"Maukah kamu berjanji padaku Kanaya? Kamu mau kan menikah denganku? Kita akan membangun keluarga kecil yang bahagia."
Kanaya hanya bisa menangis, kemudian mengangguk. "Tentu, aku akan berhenti dari pekerjaan ini. Aku akan menunggumu sampai kau menjemputku dan menikahiku." jawabku sambil menangis.
William lalu mengecup keningku, dan memelukku begitu lama. Hingga akhirnya kami tersadar kami masih memiliki banyak urusan dan kembali ke rumah masing-masing. Sejak di Edinburgh, sebenarnya Tania mengirimkan beberapa pesan padaku jika kesehatannya tengah menurun.
"Tuan, saya harus pulang."
"Jangan pernah panggil aku dengan sebutan Tuan lagi, panggil aku Willi."
"Baik Willi, aku harus pulang, Tania sudah menungguku."
"Hati-hati sayang, kabari aku jika kamu sudah sampai di rumah."
"Baik Willi."
Aku lalu pulang dengan menaiki taksi, sepanjang perjalanan sebenarnya hatiku dilanda kecemasan karena beberapa pesan dari Tania yang menyiratkan jika keadaan dia sedang tidak baik-baik saja. Betapa terkejutnya aku ketika kubuka pintu apartemen dan aku menemukan Tania sudah pingsan di depan televisi, wajahnya pun begitu pucat, bahkan ada beberapa bercak darah yang menetes di lantai.
Aku begitu panik, lalu menelpon security yang ada di bawah untuk menolongku membawa Tania ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Tania langsung masuk ke ruang IGD, cukup lama aku menunggu hingga hampir satu jam, akhirnya dokter yang menangani Tania pun keluar.
"Anda keluarga Nona Tania?"
"Iya dok. Bagaimana keadaan Tania dokter."
"Apakah Tania tidak pernah mengeluhkan sesuatu akhir-akhir ini?"
"Tidak dok, hanya pernah beberapa kali merasa sakit perut, lalu setelah minum obat sakit perutnya langsung sembuh."
"Maaf jika kabar ini sedikit mengejutkan anda, Nona Tania sebenarnya mengidap penyakit kanker serviks, dan sekarang kondisinya sudah sangat kritis karena sudah memasuki stadium empat."
Aku begitu terkejut mendengar penjelasan dari dokter, bahkan selama ini Tania tak pernah mengeluh apapun padaku. Air mataku pun mengalir dengan begitu deras saat aku mendekat pada tubuhnya yang terbujur lemas di atas brankar.
Saat aku sudah berdiri di sampingnya, matanya pun terbuka. "Kanaya...." katanya lemas.
"Tan, udah berapa lama loe sakit kaya gini? kenapa loe ga pernah cerita apapun ke gue? loe jahat Tan." kataku sambil menangis tersedu-sedu.
"Gue ga mau ngrepotin siapapun Nay."
"Udah berapa lama Tan? gue sahabat loe, loe ga pernah repotin gue Tan." kataku sambil semakin terisak.
"Hampir satu tahun. Gue pikir juga ga bakal separah ini Nay, saat gue tahu, kanker gue cuma baru stadium dua, lalu satu bulan terakhir ini ternyata sudah masuk stadium empat."
"Gue kasih tahu Tante Lia ya Tan."
Tania hanya menggeleng lalu menangis. "Ga usah Nay, mereka semua sudah tahu. Dua hari yang lalu saat gue lagi sama Om Irwan, gue pingsan..." Tania tak melanjutkan kata-katanya, hanya tangisan yang keluar dari matanya.
"Udah Tan, ada gue disini yang selalu ada buat loe."
"Nay, mereka ninggalin gue kaya sampah Nay." kata Tania.
"Ku*ang A*jar!!!"
"Gue udah diusir dari apartemen, mobil, uang, kartu kredit dan semua fasilitas yang mereka kasih ke gue juga mereka ambil, sekarang gue udah ga punya apa-apa Tan, gue ga tau harus bayar rumah sakit ini pakai apa."
"Tania... Tenang Tania, ada gue disini yang bakal bantuin loe."
"Tapi biaya untuk perawatan kanker itu ga murah Nay."
"Gue akan berusaha Tan. Percayalah padaku kita bisa melewati semua ini." Tania hanya bisa menangis.
