"Velicia, sejujurnya aku tidak pernah tahu kalau 2 tahun yang lalu kau dioperasi untuk mengangkat rahimmu, hingga kau tidak bisa hamil lagi." Ucap Arnold penuh keseriusan.
Dari matanya tampak ia berbicara dengan jujur. Tapi, aku tidak ingin membahas tentang itu. Toh semuanya sudah berlalu. Yang menjadi inti pembicaraan kami sekarang adalah Merry.
"Arnold aku datang bukan untuk membahas hal itu. Aku hanya ingin kau membebaskan Merry. Perlu kau tahu, Merry melakukan semua ini karena emosi pada Viona. Kekasihmu itu telah menabrak Hansen, pria yang sangat dicintai Merry. Kekasihmu itu telah membuat Hansen cacat seumur hidup dan dia tidak pernah mengakui kesalahannya. Dia lari dari tanggung jawab. Apa kau pikir Merry tidak akan marah atas tindakan kejam yang dilakukan kekasihmu itu? Tentu saj ia marah, murka dan tak dapat menahan dirinya. Arnold kau harus tahu kalau calon istrimu itu tidak sebaik hati yang terlihat." Ucapku panjang lebar.
Tapi, Arnold malah terlihat tidak peduli pada hal yang aku ucapkan. Dia malah kembali bertanya, "Apa yang terjadi padamu setelah keguguran?"
Aku tidak ingin mengingat hal itu lagi. Hal yang sangat menyakitkan bagi diriku.
"Tidak terjadi apapun setelah itu. Tubuhku hanya jadi lemah setelah keguguran dan dokter bilang akan sangat sulit bagiku untuk hamil lagi, itulah kenapa aku mau memberikan seluruh bisnis keluarga Arista padamu, keluarga Arista sudah tidak punya penerus lagi." Ucapku dengan sinis.
Arnold terdiam, ia seperti kehabisan kata.
"Jadi, aku hanya ingin kau lepaskan Merry. Itu saja." Kataku pada Arnold lalu pergi meninggalkan dirinya yang terdiam seribu bahasa.
Aku tak lagi memikirkan kondisi tubuhku. Aku tak ingin melakukan perawatan lagi, sementara sahabatku tengah membutuhkan aku saat ini.
Aku lalu pergi menemani Merry di kantor polisi. Aku berusaha menguatkan Merry sebisaku. Aku memintanya untuk tenang dan tidak bertindak bodoh lagi.
Dan, pada akhirnya Arnold membiarkan Merry ditahan 3 bulan sebagai negosiasi terakhir. Dengan itu berarti saat keluar dari penjara, Merry tidak akan melihatku lagi. Aku sudah di panggil Tuhan.
"Merry kuatkan dirimu. Ingat jangan lagi melakukan tindakan bodoh setelah keluar dari sini. Karena aku sudah tidak akan bisa membelamu lagi." Ucapku seraya menahan sesak di dada.
"Apa yang kau katakan? Kau berucap seperti seolah-olah kau akan pergi jauh dan tidak akan menemui ku lagi. Kau akan pergi kemana?" Ucap Merry yang semakin membuatku sedih.
"Merry sahabatku, aku tidak tahu sampai mana Tuhan memberikan usia kita. Bisa jadi setelah pulang dari sini aku akan dipanggil kembali menghadap Tuhan. Jadi saat kau keluar dari sini, aku bisa saja tidak ada lagi di dunia ini." Ucapku yang tak bisa lagi membendung air mataku.
Aku menangis tersedu-sedu dipelukan sahabatku itu. Aku tidak akan lagi bisa melihatnya di akhir hidupku. Merry sahabatku, tolong jaga dirimu baik-baik.
"Kau bicara apa sih? Jangan seperti ini. Kenapa bicaramu malah kemana-mana. Kau itu tidak boleh bicara sembarangan. Ayolah, jangan menangis lagi. Aku janji tidak akan melakukan tindakan yang bodoh lagi. Aku tidak akan menyusahkan mu lagi. Aku janji." Merry terlihat sangat bersungguh-sungguh.
Hatiku menjadi lebih lega saat melihat semangatnya.
********
Hari demi hari berlalu, dan kondisiku semakin melemah. Hidupku hanya tersisa 1 bulan atau 30 hari lagi. Tidak ada lagi yang bisa ku lakukan. Keinginanku untuk bisa dicintai Arnold dalam waktu yang hanya 90 hari sudah musnah. Aku menyerah.
