3.

“Hehehe…abis lo aneh banget, deh? Di sana itu juga banyak cowok gantengnya yang bisa lo pelototin, eh malah ngelihatin cewek?” Diandra heran.

“Bukan gitu maksud gue. Gue cuma kagum aja sama tuh cewek. Cantik banget, bibirnya bagus, kulitnya putih, rambutnya lurus berkilauan mirip iklan shampo, bulu matanya lentik…dan pastinya dia anak orang kaya. Beda banget sama gue.”

Melani membanding-bandingkan dirinya dengan Cyntia.

“Ya iyalah, dia cantik, Mel. Orang bokapnya aja kaya. Almarhum kakeknya aja, termasuk salah satu pengusaha terkaya di Korea.”

“Pantas, wajahnya mirip-mirip orang Korea gitu.” Melani terkagum-kagum,”Terus, cowok yang lagi ngobrol sama dia itu siapa?”

“Ya, pacarnya lah Mel. Masa tukang kebunnya?”

Melani masih terus memperhatikan Cyntia yang sedang asyik mengobrol dengan cowok yang kata Diandra pacarnya itu. Cewek secantik Cyntia pasti cowoknya juga ganteng plus kaya pula.

Melani ingin sekali bisa melihat wajah cowok itu, tapi sayang cowok itu duduk membelakanginya. Sehingga Melani hanya bisa melihat punggungnya saja. Melani sudah berkali-kali mencoba menoleh ke arah cowok itu, dengan harapan saat cowok itu menoleh atau apa gitu, dia bisa melihat wajahnya. Tapi tetep aja tuh cowok nggak memperlihatkan wajahnya. Sampai Melani dan Diandra selesai makan siang, Cyntia dan pacarnya itu masih belum beranjak dari tempatnya. Emang kalau orang lagi pacaran itu suka lupa waktu, makan aja lama banget. Dan nggak tahu kenapa, Melani sangat penasaran ingin melihat wajah pacarnya Cyntia itu.

***

Melani pulang ke rumah dengan perasaan riang gembira. Soalnya hari pertamanya masuk kuliah di tempat baru, sangat menyenangkan. Melani sudah punya teman baru yang baik dan menyenangkan seperti Diandra. Di depan rumah, terlihat Ibu sedang sibuk menata toko bunganya yang baru. Berbagai macam bunga di dalam pot tertata rapi di toko kecil itu. Dan di atas pintu masuk toko terpampang sebuah papan nama bertuliskan ‘TOKO BUNGA MEL’. Melani senang sekali namanya dijadikan nama toko bunga oleh ibunya.

“Bu, Melani pulang!” Melani mencium tangan ibunya,”Udah siap dibuka, Bu?” tanya Melani sembari mengamati bunga-bunga sudah tertata rapi.

“Iya. Hari ini Ibu dapet langganan tetap untuk mengambil bunga yang mau dijual. Pemiliknya juga baik, bayar separo dulu boleh,” Ibu menata pot-pot bunga mawar yang sudah mulai berbunga di sudut ruangan. Tampak bermacam-macam warna bunga mawar dengan bentuk pot yang berbeda-beda.

“Ya bagus dong, kalau gitu.”

“Eh iya, bagaimana kuliah kamu hari ini? Ada masalah apa enggak?” kali ini Ibu menata pot-pot tanaman anggrek yang belum berbunga.

Melani duduk di teras toko,”Nggak ada masalah kok, Bu. Mel juga udah kenalan sama beberapa temen baru.”

“Bagus itu. Terus pertahankan!” Ibu mengamati bunga-bunga melati yang sudah berbunga, dan baunya sangat sedap,”Oh iya, Ibu sampai lupa. Bagaimana cowok-cowok di sana? Ganteng-ganteng nggak? Kok kamu nggak pernah cerita-cerita sama Ibu?⁰” Ibu langsung semangat kalau membicarakan tentang cowok. Dia pun melupakan kegiatannya menata toko bunga,”Terus, kamu udah kenalan sama berapa cowok aja hari ini?”

“Belum sama sekali.”

“Apa??? Belum sama sekali??? Kok bisa???”

“Ya bisalah, Bu.” Melani sudah hafal betul sifat ibunya itu yang langsung semangat kalau menyangkut cowok.

“Masa dari sekian banyak cowok yang ada di kampus itu, nggak ada satupun yang tertarik buat kenalan sama kamu? Kamu kan udah cantik begini? Mirip Ibu dulu waktu masih muda. Iya, kan?!” Ibu berkata dengan pede-nya sambil mengelus-elus kedua pipinya.

Melani mendelikkan matanya.

“Eh, ditanya kok diem aja? Memangnya kenapa nggak ada cowok yang mau kenalan sama kamu? Pasti di kampus kamu bertingkah aneh, ya?”

“Idih…Ibu ini apa-apaan sih? Kok nuduh-nuduh Mel bertingkah aneh?”

“Ya, habis masa nggak ada satupun cowok yang udah kamu kenal di kampus?” Ibu heran.

