Siang harinya ketika aku dan Tania berbelanja, tanpa sengaja kami bertemu dengan istri Om Irwan.
"Nay, loe lihat itu deh wanita yang pake tunik warna putih, itu istrinya Om Irwan namanya Tante Lia."
"Cantik ya Tan, biarpun dah sedikit berumur."
"Cakep sih tapi dah turun mesih hihihihi..."
"Husttt ga boleh gitu, loe juga banyak hutang budi sama dia."
"Iya sih."
"Eh mereka panggil kita Tan, kita kesana yuk. Kapan lagi bisa kumpul-kumpul sama genk sosialita."
Aku dan Tania lalu menghampiri mereka, sekelompok wanita sosialita yang tampak begitu berkelas. Namun netraku tak bisa berpaling dari sosok wanita yang memakai hijab berwarna biru tua duduk di samping istri Om Irwan.
"Hallo Tania, apa kabar. Kenalkan ini teman-teman Tante." kata Tante Lia, Istri Om Irwan dengan ramah.
"Baik Tante, perkenalkan saya Tania, senang bisa bertemu dengan anda semua." jawab Tania sambil menyalami mereka satu per satu.
"Eh itu temen kamu sekalian ajak kenalan juga dong, siapa namanya Tan?"
"Oh ini Kanaya Tante."
"Oh, Kanaya, kamu cantik sekali Kanaya."
"Terimakasih Tante." jawabku sambil menyalami teman-teman Tante Lia.
Namun saat tanganku bersalaman dengan wanita berhijab biru tua sesuatu hal terjadi pada hatiku, entah perasaan apa aku tak tahu. Saat melihat wajahnya perasaanku begitu campur aduk antara rindu, sedih, dan bahagia campur aduk jadi satu.
"Tania itu siapa Li?" kata salah seorang teman Tante Lia.
"Oh Tania itu keponakanku Santi." jawab Tante Lia pada teman-temannya.
Memang benar kata Tania, bagi orang-orang penting seperti mereka, menjaga image di mata publik itu jauh lebih penting daripada apapun. Kamipun ikut mengobrol dengan mereka semua.
"Tan udah yuk, bentar lagi gue harus ke Bandara." bisikku pada Tania.
"Tante, Tania sama Kanaya pamit dulu ya, sebentar lagi Kanaya harus terbang ke Eropa."
"Ada urusan apa Kanaya kamu ke Eropa?" kata salah seorang sosialita.
"Bisnis." jawabku singkat.
"Wah hebat ya, masih muda bisnisnya sudah merambah sampai ke Eropa."
"Iya Tante, mari kami pamit dulu." jawabku sebelum mereka bertanya lebih jauh tentang bisnis yang tak pernah kugeluti.
Namun saat aku melihat wanita berhijab biru, sebuah tatapan mata tajamnya tak berhenti mengawasiku.
Sesampainya di apartemen aku begitu terburu-buru mengepak beberapa pakaian dan barang-barang wanita yang kubutuhkan.
"Nay, jangan lupa baju hangatnya, di Eropa lagi musim dingin loh."
"Beres Tan."
Aku lalu masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap.
"Yuk berangkat Tan, titip apartemen ya."
"Oke bos."
Setengah jam kemudian, kami sudah sampai di Bandara. " Gue anter sampai sini aja ya Nay, gue ga mau gangguin elo."
"Ada-ada aja loe Tan, ini tempat umum, gue ga bakal ngapa-ngapain sama dia disini."
"Ya udah, hati-hati ya Nay."
"Okay." jawabku sambil mengedipkan mata.
Aku lalu masuk ke dalam Bandara. Tampak William sudah menungguku di depan counter check in.
"Udah lama?" tanyaku.
"Belum." jawabnya.
'Masih saja dingin.' kataku dalam hati.
Kami lalu masuk ke waiting room dan menunggu keberangkatan selama kurang lebih satu jam. Aku benar-benar bosan duduk di samping William. Aku pikir setelah kami melewatkan malam yang romantis, sikapnya akan sedikit berubah padaku. Tapi ternyata dia tetaplah William yang dingin.
"Kamu sudah punya pacar?"
"Belum pernah." jawabnya singkat.
"Pantas."
"Pantas apa?"
"Ga, aku cuma salah ngomong."
"Yuk kita berangkat." katanya sambil berjalan meninggalkanku.
Tujuh belas jam lamanya aku berada di dalam pesawat bersama William, akhirnya kami sampai juga di Edinburgh, jam sudah menunjukkan pukul 08.00 malam waktu Edinburgh.