Dia dirawat di rumah sakit ini selama tiga hari, selanjutnya dia meminta untuk rawat jalan karena tidak mau semakin membebaniku. Memang kuakui untuk pengobatan penyakit kanker memang diperlukan biaya yang cukup besar. Baru sebulan saja aku membayar pengobatan untuk Tania, sudah lebih dari seratus juta yang kukeluarkan. Belum lagi jika kondisi Tania drop dan harus mendapat perawatan di rumah sakit, maka angka puluhan bahkan ratusan juta pun kukeluarkan untuk membayar pengobatannya.
Aku begitu bingung jika memikirkan keuangan kami yang semakin menipis setiap harinya. Sedangkan aku kini tak memiliki pekerjaan, aku sudah berjanji pada William untuk tidak kembali pada pekerjaanku yang sebelumnya, meski kini aku dan William sudah tidak pernah lagi berkomunikasi namun aku yakin suatu saat dia akan kembali padaku sesuai janjinya.
Tak terasa sudah enam bulan lamanya aku merawat Tania yang sakit, uang tabunganku hanya tersisa lima puluh juta, tak akan cukup untuk membiayai Tania beberapa bulan kedepan. Disuatu siang saat aku baru saja mengantar Tania melakukan kemoterapi, tiba-tiba Tania menangis.
"Loe kenapa Tan?"
"Nay, udah cukup Nay, loe harus mikirin diri loe, biar gue kaya gini aja, mau berapapun uang yang loe keluarin, gue ga akan bisa sembuh Nay, gue cuma jadi beban hidup loe Nay."
"Ga Tan, loe harus sembuh, loe pasti bisa sembuh Tan, gue akan berusaha sekuat tenaga gue untuk bisa nyembuhin loe."
"Tapi Nay, gue ga mungkin bisa sembuh, bahkan Om Irwan dan Tante Lia pun tahu kalau gue ga akan bisa sembuh makanya mereka buang gue."
"Gue bukan mereka Tan, gue sahabat loe, kita sudah hidup bersama sejak kita kecil, gue ga mau kehilangan loe kaya dulu lagi, cuma loe satu-satunya teman yang gue punya."
"Nay, loe mau janji sama gue kan, anggap aja ini permintaan terakhir gue."
"Iya Tan apa?"
"Jangan pernah kembali ke dunia gelap itu lagi Nay, cepat atau lambat kamu akan menyesal, kamu lihat kan Tuhan mungkin sudah begitu marah padaku hingga memberikan aku penyakit seperti ini."
"Iya Tan, gue janji, gue juga udah janji sama William untuk mencari pekerjaan yang halal."
"William?" kata Tania.
Aku hanya bisa mengangguk sambil menangis jika menyebut nama itu. Sebenarnya aku ingin sekali menghubungi William, tap sejak hari itu dia menghilang tanpa kabar. Beberapa kali ponselnya kuhubungi namun tidak aktif. Aku begitu bingung tidak tahu harus bagaimana.
"Willi, dimana sih loe." kataku sambil menangis saat teringat akan janjinya sebelum kami berpisah dulu.
Tiba-tiba di suatu malam Tania pingsan dan mengeluarkan darah yang begitu banyak pada ar*a k**anita*nnya. Aku yang sudah begitu panik lalu membawanya ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan sebenarnya aku begitu bingung memikirkan keadaan Tania dan biaya yang harus kukeluarkan.
Setelah sampai di rumah sakit, ternyata keadaan Tania sudah begitu parah dan langsung mendapat perawatan di ICU.
Ditengah kebingungan, aku hanya bisa menangis dan meratapi nasibku.
"Tuhan, disaat aku berusaha untuk bertaubat mengapa banyak sekali cobaan dan kesulitan yang datang padaku secara bertubi-tubi. Tuhannnn... Apakah pintu pertaubatan sudah tertutup untukku?" kataku sambil menangis tersedu-sedu.
Disaat itulah teleponku berbunyi.
[Hallo.]
[Benar ini Kanaya?]
[Iya benar.]
[Saya Lidya, saya teman dari Lia, kita pernah bertemu di sebuah Mall beberapa bulan yang lalu.]
[Iya, ada apa tante?]
[Bisakah kita bertemu? Ada suatu hal penting yang ingin saya bicarakan.]
[Tentu, bisa tante, kapan kita bertemu?]
[Sekarang.]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments