Tidak ada aktifitas yang berarti di atas motor sepanjang menyusuri jalan raya menuju Pantai Kata, sesekali Dheo menoleh ke belakang, tapi Mima tidak sadar, entah apa yang ada di pikirannya. Dheo meraih tangan Mima untuk dibawa melingkar ke perutnya.
“Mima, kamu sakit?” Suara Dheo lembut saat menanyakannya.
Mima hanya menggeleng pelan.
“Telapak tangan kamu dingin, aku antar balik lagi, ya?”
“Ng, Enggak … Aku oke.”
Dheo melanjutkan laju sepeda motornya sampai tiba di café pinggir pantai kata. Dibawanya Mima menemui teman-temannya, gadis itu mengamati satu persatu teman-teman Dheo, sepertinya bukan anak MA yang satu sekolah dengan mereka. Mima kaget melihat bungkus-bungkus asing di atas meja tongkrongan itu.
“Ndehhh, iyo sabana rancak cewek ang, mah,” celetuk salah seorang dari mereka. (Duh, beneran cantik banget pacar Lo.)
“Sia namo, diak?” tanya yang lainnya (Siapa nama kamu, dik?)
Mima melambaikan tangan dan mengangguk sungkan, “Mima, Da,” jawabnya (Mima, Bang)
Dheo menggenggam tangan Mima lebih erat seperti ingin memberi perlindungan, lalu berpamitan dengan temannya, mereka memilih duduk di dekat batu-batu besar warna-warni di pinggir pantai.
Mata saling memandang ke depan, hamparan pasir putih yang mengkilat, pantulan purnama bagai sedang bercermin di pada riak air, dan kemerlap lampu sorot perahu nelayan sekitar.
“Em … Dhe, mereka tadi? Ngedrugs?” tanya Mima hati-hati.
Dheo mengangguk dan mengisyaratkan Mima untuk diam.
“Kamu engga dong?” Mima jadi curiga dengan Dheo, tapi lelaki itu berusaha mengalihkan pembicaraan. Bukannya menjawab pertanyaan Mima, Dheo malah menatap gadis itu lekat.
“Kenapa ngeliatin aku begitu?” Mima menutup wajah Dheo dengan telapak tangannya yang dingin. Dheo menangkap tangan itu dan meletakkan di dadanya.
Lama mereka berpandangan sambil mengikis jarak, wajah cantik Mima semakin memesona tersiram cahaya purnama, tanpa kesulitan yang berarti, Dheo mendaratkan satu kecupan di bibir kekasihnya.
Pertautan itu dilatari debur ombak yang begitu mendebarkan, kesyahduan tidak terelakkan, konon cinta para remaja adalah kehangatan yang baru bermula, mereka begitu terbakar dengan dinamika kecup-pagut yang tercipta, Dheo yang lebih dulu melepaskan pagutannya, lalu dia menyelipkan rambut Mima ke belakang telinga, Mima tersenyum malu dibuatnya.
Gugup setengah mati, meski ini bukan yang pertama kali, Mima takut, bisa saja Pak Fauzi muncul tiba-tiba di depan mereka, bagaimanapun dia masih mau berusaha remedial dan bisa kembali secepatnya.
“Kamu sering ke sini ya?” Untuk menyamarkan kegugupan, Mima mengedarkan pandangan ke hamparan pasir putih yang berkilauan.
Dheo menyugar rambutnya, jantungnya juga tidak baik-baik saja.
“Iya, pantai kata kerap menjadi tempat terbaik berkata-kata, hehe. Aku suka nulis di sini, bawa buku sama pena, nanti kalau ada uang jajan lebih baru aku ketik di warnet dan simpan di flashdisk,” ungkap Dheo.
“Keren banget, Dhe. Pantes aja di masa depan kamu itu jadi penulis terkenal dan banyak fansnya.”
“Ha? Gimana?” Dheo kaget mendengar penuturan Mima, setelah pernah meramal Dheo memenangkan lomba, hari ini Mima meramal masa depannya.
“Iya, di masa depan kamu memang penulis yang berbakat, banyak menerbitkan buku skala nasional.”
“Tunggu … tunggu, aku jadi merinding.” Dheo meraba telapak tangan hingga leher belakang, “kamu bisa meramal?”
“Haha, engga lah, kalau aku bilang aku adalah Mima dari masa depan, apa kamu percaya?”
Dheo merapatkan posisi duduknya, dia sungguh penasaran dengan ucapan Mima. Selain karena itu memang yang dia cita-citakan, menjadi penulis terkenal.
Lelaki itu melihat kaki Mima yang berselonjor di atas pasir pantai, dia mengangkat sebelah kaki Mima dan menjejakkannya lagi.
“Jejak kan?”
“Ha? Maksudnya? Kamu pikir aku kuntilanak? Giliran mau nyium aja gak takut kesurupan,” seloroh Mima.
“Terserah kamu mau bilang datang dari manapun, tapi aku engga bohong soal kecantikanmu yang memang tidak biasa. Mulai sekarang, kamu tentukan aja, dalam sehari aku boleh kangen sama kamu berapa kali? takut overdosis soalnya.”
“Haha, basi ah! Berarti … sejau ini kamu memandang aku karena kecantikan ini aja?”
Berati Mima yang dulu sungguh biasa aja?
“Engga gitu juga, jujur selama ini aku penasaran, tapi selama kelas sepuluh dan sebelas, kamu begitu tertutup, kan? siapa yang berani mendekati? Kamu perempuan yang pintar tanpa banyak bicara. Aku kaget beneran waktu kamu negur aku tempo hari.”
“Oh ya?” Mima senang mendengar ucapan Dheo, setidaknya nama Mima pernah melintas di pikiran Dheo walau sebentar.
“Iya, apa di masa depan kita masih sama-sama, ya?”
“Eum, bisa aja sih kalau kamu ngga berubah sampai nanti.” Mima serius saat mengucapkannya, dia tidak mau bilang ke Dheo kalau di masa depan Dheo adalah seorang suami dan ayah yang bahagia sedangkan dia jomblo yang masih mengembara.
“Ehe, tapi kita kan masih terlalu dini, masih banyak yang bisa kita raih, iya, kan?”
“Gimana kalau kita raihnya sama-sama?” pinta Mima.
“Meraih apa, Sayang?” Dheo mulai mengambil kesempatan lagi, sekarang dia beringsut duduk di depan Mima, telapak tangannya ditumpu ke batu tempat Mima bersandar, kepala dan pandangannya dia miringkan untuk mendapatkan angle yang pas.
*Dheo ini sebenarnya memang pintar atau hanya pintar-pintar? *
Mima memejamkan mata bersiap menerima apapun yang ingin Dheo lakukan ke atas dirinya. Mima begitu menikmati perasaan ini, rasa yang dulu hanya menjadi angan-angannya saja.
Tidak hanya bibir, tangan Dheo juga bebas menyentuh bagian-bagian yang bisa dijangkaunya. Mima sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menghindar, meskiupun dia merasa sangat geli dengan dirinya sendiri.
“Dhe, tetap seperti ini, dan jangan berubah, plis,” lirih Mima pelan di saat mereka hampir kehabisan nafas.
“Aku tidak tau harus menjanjikan apa," balas Dheo sambil mengatur nafasnya, lalu sekali lagi mengecup bibir Mima seolah belum hilang dahaga.
“Jangan cintai orang lain lagi.” Mima memaksa, didorongnya pelan tubuh Dheo untuk memastikan Dheo mau berjanji padanya, mungkin dia tidak ikhlas memberikan aktivitas tadi dengan sukarela.
“Kalau kamu tanya perasaanku sekarang, aku sangat mendambamu, rasanya aku ingin berjanji untuk memenuhi keinginanmu itu, tapi pasti terdengar bullshit karena keluar dari mulut lelaki yang belum punya apa-apa sepertiku.”
Mima terdiam, jelas kecewa dan khawatir kalau ini benar-benar hanya sementara.
“Tapi aku pengen bilang … Kalau di masa depan kamu tidak jadi milikku, percayalah itu bukan karena aku tidak mencintaimu, namun pasti karena Tuhan menjagamu dari sesuatu yang buruk.”
***
Pengumuman :
Episode berikutnya akan lanjut lagi kalau sudah tembus 300 like dan 200 komentar, Haha, sekian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Rizkha Nelvida
teringat kembali dosa dosa di masa lampau,,masih belum terlambat utk muhasabah diri,,makasih enka mengingatkan melalui tulisan 🙏ya Allah jagalah pergaulan anak anak kami dr jalan yg sesat,,tunjukilah mereka jalan yg lurus🤲
2022-04-23
2
Neng Euis
dheo itu type2 gimana yaa...buaya2 pantai lah
2021-11-02
1
Hanna Vao
☺️☺️
2021-10-03
0