Aku malas menanggapi Arnold dan berjalan keluar rumah begitu saja. Namun detik selanjutnya aku tak dapat bergerak karena Arnold sudah memelukku dari belakang.
"Aku mau jadi pacarmu." Ucap Arnold tiba-tiba.
Aku bingung kenapa dulu Arnold menolak ku, kenapa harus sekarang baru bilang ingin pacaran denganku?
Tubuhku membeku, tak dapat bergerak sama sekali. Apa yang dikatakan Arnold ini benar, atau dia hanya sedang bercanda padaku.
Perlahan Arnold melepaskan pelukannya lalu berjalan ke depanku dan menatapku dengan wajah yang serius. Aku tak tahu harus menanggapinya bagaimana. Aku ragu-ragu dengan apa yang dia katakan barusan.
"Kenapa kau terlihat ragu. Aku mau menjadi pacarmu karena aku melakukannya sebelum menikah dengan Viona." Ucapan Arnold seketika membuatku tersadar.
Kenapa aku tidak pernah berpikir sebelumnya? Arnold sudah mau menikah dan mau pacaran denganku, tentu saja hanya karena sebatas rasa kasihan nya pada diriku saja.
"Tidak Arnold, aku tidak perlu dikasihani. Aku tidak mau kau bersedia menjadi pacarku hanya karena kau mengasihani aku. Cukup! Aku tidak mau lagi." Ucapku dengan hati yang berusaha tegar.
Pada akhirnya aku menolak Arnold, padahal saat itu aku tidak perduli apapun, yang terpenting dia mau menjadi pacarku disisa hidupku yang hanya 3 bulan ini.
Aku lalu pulang dengan menahan rasa sakit, bukan hanya dari sakit hati yang diciptakan Arnold, tapi juga sakit karena kanker yang menggerogoti tubuhku ini.
*******
Seharian ini aku lewati dengan bermalas-malasan karena tubuhku yang terasa begitu lemas. Sampai tiba-tiba ponselku berdering menampilkan nama Merry menelepon ku.
"Kau dimana?" Tanya Merry diseberang telepon.
"Di rumah. Ada apa?" Jawabku dengan malas.
"Apa kau bisa untuk menemaniku mencari Hansen?"
Aku menyanggupi permintaan Merry, meski tubuhku rasanya tak sanggup untuk digerakkan. Tapi aku tak mau mengecewakan Merry. Lagipula, memang sudah seharusnya aku keluar rumah. Daripada harus berdiam diri sambil terus merenung dan selalu memikirkan Arnold.
Disinilah aku sekarang, duduk di teras rumah menunggu Merry beberapa saat. Sampai sebuah mobil berhenti di depan rumah. Merry turun dan seketika aku takjub melihatnya yang memakai kaos putih dan celana jeans, wajahnya mulus tanpa polesan.
Sudah lama aku tidak melihat Merry tidak berdandan, dia terlihat murni sekali.
Dia lalu berkata padaku, “Dia tidak pernah melihatku berdandan.”
Dari perkataan Merry, aku mengerti kalau Hansen akan tidak percaya diri kalau Merry terlihat terlalu cantik.
Sepertinya aku lebih baik juga berdandan simple saja. Aku kembali ke kamar untuk ganti baju yang tidak terlalu mencolok. Aku memilih dress selutut warna putih agar terlihat sama dengan Merry. Namun sungguh, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, dengan memakai pakaian sesederhana ini tak sanggup menutupi aura diriku yang terlihat elegan.
Ah, mungkin aku memang terlalu sombong akan kecantikan ku sendiri.
Kami berdua memulai perjalanan panjang kami menuju sebuah kota kecil yang sangat jauh dari kota Ternate. Kami melewati jalan yang berkelok, di temani pemandangan persawahan yang terhampar luas. Sesekali kami melewati hutan yang begitu rindang, pepohonan menutupi kanan dan kiri jalan.
Aku jarang sekali mendapat pemandangan yang begitu menghijaukan mata. Udaranya begitu sejuk, membuatku merasa sangat tenang. Bahagia sekali rasanya.
Setelah bersusah payah, kami akhirnya bisa sampai di kota kecil ini dan bertemu dengan Hansen.
Aku begitu kasihan melihat kondisi Hansen. Ternyata karena kecelakaan itu dia kehilangan kedua kakinya, kini dia duduk di kursi roda, ibarat bunga Sakura yang sudah hampir gugur.