Hari ini aku memutuskan untuk mulai mengurus pemakamanku sendiri. Aku mulai menyiapkan segalanya. Aku pergi mencetak foto hitam putih, lalu memilih tanah kuburan ku sendiri. Aku memilih tanah makam yang berada tepat disamping makam kedua orang tuaku.
Aku memandang pusara kedua orang tuaku. Tangis ku pecah, aku tidak dapat menahannya lagi.
"Papa, Mama, sebentar lagi kita akan bertemu." Ucapku dengan air mata yang berlinang.
Setelah merasa lebih tenang. Aku memilih kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, aku melewati pusat les piano dan mendengar alunan lagu yang familiar, membangkitkan kembali kenangan masa kecilku.
Aku seolah tengah melihat Arnold bermain piano. Ia tampak tersenyum ke arahku. Sungguh sebuah senyuman yang sangat aku rindukan. Tapi, cukup sudah. Aku tidak akan masuk ke dalam sana apalagi sampai bertemu dengannya.
Mulai hari ini, tak ada lagi cinta untukmu Arnold. Akhirnya aku memutuskan untu membenci dirimu.
Tiba di rumah, aku langsung membersihkan diri dengan mandi. Kemudian karena terlalu lelah, aku memilih untuk tidur. Saat aku mulai memejamkan mataku dan terlelap, aku merasa dipeluk seseorang. Saat aku membalik tubuhku, rupanya itu Arnold. Sontak saja aku langsung berdiri menjauh darinya.
"Mau apa kau kemari? Pergi dari sini?" Teriakku berusaha mengusir Arnold.
Aku mengusir Arnold karena tidak ingin pria ini ada di rumahku, dan dihadapanku. Karena hal yang dia lakukan pada Merry dan segala hal lainnya, aku tidak ingin berurusan dengan Arnold lagi.
"Pergi kau...." Teriakku lagi.
"Velicia, dengarkan aku dulu."
"Tidak. Aku mau kau pergi sekarang juga. Jangan pernah menampakkan wajahmu dihadapanku lagi." Aku kembali berteriak.
"Aku tidak akan pergi sebelum kau mendengarkan aku." Arnold berusaha mengancam ku.
"Baiklah, terserah kau saja. Jangan salahkan aku jika menelepon polisi, karena kau sudah menggangguku." Kataku kemudian berjalan keluar dari dalam rumah karena Arnold tak kunjung mau pergi.
Biarkan saja dia di rumah, aku bisa pergi. Asalkan tak melihatnya lagi aku akan melakukan apapun. Kemudian aku memutuskan untuk pergi ke pantai.
Aku memang sering sekali ke pantai dikala tengah merasa gundah, sedih ataupun marah. Bagiku berada di pantai bisa membuatku merasa lebih tenang. Aku bisa berteriak meluapkan semua amarah yang ada di dalam hatiku.
Aku memilih duduk di sebuah gazebo kecil yang memang tersedia. Duduk menghadap lautan luas nan biru. Memandang deburan ombak yang menghantam pinggiran pantai. Membuat air mataku luruh.
Aku lelah, marah, sedih, kecewa. Dan sekarang, kepada siapa lagi aku harus mengadu. Orang tuaku sudah meninggal, sahabatku sudah di penjara. Jika harus mengadu kepada Tuhan, aku malu. Malu sekali...
Sudah banyak keluhan yang aku sampaikan pada Tuhan. Tuhan pasti bosan mendengar setiap keluhan ku.
Ponselku berdering, Arnold meneleponku. Malas sekali menggubrisnya, tapi aku berpikir sebaiknya tidak menghindar agar semuanya lebih cepat selesai. Aku pun mengangkat telepon dari Arnold.
“Velicia, hari ini aku mencari mu untuk membicarakan beberapa hal. Dulu aku merasa bisa menebus sesuatu padamu, maka aku mau merawat mu sepenuh hati, tapi saat ini aku sudah salah.” ucap Arnold penuh teka-teki.
Kini aku yang bersikeras, “Kamu ingin mengatakan apa?” teriakku padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Nur Haidah
sedih 😭😭😭😭😭😭
2022-11-10
0
Nur Haidah
😭😭😭😭😭😭
2022-11-10
0
❦ℝ𝕒𝕟𝕚❦🍇
ini komplit.. sedih kecewa emossssiiii... ada semua.. 🤧🤧
2021-10-09
1