Keterpurukan Aline
Dea menjatuhkan tubuhnya di sofa dan duduk berhadapan dengan Adrian. Dia merasakan detak jantungnya berdegup kencang karena takut dengan tatapan dingin Adrian. Dea bingung dia harus mulai menjelaskan dari mana. Cukup lama mereka terdiam, membuat Adrian mulai merasa jengah.
"Jelaskan dari awal dan jangan ada yang terlewat sedikitpun." Adrian menatap Dea dengan wajah dinginnya, membuat Dea sedikit merinding.
"Aku tidak tahu harus mulai menjelaskan dari mana, Kak," sahut Dea. "Baiklah aku akan menceritakannya tapi aku mohon kakak jangan memotong saat aku bercerita. Dan jangan menatapku seperti itu. Kakak membuatku takut." Dea mendengus. Adrian hanya menganggukkan kepalanya.
Dan akhirnya Dea pun mulai bercerita dari awal rencana Rio akan melamar Aline. Kemudian kedatangan Nyonya Erisa ke apartemen yang ingin meminta maaf dan ingin memperbaiki hubungan dengan Aline. Nyonya Erisa juga mengundang Aline dan Rio untuk makan malam keluarga yang seharusnya diadakan pada malam ini. Tapi karena Aline tak kunjung datang, akhirnya Rio dan keluarga Tuan Robby juga dirinya pergi mencari Aline di hotel XXX. Sesampainya di hotel mereka masih belum menemukan Aline. Sampai akhirnya mereka menuju kamar no. 1123 dan menemukan Aline sudah terkapar di tempat tidur. Segala drama yang terjadi selama berada di kamar itu. Dan ditutup dengan kejadian Adrian yang hampir menabrak Aline.
"Mamaku mendatangi Aline untuk meminta maaf dan mengajak berbaikan. Apa aku tidak salah dengar?" Adrian mulai mengeluarkan suaranya.
"Kenapa? Kakak tidak percaya. Aku juga tidak. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Aku berpapasan dengan Nyonya Erisa di lobby apartemen kemarin," sahut Dea.
"Aku tahu betul jika Mama sangat membenci Aline, begitu juga Alexa. Dan tiba-tiba mereka meminta maaf apalagi sampai mau mengadakan makan malam bersama, itu konyol," ucap Adrian tak percaya. Dea hanya mengangkat kedua bahunya.
Adrian mengusap wajahnya dengan kasar. Ada perasaan marah mengetahui peristiwa yang menimpa Aline. Meskipun selama ini hubungan persaudaraan mereka tidak baik, tapi Adrian tetap tidak suka jika Aline disakiti. Bagaimanapun juga Aline tetaplah adiknya. Dia juga memikirkan keadaan ayahnya yang pasti sangat terpukul dengan masalah Aline.
"Apa Kak Adrian tidak akan pulang ke rumah? Karena ini sudah malam sekali," tanya Dea tiba-tiba.
"Malam ini aku akan menginap di sini. Aku tidak bisa meninggalkan Aline dengan kondisi seperti sekarang. Kamu tidak keberatan kan. Aku akan tidur di sofa," jawab Adrian.
"Baiklah aku akan mengambilkan bantal dan selimut untuk Kakak." Dea segera berdiri dan masuk ke dalam kamar mengambil bantal dan selimut untuk Adrian.
Belum lama Adrian tertidur dia dikejutkan oleh teriakan Aline dari dalam kamar.
"Tidak!" jerit Aline.
Adrian segera berlari memasuki kamar Aline. Begitu melihat Adrian masuk dan mendekatinya, Aline semakin histeris dan ketakutan.
"Tidak. Aku mohon jangan mendekat. Pergi!" jerit Aline dan menyuruh Adrian menjauh darinya.
"Aline tenanglah, ini aku Adrian kakakmu." Adrian berusaha menenangkannya.
Dea yang sedang berada di dapur pun segera berlari ke kamar Aline. Melihat Aline yang ketakutan, dia segera mendekatinya dan ikut menenangkannya.
"Aline, tenang ya. Ada aku di sini. Kamu jangan takut." Dea langsung memeluk tubuh Aline yang bergetar. Dan Aline pun lama kelamaan menjadi lebih tenang.
"Lihatlah dia Kak Adrian, kakakmu." Dea melepaskan pelukannya dan meminta Aline untuk melihat ke arah Adrian. Adrian semakin terpukul melihat keterpurukan adiknya, wajahnya berubah sendu.
"Kak Adrian," panggil Aline.
Perlahan Adrian mendekat ke arah Aline dan duduk di sampingnya. Dia takut jika Aline akan histeris lagi seperti sebelumnya.
"Iya Aline, ini aku Adrian. Jangan takut," ucap Adrian pelan.
"Kakak, aku takut sekali." Tangis Aline pecah.
Adrian segera menarik Aline ke dalam pelukannya. Dia mengusap kepala Aline dengan lembut. "Jangan takut, ada kakak di sini. Kakak tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu."