Aku menguatkan Merry, dan ia mulai maju ke depan untuk bicara dengannya. Sorot mata Merry menunjukkan sebuah harapan.
"Ha-Hansen." Sapa Merry.
Hansen mendongak lalu menatap wajah Merry dengan serius.
"Kamu siapa?" Tanya Hansen pada Merry.
Merry perlahan mundur, ia tak dapat menahan tangisnya. Ia memelukku erat.
"Hansen memang sering begini. Nenek tidak tahu mengapa. Tapi, dia tiba-tiba sudah jadi bodoh." Jelas Nenek Hansen.
Merry kembali terisak, tangisnya pecah sejadi-jadinya. Aku memeluknya, berusaha menenangkannya dengan membisikkan kata semangat seraya mengelus punggungnya.
"Yang terpenting, kita sudah bisa bertemu dengannya. Kau tenanglah, kita mungkin masih bisa mengobatinya." Ucapku berusaha menyemangati Merry.
Setelah mengobrol beberapa saat dengan Nenek Hansen, aku dan Merry akhirnya kembali ke kota dengan perasaan tak berdaya. Di dalam mobil, Merry terdiam sambil matanya fokus menyetir.
"Apa kau ingin aku yang menyetir?" Tawar ku padanya.
"Veli, aku yakin kalau Hansen baik-baik saja, aku merasa Hansen hanya kekeuh tidak mau mengenali diriku." Jawaban itulah yang justru keluar dari mulut sahabatku ini.
Aku tahu Merry pasti tidak akan percaya begitu saja kalau Hansen bisa melupakannya. Tapi, aku sering mendengar orang yang mengalami benturan keras di kepala itu bisa mengalami amnesia. Atau amnesia bisa disebabkan juga karena rasa trauma. Tapi hal ini tak aku sampaikan pada Merry, karena pastinya dia juga paham apa dan bagaimana amnesia itu bisa terjadi.
"Seharusnya aku yang mati 8 tahun lalu, nyawaku diselamatkan Hansen. Akulah yang seharusnya tertabrak. Tapi, Hansen menyelamatkan aku. Andai saja dia tak melakukan itu, pasti aku lah yang sekarang duduk di kursi roda tanpa kaki atau bahkan sudah mati. Hatinya baru akan berdetak dan bahagia jika Hansen masih hidup. Tapi, saat aku melihat kondisinya sekarang, aku tidak bahagia. Aku semakin menderita apalagi dia tidak mengenaliku. Hanya datu hal yang akan membuatku bahagia, yaitu hidup bersama Hansen." Ujar Merry panjang lebar padaku.
"Aku akan bahagia hanya dengan seperti itu. Pasti bahagia... Bahagia... Bahagia..."
Merry berulang kali mengatakan kata “Bahagia”. Membuatku menjadi takut tentang hal gila apa yang akan dia lakukan demi mendapatkan Hansen kembali.
Merry akan akan kehilangan segalanya jika mengejar Hansen, terutama uangnya. Kali ini aku harus membantunya mendapatkan apa yang akan membuat dia bahagia. Disisa hidupku yang kurang dari 90 hari lagi, aku ingin membuat seseorang yang paling dekat denganku bahagia.
Tapi, apakah Merry mau menerima tawaran bantuan dariku? Apalagi dulu dia pernah menolak bantuan dariku secara halus.
"Setahun yang lalu, aku meletakkan sebuah kartu di depan komputer mu, harusnya kamu tahu itu dariku, tapi kamu tidak pernah menanyakan PIN-nya padaku.” ucapku padanya yang tengah terlihat bingung.
Merry menatapku dengan sebuah sunggingan di bibirnya.
"Tanpa bertanya, aku juga sudah tahu PIN-nya berapa." Jawab Merry dengan santai.
Pandangannya kembali menatap jalanan yang tengah melewati hutan lebat. Ia terlihat sangat serius.
Merry membuatku kehabisan kata-kata, dia memang paling mengerti akan diriku. Tak peduli saat suamiku menolak ku, orangtuaku meninggalkan aku seorang diri di dunia, ia selalu ada untuk mensupport ku.
'Merry kau benar-benar sahabatku yang paling baik.'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
🐊⃝⃟ Queen K 🐨 코알라
Seseorang yang tulus dan menerima kita apa adanya....
2021-12-10
0
❦ℝ𝕒𝕟𝕚❦🍇
merry is the best 🤧🤧🤧🤧🤧😭😭
2021-10-09
0