Melani berada di kamar Diandra sambil membuka-buka album foto Diandra yang berisi banyak foto-foto cowok yang katanya mantan-mantan pacar Diandra itu. Di situ ada bermacam-macam model cowok dengan berbagai macam bentuk. Mulai dari yang di bawah standar, sedang-sedang saja, sampai di atas standar. Melani sampai geleng-geleng kepala heran melihat semua foto-foto itu.
”Gila bener nih si Diandra? Banyak banget mantannya? Ck ck ck ck…”
“Nih Mel, minumnya!” Diandra meletakkan segelas jus di atas meja, lalu duduk di sebelah Melani,”Gimana, Mel? Ganteng-ganteng kan, mantan-mantan gue?” Diandra bangga.
“Iya, iya. Ganteng-ganteng semua.”
Diandra tersenyum bangga.
“Tapi ngomong-ngomong, ini semuanya pernah lo pacarin?”
“Ya iyalah.”
“Wah, gila lo, Di? Pernah pacaran sama cowok sebanyak ini?”
“Iya, dong! Ngg…ini nih, cowok yang ini…” Diandra menunjuk salah satu foto cowok di album yang dipegang Melani,”Ini yang namanya Adit. Dia itu cowok pertama yang pernah gue pacarin waktu SMP. Gimana? Keren kan?!”
Melani menganggukkan kepala,”Iya, keren.”
“Terus yang ini namanya Nico. Dia itu ketua OSIS di SMU tempat gue sekolah dulu. Anaknya pinter, baik, dan jago main basket.” Diandra menunjukkan foto cowok lain.
Melani hanya manggut-manggut aja.
“Lha kalau yang ini namanya Endar. Dia anaknya kapala sekolah. Gue cuma sempet pacaran sama dia seminggu, tapi putus gara-gara dia dipindahin sekolah ke luar nageri.”
Melani lagi-lagi hanya manggut-manggut saja.
“Nah, kalau yang ini namanya Donny, dia pernah dua kali nembak gue, tapi gue tolak.”
“Lho? Kenapa ditolak?”
“Soalnya gue masih pacaran sama Steven. Kan nggak mungkin gue nerima cowok lain sementara gue masih punya cowok? Kan nggak lucu kalau gue ngeduain mereka?”
“Terus akhirnya lo jadian nggak sama dia?” Melani penasaran.
“Ya jadian, dong. Setelah gue putus sama Steven, baru gue jadian sama Donny.”
“Oh…”
“Nah, kalau yang ini namanya Tomy, dia itu bla bla bla….” Diandra mulai semangat menceritakan tentang mantan-mantan pacarnya dan menunjukkan foto-fotonya pada Melani. Melani hanya bisa manggut-manggut dan iya-iya aja. Dia aja sampai bingung, kok bisa-bisanya Diandra bisa ingat dengan sedetail-detailnya tentang kriteria cowok sebanyak itu,”Jadi gitu Mel, riwayat hidup gue sama semua pacar-pacar gue!” Diandra mengakhiri ceritanya.
“Berarti lo playgirl, dong!”
“Heh?”
“Iya, sama tuh kayak si Rafael itu yang playboy.”
“Idih, Melani? Kok ngatain gue playgirl, sih?”
“Abis, mantan pacar kok banyak banget?” Melani heran.
“Namanya juga perjalanan hidup, Mel?!” Diandra membela diri.
Melani tersenyum,”Iya, iya.” Melani tanpa sengaja melihat selembar foto dengan posisi terbalik yang sebagian berada di bawah bantal tempat tidur Diandra,”Eh, kok ada foto di sini, sih? Foto siapa, nih?” Melani mengambil foto itu tapi belum sempat membalik fotonya, Diandra buru-buru merebutnya dari tangan Melani.
“Jangan lihat foto ini, Mel!” Diandra buru-buru menyembunyikan foto itu ke saku celananya. Sepertinya sangat takut kalau Melani melihatnya.
“Lho? Emang kenapa gue nggak boleh lihat foto itu, Di? Itu foto siapa, sih?”
Diandra kelihatan sangat gugup dan bingung,”Nggg….ini foto gue. Foto gue waktu masih kecil. Gue malu kalau sampai ada yang lihat.”
“Kenapa emangnya? Gue juga pengen lihat kali, muka lo waktu masih kecil kayak apa? Sini fotonya!”