"Aku sudah hancur. Aku sudah rusak dan kotor Kak. Aku sudah kehilangan kehormatanku, dan aku juga sudah kehilangan orang yang sangat aku cintai," ungkap Aline pada kakaknya.
"Sudah, kamu harus tenang. Kamu masih punya kakak, papa, juga sahabatmu Dea. Kami tidak akan pernah meninggalkanmu. Benarkan De?" Adrian beralih menghadap Dea.
"Itu benar Lin. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kamu bukan hanya sahabatku, tapi kamu saudara perempuanku," tutur Dea membuat Aline terharu dan bahagia. Dia sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Dea. Dia pun mulai tersenyum.
"Kamu pasti lapar. Aku akan siapkan makanan untukmu. Kamu belum makan sejak tadi," ucap Dea.
"Aku tidak lapar De," jawab Aline.
"Tapi kamu harus makan. Kakak tidak mau kamu sakit. Makanlah meskipun sedikit," ucap Adrian penuh perhatian. Aline pun mengangguk. Dia menurut pada kakaknya. Dea segera ke dapur mengambil bubur yang sudah dia buat sebelumnya saat Aline masih pingsan. Aline memakan bubur buatan Dea beberapa suapan.
"Sekarang tidurlah. Jangan khawatir lagi. Dea akan menemanimu tidur. Kakak akan tidur di sofa," ucap Adrian.
Aline hanya mengangguk kemudian segera membaringkan tubuhnya kembali diikuti oleh Dea. Adrian segera keluar dari kamar dan menutup pintunya. Dia juga segera merebahkan tubuhnya di sofa. Dia merasakan tubuhnya lelah sekali.
Di sebuah club, kondisi Rio juga sama buruknya. Dia melampiaskan rasa sakitnya dengan mabuk-mabukan. Mark dengan setia menemaninya. Dia tidak tega membiarkan Rio sendirian dalam kondisi seperti ini, karena sebelumnya Rio tidak pernah minum minuman keras. Rio mencurahkan semua masalahnya dengan Aline pada sahabatnya itu. Setelah meneguk beberapa gelas, akhirnya Rio sudah tidak sadarkan diri. Mark membawa Rio pulang ke apartemennya.
...***...
Sinar matahari mulai menerobos masuk melalui jendela kamar Aline. Aline mengerjapkan matanya. Dia segera bangun dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di ruang tamu, Dea dan Adrian sedang mengobrol sambil menikmati teh hangat.
"Kak, aku tidak tega melihat kondisi Aline sekarang. Dia benar-benar terpuruk," ucap Dea dengan wajah sendunya. "Apa sebaiknya kita bawa Aline pergi dari sini, supaya dia tidak terus menerus mengingat kejadian itu. Aline membutuhkan suasana yang baru supaya bisa menenangkan diri."
"Kamu benar. Aline membutuhkan tempat baru yang tidak ada hubungannya dengan masa lalunya. Kalau Aline mau aku akan membawanya ke luar kota dan memberikan tempat tinggal yang baru, dengan harapan dia bisa memulai kehidupannya lagi dengan baik," sahut Adrian.
"Bagaimana kalau Aline ikut aku tinggal di Paris? Di sana kami akan tinggal bersama keluargaku. Selama ini Mommy dan Daddyku juga sayang sama Aline. Aline sudah kami anggap sebagai bagian dari keluarga kami. Mommyku adalah seorang dokter. Aku yakin Mommy bisa membantu menyembuhkan kondisi psikis Aline. Aku tidak tega meninggalkan Aline sendiri,Kak. Aline juga akan mendapatkan peluang yang lebih besar untuk mengembangkan bakat dan karirnya di bidang design selama di Paris." Dea mencoba menjelaskan pada Adrian.
Adrian mengangguk-anggukkan kepalanya memikirkan usul dari Dea. Apa yang disampaikan Dea ada benarnya juga. Tapi dia memberikan semua keputusan pada Aline.
Tak lama, pintu kamar terbuka dan keluarlah Aline yang sudah rapi dan bersih. Wajahnya terlihat lebih segar dan keadaannya sudah jauh lebih baik dari pada semalam. Dia berjalan mendekat ke arah Dea dan Adrian.
"Bagaimana keadaan kamu sekarang? Apa sudah lebih baik?" tanya Dea sambil tangannya menunjuk ke tempat duduk di sampingnya. Aline pun segera duduk.
"Aku sudah jauh lebih baik. Terima kasih." Aline menjawab sambil tersenyum. "Kakak tidak pulang ke rumah? Mama dan Papa pasti khawatir jika Kakak tidak pulang," ucapnya pada Adrian.
"Mereka tidak tahu jika aku sudah kembali dari Bali. Kakak sengaja tidak memberitahu mereka," jawab Adrian dengan wajah datarnya. "Sebaiknya kita sarapan dulu sekarang. Kamu harus makan, supaya tubuhmu bisa segera pulih." Adrian segera beranjak ke ruang makan diikuti oleh Dea dan Aline. Mereka pun sarapan bersama menyantap masakan yang sudah Dea pesan secara online sebelumnya.
