Dua manusia datang dari masa yang berbeda, kembali pada waktu di mana mereka harus melewati ujian masing-masing, keduanya sama bertanya, apa yang sebenarnya sedang mereka alami, hanya saja salah satu dari mereka bisa dengan mudah menerima, sedangkan satunya lagi masih terus mencacah dengan ketajaman logika.
Dengan penuh rasa percaya diri, Mima mengenakan pakaian sekolah yang sudah sedikit singkat di tubuh tingginya, memakai jilbab kain renda, dengan lipat kiri dan kanan kepala, ciri khas anak madrasah, dia tidak punya banyak pilihan jilbab, apalagi yang berwarna putih. Mima adalah hitam yang tidak mudah tercampur dengan warna lain.
Gadis berkulit kuning langsat menuju dapur untuk melahap sarapan yang tadi Tek Na antar, Shaka sudah berada di sana juga dengan seragam sekolahnya. Tadinya Mima ingin marah karena kesal tapi tiba-tiba merasa geli melihat kondektur gagah perkasa harus menjadi anak madrasah.
“Cantik juga kamu, Ay,” puji Shaka sambil memakan ketan bersama pisang goreng.
“Jilbab lepek begini?” Mima memegang pinggiran jilbabnya, kemudian ikut duduk di depan Shaka.
Shaka memperhatikan Mima makan sambil sesekali menarik jilbabnya ke belakang.
“Licin ya jilbabnya?” tanya Shaka melihat helaian rambut Mima keluar.
Mima hanya mengangguk sambil menghabiskan makanannya.
“Kenapa pakai seragam sekolah?” tanya Mima menahan geli, “Nggak cocok!” tukasnya.
Shaka memperhatikan pakaiannya yang terasa pas-pas saja.
“Kondektur,” panggil Mima pelan.
Shaka menoleh, panggilan terpaksa, sama seperti saat mereka sedang di kereta.
“Kita sebenarnya lagi mimpi atau gimana sih?”
“Hem,” sahut Shaka sambil mengunyah ketannya.
“Kalau ini mimpi aku harus tertidur berapa lama?”
“Semakin kamu cari tau ya akan semakin lama,” ingat Shaka.
"Lalu Mima yang sekarang mana?"
"Mima kan sudah melampaui masa ini, perjalanan ini ada beberapa efek samping, mungkin dua atua tiga hari lagi akan kita rasakan sama-sama."
"Terus kenapa cuma Mima yang engga ada? semua orang di masa ini juga sudah melampauinya kan?"
"Iya, betul, tapi semua orang itu tidak punya kesempatan kembali seperti kamu, makannya energi mereka masih tertinggal pada wujud masing-masing, mereka sudah pada waktunya masing-masing, cuma Mima yang harus kembali ke sini."
"Dan, kalau kamu memang ada di masa depanku, kapan kita ketemu? di mana?"
"Aku ngga tau persis, tapi pokoknya kita akan ketemu di perjalanan yang sangat kamu nantikan. Kamu harus selesai tepat waktu loh ya, biar kita bisa ketemu nanti, kenalan."
Tapi sayangnya aku engga mau ketemu sama kamu, Kondektur ghaib, apalaig sampai menikah. Aku cuma mau jadi istri Dheo di masa depan.
Kemudian suasana hening sampai sarapan pagi habis, mereka bersiap menuju ke madrasah.
Shaka menunggu Mima mengeluarkan sepeda ke halaman, hanya satu sepeda.
“Sepedanya Cuma satu, ini punya aku, jadi kamu jalan kaki aja.” Mima menyingsing rok panjangnya sampai ke betis, lalu mengayuh pedal meninggalkan Shaka.
“Ay, bentar!” panggil Shaka, kemudian berjalan menyusul Mima yang berhenti dan menurunkan kakinya.
“Kamu nggak punya ****** ***** ?” mata Shaka memperhatikan betis Mima yang tersingkap.
Mima reflek menurunkan kedua kakinya ke tanah dan menatap Shaka, dia tentu memakai ****** *****, apa maksud lelaki ini?
“Em, itu maksud aku celana lapisan yang panjang, legging, bukan panty.”
Mima masih menyoroti Shaka dengan tatapan tidak suka.
“Ay, itu pas sepeda kamu jalan, rokmu tersingkap tinggi banget, betisnya jadi keliatan, malahan sedikit lagi keliatan em, itu …”
“Itu karena kamu memperhatikan ke situ!”
“Astagfirullah, iya maaf pagi-pagi aku malah liat itu, tapi sih jujur, aku seger liatnya, kamu gapapa menyegarkan mata yang lain juga?”
