Shaka masih terpingkal, pantas saja Mima marah dengannya, padahal dia sama sekali tidak bermaksud mempermainkan gadis itu, lagipula tadi dia sedang fokus memahami sesuatu yang tertulis di atas sebuah kertas lusuh.
Bukannya tidak ingin menyusul, tapi ada hal penting yang masih dia tulis, nanti saja dia akan menyusul setelah menyelesaikannya.
Sementara di dalam kamar, Mima mengubur rasa malunya dengan melakukan panggilan video bersama Dheo.
“Hai, Cantik. Makasih ya fotonya tadi. Kamu cantik banget deh, Mim? Pacarnya siapa, ya? Ini bukan rayuan, aku serius. Kamu ngga seperti anak sekolah, seperti artis ibu kota,” puji Dheo, membuat Mima tersipu. Belum ada yang berani memujinya sejujur Dheo barusan, atau Mima memang terlalu glowing untuk anak MA di tahun itu?
“Kamu lagi di mana? ramai.”
Ya, sekeliling Dheo memang sedang ramai dan bising.
“Di café deket pantai kata. Aku lagi cari inspirasi buat nulis. Kamu udah selesai bikin tugas?”
Mima menggeleng manja, begitu menggemaskan di mata Dheo.
“Mau aku jemput?”
“Tapi kan kamu lagi nulis?"
“Aku nulis untuk mengusir jenuh karena tadi kamu bilang mau ngerjain PR."
“Jauh lah dari pantai kata ke sini.”
“Ngga apa-apa, besok kan libur, aku jemput ya?”
“Boleh deh!”
“Asik!” seru Dheo sebelum memutuskan sambungan panggilan.
Bermalam minggu bukanlah kebiasaan Mima, selain tidak suka keramaian, juga karena Nenek tidak terlalu suka Mima keluar malam. Mima penasaran bagaimana rasanya menghabiskan waktu berakhir pekan bersama … pacar?
Akhirnya punya pacar yang diinginkan, terus begini ya, Dheo. Terus begini sampai di masa depan.
Bergumaman sambil memoles sedikit pelembab untuk bibirnya, tentu saja Mima memilih untuk tidak menggunakan jilbab, celana tidurnya dia ganti dengan jeans ketat yang robek di lutut, lalu tetap mengenakan kaos berwarna hitam yang tadi dia pakai, lalu meraih cardigan abu-abu sebagai outernya.
Tidak lupa menyemprot sekeliling tubuhnya dengan bodymist mahal, membuat dirinya tidak hanya wangi tapi lebih percaya diri.
***
Wangi dan lembut menyandra indra penciuman Shaka, padahal orangnya belum lagi terlihat, benar saja beberapa detik setelah itu, Mima berdiri di hadapannya.
“Eh, udah cantik aja. Sini deh!” Shaka menggeser tubuh agar Mima bisa duduk di sebelahnya.
“Aku mau pergi.”
Shaka melirik jam digital di ponselnya.
“Udah mau jam 9, Ay. Mau ke mana?”
“Malam mingguan sama pacar.”
Tadinya Shaka ingin marah, tapi ekspresi Mima di matanya justru tampak kasihan, seperti ingin mengatakan pada dunia bahwa dia tidak jomblo lagi sekarang.
“Oh, iya sini dulu sebelum pacarnya datang. Masih lama itu sih kayaknya.”
Mima duduk, Shaka menunjukkan tulisan di atas kertas usang tadi.
“Apaan?” katanya sambil mengamati tabel dan beberapa list tugas di dalamnya.
“Coba cek email kamu lagi deh, ini salinan tugas yang harus kamu selesaikan selama remedial, ngga banyak, kan?”
“Menutup aurat dengan benar, mendirikan shalat 5 waktu, berpuasa, membaca Al Qur’an, dan ... ikhlas," bacanya.
Hal yang sudah bilangan tahun dia tinggalkan bahkan hampir tidak pernah dia lakukan. Hidupnya melalang bebas, jiwanya benar-benar tidak terikat dengan aturan apapun. Mima mengendalikan ***** menggunakan kemudi akal yang tidak pernah puas.
“Udah bukan silabus Fiqih ini sih!” protesnya.
“Itu artinya, selesaikan misi ini,maka nilai kontekstual yang kamu khawatirkan itu pasti akan baik dengan sendirinya.”
“Kamu ngga pengen selamanya terjebak di masa ini, kan? bagaimanapun kamu harus pulang tepat waktu, menyambung kehidupan di masa depan.”
Tiba-tiba saja Mima jadi merindukan kehidupannya di Jakarta, kamar kontrakan yang nyaman, kesendirian di tengah riuh dan gaduhnya ibu kota, pekerjaan dan tentu saja ambisi Mima masih tertinggal di kota itu.
“Kapan aku bisa pulang?”
“Aku? Cuma pengen pulang sendiri? ngga pengen bareng aku?”