Setelah selesai sarapan, mereka kembali ke ruang tamu. Karena saking penasarannya, Adrian pun memberanikan diri untuk bertanya pada Aline dengan hati-hati. Dia ingin mengetahui detail kejadian itu langsung dari Aline.
"Aline, bukan maksud Kakak ingin mengingatkanmu tentang kejadian semalam. Tapi aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi langsung darimu. Kakak harap kamu mau terbuka sama Kakak." Adrian menatap lekat wajah adiknya mengharapkan penjelasan Aline.
Aline menarik napasnya panjang. Sebenarnya dia tidak ingin mengingatnya lagi. Mungkin dengan menceritakannya pada Adrian dia berharap kakaknya akan percaya bahwa dia tidak menjual diri tapi dipaksa. Akhirnya dia menceritakan semuanya pada Adrian.
"Kemarin adalah hari terakhir aku bekerja di sana. Banyak tugas yang harus diselesaikan dan harus sedikit lembur. Aku mengirim pesan pada Papa aku akan datang sedikit terlambat di acara makan malam keluarga. Setelah pekerjaanku selesai, manager memanggilku dan memberikan gaji terakhirku. Akupun sudah diijinkan untuk pulang. Namun saat aku akan bersiap untuk pulang, aku mendapatkan perintah untuk mengantarkan pesanan tamu di kamar 1123, katanya itu tugas terakhirku, itu yang disampaikan Neny teman kerjaku. Dia bilang itu permintaan dari manager, tapi lupa menyampaikannya padaku saat aku ke ruangan beliau." Aline menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
"Aku mengantarkan pesanan itu. Sesampainya di depan kamar aku mengetuk pintu kamar beberapa kali tapi tidak ada jawaban, kemudian aku memberanikan diri membuka pintu itu yang ternyata tidak dikunci. Aku permisi untuk masuk, dan saat di dalam suasana kamar gelap. Kemudian ada sahutan dari dalam kamar, suara seorang pria yang menyuruhku meninggalkan pesanan tetap di atas troli dan membentak menyuruhku segera pergi dari sana. Saat aku akan keluar, aku mendengar dia mengerang seperti orang kesakitan. Aku khawatir jika dia sakit, aku kembali ke dalam dan menghampiri pria itu yang sedang terduduk di lantai. Saat aku akan menyalakan lampu dia melarangku. Dia semakin merintih membuatku tidak tega. Aku memberanikan diri menyentuh tubuhnya yang basah karena keringat, dan wajahnya panas. Dia terus menerus menolak ku sentuh dan memohon agar aku segera pergi dari sana, tapi aku mengabaikan ucapannya. Aku pikir dia deman karena badannya panas sekali, akhirnya aku membantunya berdiri dan memapahnya ke ranjang."
Mata Aline mulai berkaca-kaca tapi dia tetap melanjutkan ceritanya.
"Ti-tiba-tiba pria itu memelukku dan memaksa m*****mku. Dia memohon padaku dia bilang sudah tidak tahan lagi. Aku langsung memberontak, tapi tenaganya lebih besar dariku. Aku sudah memohon agar dia melepaskanku tapi dia menulikan telinganya. Kepalaku terasa pusing dan badanku seperti terbakar. Dia menjatuhkanku ke ranjang kemudian dia memaksa melakukannya padaku." Aline menangis tersedu-sedu. Dea langsung memeluknya.
"A-aku tidak tahu siapa pria itu. Saat dia pergi aku sedang tak sadarkan diri," ucap Aline yang masih terisak.
Adrian terdiam, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Dia memijit-mijit kepalanya yang terasa sedikit pening. Kemudian dia mencoba fokus kembali.
"Kalau dari ceritamu tadi, sepertinya pria itu sedang dalam pengaruh obat perangsang. Karena kamu tidak mencium bau alkohol kan di tubuh atau bajunya." Dea dan Aline membelalakkan matanya.
"Maksud Kakak, apa?" tanya Aline.
"Akan kakak jelaskan. Awalnya dia menyuruhmu segera pergi, padahal dia merasa kesakitan. Kakak yakin saat itu dia sedang menahan efek dari obat itu dan tidak ingin kamu mendekatinya, dia takut menjadi tidak terkendali. Dan ketika kamu menyentuh tubuhnya pasti dia semakin terbakar seperti orang demam, dan hasrat dalam tubuhnya mengalahkan akal sehatnya." Adrian mencoba menjelaskan apa yang ada dalam pikirannya.
TBC...
Jangan lupa tinggalkan comment, like, vote dan favorite.
Terima kasih🙏🤩
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Astri
yuhu the the best emang kamu dea
2024-08-30
0
Retno Palupi
Adrian kakak yg baik, meskipun g bisa melindungi aline dr adik dan ibunya
2024-03-10
0
D'
kakak yang pengertian
2022-03-23
1