“Ada.”

“Oh ya? Siapa, Mel? Siapa dia? Anak pengusaha mana? Terus ganteng nggak?” Ibu menggebu-gebu.

“Ada. Satpam kampus. Udah, Bu…Mel masuk ke dalem dulu. Capek!” Melani berjalan memasuki rumah.

“Apa??? Kok satpam, sih?” Ibu terlihat bingung,”Mel, kamu pacaran sama satpam? Aduh, itu anak gimana, sih? Disuruh nyari pacar yang kaya, kok malah pacaran sama satpam?”

Melani melempar tasnya di atas kasur, lalu menjatuhkan tubuhnya di dekatnya. Hari ini melelahkan sekali. Baru juga sehari tinggal di Jakarta, rasanya udah kayak setahun. Gimana kalau nanti udah setahun, pasti rasanya udah kayak seabad.

***

Melani berjalan di koridor kampus sambil membuka-buka buku pelajaran. Sampai dia berhenti di depan mading dan mencoba membaca pengumuman di mading. Siapa tahu ada yang penting. Setelah membaca beberapa lembar kertas yang ditempel di mading secara teliti selama beberapa menit, akhirnya Melani tahu nggak ada pengumuman yang penting. Dia pun memutuskan untuk pergi.

“Nggak ada yang penting, nih!” Melani kembali melanjutkan jalannya. Namun tiba-tiba Melani bertemu dengan Pak Sokib, salah satu pesuruh di kampus itu. Dia kelihatannya sedang bingung sambil memandangi selembar kertas karton besar yang bertuliskan sesuat. Di dekat Pak Sokib ada sebuah tangga dari kayu. Berkali-kali Pak Sokib memandang ke dinding, lalu ke kertas karton yang dipegangnya.”Pak Sokib kenapa kok bingung gitu?” tanya Melani.

“Eh, Non Melani. Iya Non, saya memang sedang bingung sekarang.” Pak Sokib tersenyum ramah pada Melani.

“Emangnya ada apa sih, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?” Melani menawarkan bantuan.

“Ini lho, Non. Tadi saya disuruh buat nempelin ini ke dinding yang di atas itu. Tapi berhubung saya ini takut ketinggian, saya jadi bingung ini gimana cara masangnya? Terus kalau saya nggak masang ini, nanti saya dimarahin?” Pak Sokib serba salah.

Melani berpikir sambil memandangi tangga kayu yang ada di dekatnya. Sebuah pikiran yang bijak terlintas di pikirannya,”Nggg…coba sini Pak, kertasnya!”

“Ini Non!” Pak Sokib memberikan kertas karton pada Melani.

Melani memandang kertas karton itu yang bertuliskan sebuah poster kebersihan,”Kalau gitu, biar saya saja deh Pak, yang pasang ini.”

“Non Melani serius?”

“Iya.”

“Tapi apa nggak ngerepotin?”

“Ah, nggak kok, Pak. Saya ini udah terbiasa manjat-manjat begini. Pak Sokib di bawah aja, bantuin saya ambilin paku sama palunya!”

Pak Sokib tersenyum lebar,”Aduh, terima kasih banyak ya, Non?! Saya benar-benar nggak tahu harus bagaimana tadi, kalau nggak ada Non.”

“Iya, Pak. Nggak apa-apa. Saya senang kok, bisa bantuin Pak Sokib.” Melani berkata dengan tulus,”Ya udah, saya naik ke atas dulu ya, Pak?!

Pak Sokib tolong pegang kertasnya!” Melani menyerahkan kertas karton pada Pak Sokib.

Pak Sokib mengangguk-angguk,”Iya, Non. Iya. Terima kasih ya, Non!”

Melani meletakkan tas dan bukunya ke lantai, lalu dengan perlahan dia menaiki satu persatu anak tangga sambil berpegangan.

“Hati-hati ya, Non!” Pak Sokib cemas.

“Iya, Pak. Tenang aja!” Melani sudah berdiri di anak tangga paling atas yang kira-kira berjarak 2,5 meter-an dari lantai,”Pak, mana kertasnya?” Melani mengulurkan tangan ke bawah.

“Ini, Non!” Pak Sokib menyerahkan kertas karton ke atas ke tempat Melani.

Melani menempelkan karton itu di dinding dan untuk beberapa detik sempat mengamatinya, apakah sudah bagus apa belum,”Kayaknya udah pas, nih?! Pak, mana paku sama palunya?” Melani memasang paku satu per satu di tiap sudut karton dengan palu. Sedangkan Pak Sokib di bawah tampak khawatir kalau sampai terjadi sesuatu dengan Melani.

“Sudah apa belum, Non?” tanya Pak Sokib.

“Iya, Pak. Ini bentar lagi selesai.”

TBC

Terpopuler

Comments

Watik Yd

Watik Yd

q mampir ni kk

2022-01-28

0

Gahara Rara

Gahara Rara

lucu... 😀😀

2021-11-14

0

ANAA K

ANAA K

Im so exited😋👍🏾

2021-11-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!