“Eh, jangan!” Diandra lagi-lagi melarang Melani. Dia memegang sakunya yang tadi dia pakai untuk nyimpen foto,”Nggak usah, nggak usah! Gue malu, Mel. Jangan ya?! Please!” Diandra memohon-mohon.
Melani memandang Diandra yang memasang tampang memelas. Lalu dia tersenyum,”Iya, iya. Gue nggak akan lihat, kok. Tenang aja!”
Diandra tersenyum lega dan memeluk Melani,”Uch…thank’s berat ya, Mel. Lo emang sahabat yang pengertian!”
***
Melani berangkat ke kampus dengan naik bajaj seperti biasa. Tapi yang menjadikan hari ini nggak biasa adalah sesampainya di tengah jalan bajaj-nya mogok, padahal kampusnya masih jauh dan nggak mungkin dia ke kampus dengan jalan kaki. Akhirnya Melani menunggu sopir bajaj memperbaiki bajaj-nya selama beberapa menit. Tapi sudah lima belas menit Melani menunggu, bajaj-nya belum beres-beres juga sementara kuliah sebentar lagi dimulai. Melani menghentak-hentakkan kakinya di tanah pertanda tidak sabar, sambil sesekali mengecek arlojinya.
“Pak, belum selesai juga, ya?” tanya Melani.
“Belum, Neng. Kayaknya musti dibawa ke bengkel ini. Saya nggak bisa memperbaikinya sendiri,” jawab sopir bajaj.
“Nggg…ya udah deh, Pak. Kalau gitu saya cari ojek aja. Ini uangnya!” Melani memberikan sejumlah uang pada sopir bajaj.
“Aduh, maaf ya, Neng!” sopir bajaj merasa nggak enak hati pada Melani.
Melani tersenyum ramah,”Iya, nggak apa-apa kok, Pak. Lagian saya bisa nyari ojek atau bus gitu.”
“Ya sudah, terima kasih ya, Neng!”
Melani pergi mencari angkutan lain. Entah ojek, mikrolet, bus, atau apa gitu yang bisa dinaikinya pergi ke kampus. Yang jelas dia nggak akan nak taksi, soalnya mahal. Daripada uangnya dipakai buat bayar taksi, mendingan dipakai untuk nyarter bajaj selama seminggu. Melani berdiri di pinggir jalan mencegat angkot atau ojek yang lewat. Tapi dari sekian banyak kendaraan roda empat yang berlalu lalang, dia sama sekali nggak melihat angkutan umum, dan dari banyaknya pengendara roda dua, sama sekali nggak ada satupun yang berprofesi sebagai tukang ojek.
“Aduh…masa di Jakarta seluas ini nggak ada satupun yang jadi tukang ojek? Emangnya dari berjuta-juta penduduk Jakarta, cuma gue doang yang miskin, sampe-sampe yang jadi tukang ojek aja nggak ada? Nggak tahu apa, kalau gue lagi buru-buru?” Melani ngomel-ngomel sendiri.
Karena lama menunggu ojek nggak lewat-lewat, Melani memutuskan untuk menyeberang jalan dan mencoba mencegat angkot di jalan sebelah. Tapi baru tiga langkah dia berjalan, tiba-tiba ada seseorang yang menariknya kembali ke pinggir jalan. Bersamaan dengan itu, sebuah motor melaju kencang melewati tempat Melani berdiri tadi. Kalau saja seseorang tadi tidak menarik Melani ke tepi, pasti Melani sudah menjadi korban tabrak lari.
Melani kini berada dalam dekapan seorang cowok yang wajahnya sangat dikenali oleh Melani. Melani mendongak memandang wajah cowok itu dikarenakan memang tubuhnya lebih tinggi daripada Melani. Jantung Melani berdegup kencang saat tubuhnya berada sangat dekat dengan cowok itu, bahkan merapat ke tubuh cowok itu. Melani tahu, pasti cowok itu juga merasakan detak jantung Melani yang sangat cepat. Rafa memandang Melani dibalik kacamata hitamnya yang selama ini membuatnya terlihat makin keren.
“Apaan sih lo?” Melani menjauhkan dirinya dari pelukan Rafa setelah menyadari apa yang terjadi.
“Lo ngapain sih, di sini? Kalau mau bunuh diri jangan di sini, dong! Sana, ke laut aja!” ujar Rafa menegur. Dan ini untuk pertama kalinya Melani mendengar suara Rafa.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments