"Taniaaaaaa...." kataku sambil menjerit dan menangis.
"Kanaya, kendalikan dirimu. Ikhlaskan kepergian Tania."
Saat itu juga, aku melihat di layar televisi menampilkan sosok pasangan suami istri yang tampak begitu mesra dan sedang memberikan berbagai rahasia keharmonisan rumah tangga mereka. Saat itu juga kemarahanku semakin memuncak karena pasangan suami istri tersebut adalah Tante Lia dan Om Irwan.
"Kura*g ajar kalian! aku akan balas dendam pada kalian semua yang telah menghancurkan kehidupan Tania!!!" kataku dengan berteriak.
"Kanaya, bersabarlah, tenangkan dirimu!"
"William lihat itu, mereka yang telah menghancurkan kehidupan Tania!"
William lalu melihat ke layar televisi. "Bukankah itu Tante Lia dan Om Irwan?"
"Willi kamu mengenal mereka?"
"Tentu, mereka adalah orang yang sangat berpengaruh."
"Willi aku akan balas dendam pada mereka, bantu aku Willi!"
"Aku akan selalu membantumu Kanaya."
"Berjanjilah untuk membantu membalaskan dendamku Willi."
"Kanaya, hapus semua dendam di hatimu. Membalas dendam itu bukan perbuatan yang baik Kanaya."
Mendengar kata-kata William emosiku pun semakin memuncak. "Pergi dariku William, aku tidak membutuhkan laki-laki pengecut sepertimu!"
"Tapi Kanaya, dengarkan penjelasanku terlebih dulu!"
"Pergi William, PERGI!!"
"Kanaya."
"PERGI!!!"
Seorang petugas security tampak mendekat ke arah kami. "Ada apa ini? tolong jangan membuat keributan di rumah sakit!"
"Tolong bawa pergi laki-laki ini Pak!"
"Tuan, tolong mengertilah, ini rumah sakit."
William lalu pergi meninggalkanku yang kini sedang menangis. Beberapa saat kemudian, Tania dikeluarkan dari ruang ICU untuk dipindahkan ke ruang jenazah.
Aku lalu menghampiri tubuhnya yang kini terbujur kaku. Aku lalu menangis sejadi-jadinya di depan jenazahnya.
"Taniaaaaa... Tania, beristirahlah dengan tenang, aku akan membalas orang-orang yang telah membuatmu menderita!" kataku sambil menangis tersedu-sedu.
"Nona maaf jenazah Nona Tania harus kami masukkan ke ruang jenazah terlebih dahulu, dua jam kemudian anda baru bisa membawanya pulang."
"Baik Pak, tolong mandikan dan kafani teman saya juga, saya ingin langsung memakamkannya karena kami sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi." kataku pada seorang perawat.
"Baik Nona, anda tenang saja." jawab perawat tersebut.
Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu di depan ruang jenazah. Wajahku kututup dengan telapak tanganku.
"Hapus air matamu."
Tiba-tiba suara seseorang membuyarkan tangisanku.
"Hapus air matamu, aku akan membantumu membalas dendam pada mereka."
Aku lalu membuka telapak tangan yang menutupi wajahku.
"Nyonya Lidya."
Dia lalu duduk di sampingku dan mengelus bahuku.
"Kanaya, menikahlah dengan suamiku besok, aku sudah berbicara pada suamiku dan dia pun menyetujuinya."
"Nyonya."
"Setelah menikah dengan suamiku, aku akan membantumu membalaskan dendam pada Mami Cindy dan pasangan suami istri itu."
"Nyonya, darimana anda tahu?"
"Aku tahu banyak tentangmu Kanaya. Sekarang hapus air matamu, kita makamkan Tania bersama dan mulai besok kamu sudah bisa membalaskan dendammu pada mereka."
"Nyonya."
"Mulai hari ini panggil aku Tante Lidya. Ayo kita pergi Kanaya, mari kita berjuang bersama-sama untuk tujuan hidup kita."
Aku dan Tante Lidya lalu pergi dari rumah sakit ini untuk memakamkan Tania, ya hanya kami berdua dengan beberapa petugas dari rumah sakit. Semua biaya pemakaman, Tante Lidya yang mengurusnya. Kini aku merasa jauh lebih baik, entah mengapa hatiku terasa begitu tenang saat ada di samping Tante Lidya. Mungkin sudah begitu lama aku tak pernah mendapat kasih sayang seorang Ibu, dan saat ini hanya dirinya yang membuatku merasa kuat menjalani semua ini.
"Kanaya, pulanglah, besok pagi kutunggu kau di rumahku."
"Baik Tante."
Dia lalu memelukku, sebuah perasaan hangat itu kembali masuk dalam hatiku.
"Saya permisi dulu Kanaya."
"Hati-hati di jalan Tante." jawabku sambil melihatnya berjalan menjauh dariku.
Aku lalu pulang ke ke apartemen. Saat kubuka pintu, aku berharap Tania masih menungguku sambil menonton televisi, namun ternyata apartemen ini kosong dan terasa begitu sepi. Aku lalu berjalan ke arah dinding tempatku memajang foto-foto kami berdua.
"Tania." beristirahatlah dengan tenang.
Aku lalu masuk ke dalam kamar, hari telah berganti menjadi malam, rasanya hari ini terasa begitu berat dan melelahkan. Rasa kantuk pun datang, dan aku tertidur begitu lelap sampai akhirnya aku bangun saat ponselku berbunyi beberapa kali.
Aku lalu mengambil ponsel yang ada di sampingku, dengan mata masih terpejam aku mengangkat panggilan yang sudah berulangkali masuk dalam ponselku.
[Hallo.]
[Hallo Kanaya, kamu sudah bangun kan?]
[Ini siapa?]
[Ini Tante Lidya, apakah kamu lupa janji kita hari ini Kanaya? aku sudah menunggumu di rumahku, hari ini adalah hari pernikahanmu dengan suamiku Kanaya.]
[Astaga... Maaf Tante saya lupa.]
[Cepat kamu ke sini Kanaya, ini sudah jam enam pagi, kamu harus melangsungkan akad nikah pukul delapan.]
[Baik Tante saya segera datang.]
[Saya tunggu kedatanganmu Kanaya, supirku sudah menunggumu di bawah.]
[Baik Tante.]
Aku lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi, lalu membersihkan tubuh sekedarnya dan langsung pergi dari apartemenku. Aku lalu menghampiri seorang laki-laki yang tampak sedang menungguku di lobby apartemen.
"Mas, supirnya Bu Lidya?"
"Iya benar, Mba Kanaya?"
"Iya, saya Kanaya."
"Mari Mba saya antar, Ibu Lidya sudah menunggu di rumah."
Setengah jam kemudian, kami sudah sampai di rumah Tante Lidya, rumah yang begitu besar dan mewah. Menurutku rumah ini lebih pantas disebut dengan Mall.
Seorang wanita lalu menghampiriku.
"Nona Kanaya?"
"Iya saya Kanaya."
"Silahkan masuk dan ikuti saya Nona, Nyonya Lidya sudah menunggu anda."
Aku lalu mengikuti wanita itu masuk ke dalam sebuah kamar, Tante Lidya sudah menungguku di kamar itu dengan beberapa orang, dia langsung tersenyum melihat kedatanganku.
"Kanaya ayo kemari, kamu harus dirias layaknya seorang pengantin."
Aku melangkah mendekati Tante Lidya dengan penuh keraguan, namun tiba-tiba tubuhku sudah ditarik oleh seorang laki-laki melam*ai dan didudukkan di depan meja rias.
"Aku akan meriasmu secantik mungkin Kanaya sayang."
Tante Lidya lalu mengangguk dan tersenyum padaku. Selama hampir dua jam, akhirnya mereka pun selesai merias diriku.
"Selesai, lihat Nyonya Lidya, betapa cantiknya gadis ini." kata lelaki melam*ai itu.
"Sempurna." kata Tante Lidya.
Tante Lidya lalu mendekatiku. "Ayo Kanaya, kita keluar. Kamu sudah siap kan?"
"Siap Tante."
Aku lalu keluar dari dalam kamar dengan digandeng Tante Lidya. Tampak seorang laki-laki yang sudah berumur duduk di depan seorang penghulu. Melihat kedatanganku dengan Tante Lidya, dia lalu memandang kami berdua. Suami Tante Lidya sebenarnya masih cukup tampan meskipun dia sudah cukup berumur, dan melihat wajahnya membuatku teringat akan seseorang.
'Sadar Kanaya.' batinku dalam hati.
Tante Lidya lalu menuntunku untuk duduk di samping suaminya, tak lama akad nikahpun berlangsung. Akad nikah ini hanya dihadiri oleh beberapa orang saja, bahkan tak sampai sepuluh orang. Setelah akad berlangsung, aku meminta restu pada Tante Lidya. "Mulai hari ini lakukan tugasmu Kanaya." bisik Tante Lidya.
Aku hanya mengangguk mendengar kata-katanya.
"Ma, dimana anak-anak?" kata suamiku.
"Ada Pa, mereka baru turun saat kamu sedang melangsungkan akad nikah. Kanaya, ayo kita berkenalan dengan anak-anak Tante." kata Tante Lidya.
Aku lalu membalikkan tubuhku, hatiku rasanya begitu hancur saat melihat dua orang laki-laki yang berdiri di depanku. Salah seorang diantaranya menatapku dengan begitu tajam.
"William."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Afid Setiawan
gokil
2021-09-30
2