'Sungguh membosankan.' gerutuku
"Bulan ini adalah bulan Januari Kanaya, cuaca di Edinburgh memasuki cuaca terdingin, kamu sudah menyiapkan baju hangat kan?"
"Sudah Tuan."
Aku lalu mengikuti langkahnya masuk ke dalam sebuah mobil yang sudah dipersiapkan oleh pihak hotel. Beberapa saat kemudian kami sudah sampai di hotel dengan arsitektur lama yang kental akan budaya Britania.
"Wouwww Balmoral Hotel." kataku sambil mengagumi bangunan yang ada di depanku. Kami lalu masuk ke sebuah kamar Tipe Deluxe dengan ukuran ranjang king size dengan dua buah jendela.
"Kamar yang bagus, seleramu bagus juga Tuan." kata Kanaya.
"Lihatlah ke jendela itu Kanaya."
Aku lalu berjalan ke arah jendela, aku begitu terkejut melihat pemandangan yang ada di depanku.
"Wow saya baru pernah melihat kastil Tuan."
"Bangunan itu adalah Kastil Edinburgh dan Princes Street, besok kita jalan-jalan Kanaya setelah semua urusanku beres. Sekarang bersihkan badanmu dulu."
Aku lalu masuk ke dalam kamar mandi dan berendam di dalam bathtub. Aku merasa tubuhku begitu lengket setelah begitu lama duduk di pesawat dengan orang yang begitu dingin seperti Willian.
"Kamu mandi apa tidur sih? mandi aja lama banget."
"Namanya juga cewe. Harap maklum."
"Ibuku tak seperti itu."
"Jangan pernah bandingkan aku dengan ibumu."
William lalu tersenyum. "Memangnya kenapa?"
"Tidak ada seorangpun wanita yang suka dibandingkan-bandingkan Tuan."
"Baik aku tak akan membandingkan kamu dengan ibuku lagi. Tunggulah sebentar, aku mandi dulu setelah itu kita makan malam di bawah."
Aku hanya mengangguk. 'Pantas saja dia tidak pernah memiliki pacar. Semua hal mengenai wanita dia pun tak tahu. Benar-benar payah, memangnya selama ini dia habiskan waktunya untuk apa? bukankah dia memiliki banyak uang, seharusnya dia bisa bersenang-senang.' gumamku.
Aku lalu berpakaian dan berdandan minimalis, wajahku kini tampak jauh lebih segar.
"Cantik juga." sahut William.
Aku sedikit tersipu malu mendengar pujian dari William. Jantungku pun ikut berdetak dengan kencang. 'Perasaan apa ini.' batinku dalam hati.
"Sudah siap kan? Ayo kita makan."
"Tuan bisakah saya minta suatu hal pada anda."
"Tentu, apa yang kau inginkan Kanaya."
"Tuan, ini adalah perjalanan pertama saya ke luar negeri, dan saya sangat tidak terbiasa dengan makanan Eropa, apakah bisa kita mencari makanan dengan lidah Asia seperti saya?"
"Tentu, disini ada beberapa tempat makan dengan menu Asia dan Timur Tengah, kita bisa mencobanya."
"Terimakasih Tuan."
Akhirnya kami memutuskan untuk makan di Prana Edinburgh, yang menyajikan makanan khas India dan Asia.
"Bagaimana?"
"Enak, begini jauh lebih baik, saya menyukai makanan dengan banyak bumbu dan rempah. Tidak seperti makanan Eropa yang rasanya sedikit hambar dan tidak jelas."
"Hahahhahaha."
"Kenapa tertawa? memangnya ada yang lucu? ataukah Tuan menertawakan saya karena saya cuma orang miskin yang tidak terbiasa dengan makanan yang biasa Tuan makan?"
"Bukan begitu Kanaya, kamu hanya tampak lucu dan menggemaskan."
"Menggemaskan?"
"Sudah lupakan saja, ayo cepat habiskan makananmu, saya sudah mulai mengantuk."
Selesai makan kami lalu pulang ke hotel, karena terlalu lelah dan pulang dengan perut yang kenyang kami pun langsung tertidur.
Aku bangun saat sinar matahari telah masuk melalui celah-celah jendela kamar. Aku lalu berjalan dan membuka jendela hotel, pemandangan yang begitu indah terpampang jelas di depanku. Kastil Edinburgh yang terkena pancaran sinar matahari redup karena sedikit tertutup awan benar-benar begitu indah.
"Selamat Pagi Edinburgh."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Afid Setiawan
penggambaran yang bagus
2021-09-30
4