Ditatapnya mata Shaka sebentar, lesung di pipi Shaka selalu terlihat setiap kali sudut bibirnya ditarik.
“Kapan kita bisa pulang?” ulang Mima dengan manis.
“Harus secepatnya!” tegas Shaka.
“Kita sedang berada di misi kamu, sekarang, kamu yang harus berusaha, bukan aku. Tanda ceklis itu akan muncul dengan sendirinya kalau kamu sudah sungguh-sungguh mengerjakan misinya.”
Tadinya Mima pikir Shaka hanya mengada-ada, tapi benar saja saat dia mencoba mencoret lembar itu, pulpennya sama sekali tidak bisa menyala.
“Tapi aku sudah shalat tadi siang,” protesnya karena tidak bisa membubuhi tanda contreng di kolom ibadah shalat.
“Baca lagi tuntutan misinya!”
“Mendirikan shalat 5 waktu.”
“Tidak perlu aku jelaskan kan, apa bedanya mengerjakan dengan mendirikan shalat? tadi magrib dan isya shalat nggak?”
Mima diam memonyongkan bibirnya.
“Jadi gimana?” tanya Mima.
Shaka menaikkan kedua bahunya.
“Kamu harus sadar dan merasa butuh untuk mengerjakan misi ini. catat kata kuncinya, ya, BU-TUH! Sekali lagi, Remedial adalah misi kamu, bukan aku. Misiku hanya membuat kenangan indah untukmu, setelah itu mungkin aku akan lupa dengan hari ini, aku harus kembali, masa depan terlau indah untuk ditinggalkan terlalu lama. Kamu adalah masa depanku, aku tidak mau mengulur waktu pertemuan kita.”
Ucapan itu masih seperti omong kosong di pendengaran Mima.
“Emang aku yang sekarang lagi ngapain?”
“Tidur lah!, kamu ingat kan kejadian di hotel setelah kamu terima email itu?”
Mima berusaha keras mengingatnya, tapi dia tidak dapat mengingat apapun, yang dia tau malam itu dia frustasi dan sakit hati cukup parah karena realita mematahkan ekspektasinya yang terlalu tinggi.
Kepalanya tiba-tiba terasa sangat sakit saking kerasnya dia coba mengingat apa yang terjadi sebelum dia tiba di stasiun Padang beberapa waktu yang lalu.
“Ay, hidung kamu!” pekik Shaka.
Mima menyentuh pelan bagian yang terasa basah, hidungnya berdarah.
Tidak ada apapun di sekitar mereka yang bisa digunakan untuk menyeka darah, cepat-cepat Shaka menggunakan ujung lengan bajunya.
“Kamu mikirin apa?” Shaka makin panik.
Mima menggeleng pelan, tidak sadar sudah berpikir cukup keras, tidak tau juga kalau resikonya akan seperti ini.
“Aku seperti kehilangan potongan hidup tentang malam itu, yang bisa aku ingat hanya saat sudah tiba di stasiun, kenapa bisa begitu?” tanyanya dengan tubuh menegang, kepalanya terasa hampir tumbang.
“Cukup, jangan dipaksakan lagi,” ucap Shaka khawatir, meski dia tau ini efek yang sangat wajar, tapi setiap Mima terluka, Shaka lah yang merasakan pedihnya.
“Kepala aku sakit,” keluh Mima.
“Iya aku tau rasanya, sebentar aku ambilkan obat jeruk kamu.”
“Iya, tolong sekalian digerus,ya?” pinta Mima.
Nyala purnama semakin indah dan sempurna dari balik jendela kayu, dapur rumah Mima. Ditemani sang jingga, Shaka penuh rasa khawatir, menggerus tablet jeruk di atas sendok obat, lalu meneteskan beberapa tetes air untuk mencairkan tablet itu, Ditutupnya jendela kayu dan hati-hati membawa sendok yang berisi puyer jeruk lengkap dengan segelas air putih untuk tuan Putrinya.
"Ay, abis minum obat ini kamu langsung masuk aja, biar aku yang kerjakan tugas Kimianya," ucap Shaka sambil tetap konsentrasi membawa puyer itu untuk Mima di teras.
Tapi sayangnya orang yang dia ajak bicara sudah tidak di sana, masih bisa Shaka saksikan siluet tubuh Mima hilang bersama sepeda motor yang memboncengnya. Kertas usang misi Mima tergeletak tak berarti di lantai papan teras rumah.
"Bahkan di alam lintas dimensi ini pun setan masih punya kesempatan membuat semuanya terbengkalai," lirih Shaka.
"Kamu yang luka, kenapa harus aku yang ngerasain pedihnya, Tuan Putri?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Siela Roslina
knpa dsni kamu manis banget sih shaka 😍
2022-08-25
2
Siela Roslina
smoga mima memang untuk shaka 🥺
2022-08-25
0
Ira arif
aku ikut pedih...ish...
2022-07-26
1