucap Bu Syifa tanpa jeda.

yang hannya ku balas dengan cengiran.

"Kamu beruntung Za, ke rumah sakit dapet jodoh, orang-orang mah ke rumah sakit dapatnnya obat-obatan, lah kamu, obat lahir batin Za, mana dokter pula jodohnnya." ucapnnya lagi dengan berbinar.

"Eh, ada neng Za." pak Sapri suami Bu Syifa muncul dari dalam rumah.

"Lah, ya, di suruh masuk toh, Bu, jangan di ajak ngobrol di luar gini. Mari neng." tawarnnya. sementara Bu Syifa hannya nyengir.

"Gak, usah pak!, Za, juga mau pergi, mau ke pasar" tolakku sesopan mungkin.

"Mau kemana pak?" tanya Bu Syifa pada suaminnya.

"Ini, benerin genting rumah nya Bu Diah. Lumayan lah bu, upah nya buat tambah-tambahin uang belanja."

"Oh, yaudah, hati-hati yah pa!" lalu Bu Syifa mencium punggung tangan suaminnya.

Aku tertegun, dengan sikap takdzim Bu Syifa pada suaminnya padahal rumah nya dan Bu Diah tidaklah jauh, namun ia tetap bersikap setakdzim itu.

Yah,bukankah seperti itu seharusnya suami istri. Sepertinya aku harus meniru ke ta'atan Bu Syifa pada suaminnya.

"Yasudah, Bu, kalau begitu saya juga pamit ke pasar."

"Oh, yah neng"

"Mari, Bu"

"Yah"

Jam di dinding menunjukan hampir pukul. 12. Dini hari, namun Idris tak kunjung menampakkan dirinya.

Kemana ia? tak seperti biasannya ia belum pulang jam segini. Batin Za bertannya-tannya.

Apa ia pergi meninggalkanku?, atau jangan-jangan ada apa-apa padannya. Fikiran Za semakin tak karuan.

Padahal ia sudah memasak berbagai macam masakan, dah bahkan sengaja tak makan malam karena ingin menunggu makan dengannya.

Sampai Za, terkantu menanti kepulangan Idris.

Suara dru mobil terdengar dari luar, Za, segera berlari mengintip ke arah jendela, memastikan jika itu suaminnya atau bukan.

Bersambung.....

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!