Kini tatapan Mima malu setengah marah, tapi Shaka tidak pduli, tetap ingin Mima masuk kembali ke rumah dan memakai celana yang lebih panjang.
“Pakai yang lebih panjang, ya?” pintanya.
Mima memutar stang sepeda dan menekan pedal dengan keras karena kesal dengan ucapan Shaka, tapi dia juga tidak mau orang menikmati pemandangan gratis itu.
Selama ini dia tidak terlalu memperhatikan hal-hal semacam itu, Mima senang memakai pakaian terbuka, baginya itu adalah bentuk kebebasan berpakaian, hak seorang wanita. tapi ternyata dia cukup kesal ketika mendengar pengakuan langsung, kalau lelaki bisa segar melihat pemandangan suka rela itu.
Shaka berjalan menyandang ranselnya di sebelah pundak, langkahnya pendek-pendek dan sesekali masih melihat Mima di belakang.
Saat dilihatnya sepeda Mima sudah mendekat, dia tersenyum dan menatap ke depan, sepeda Mima terus melaju melampaui langkah Shaka tanpa menyapa apalagi mempedulikan Shaka yang berjalan perlahan sambil menunggu dirinya.
“Cie didengerin nih saran Aku?” ucap Shaka seorang diri setelah sepeda Mima melaju jauh di depannya dengan betis yang sudah tertutup celana hitam,
***
MAN Padusunan – Pariaman
Tidak ada yang aneh, kecuali orang-orang melihat Mima dengan pakaian kekecilan, Mima memberanikan diri masuk ke ruangan majelis guru untuk bertemu guru Fiqihnya.
“Manga, Piak?” tanya Pak Fauzi dengan suara lembutnya.
“Em, Pak. Saya mau remedial nilai Fiqih,” terang Mima spontan.
Pak Fauzi menurunkan kacamata sampai ke batang hidung dan menatap aneh ke arah Mima. Tatapan yang paling membuat Mima kesal.
“Kita bahkan belum memulai materi, kamu sudah mau remedial? Remedial yang mana?”
Mima lupa, sekarang dalah tanggal di mana mereka baru memulai tahun ajaran baru.
“Pelajaran belum dimulai, dari mana kamu tau kalau saya yang akan menjadi guru Fiqih kelas dua belas?” tanya Pak Fauzi lagi.
Mima jadi kebingungan.
“Maksud saya, kalau nanti nilai saya buruk, saya mau langsung daftar remedial, Pak.”
“Begitu?”
Mima mengangguk malas.
“Saya rasa kalau soal nilai akademik, kamu tidak perlu diragukan, tapi selama belajar dengan saya, yang harus kamu ingat adalah pengamalan dari apa yang kita pelajari.”
Mima sudah tau setelah ini Pak Fauzi akan mengatakan apa.
“Karena amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan sedangkan ilmu yang tidak diamalkan adalah…?” cebik Mima dalam hatinya, dan benar saja Pak Fauzi menyebutkan redaksi yang sama.
“Iya tau, Pak,” jawab Mima ketus.
“Bagus! Kalau kamu tau aturan main saat belajar dengan saya, ya pasti tidak ada yang perlu diremedial, Nak. Masuk lah ke kelasmu, itu rambutmu keluar-keluar!”
Mima keluar dari ruangan guru dan terpana melihat segerombolan siswa lelaki sedang berjalan sambil tertawa, salah satunya adalah wajah yang tidak bisa dia lupa.
“Dheo,” lirihnya.
Mima ingat kesalahannya dulu adalah terlalu lama berdiam, Mima merasa Dheo tidak meliriknya karena dia tidak pernah menunjukkan ketertarikan, sekarang Mima tau apa yang harus dia lakukan.
“Dheo!” panggilnya.
Tidak hanya Dheo, teman-temannya juga berhenti untuk melihat Mima, Dheo tampak bicara pada teman-temannya kemudian gerombolan itu meninggalkan Dheo sendirian. Dheo menghampiri Mima.
“Manggil aku?” tanya Dheo tidak percaya.
Sejak kelas sepuluh Mima dan Dheo adalah teman sekelas, ini kali pertama Dheo mendengar Mima memanggil namanya.
Mima mengangguk, “Iya, kamu … apa kabar?” tanya Mima dengan mata berbinar saat berdiri berhadapan dengan laki-laki yang memenangkan banyak lomba debat mewakili sekolah.
“Kabar? Ya … ya kabar baik,” jawab Dheo aneh.
“Syukurlah,” balas Mima. Mima memang manusia yang paling sulit berbasa-basi.
“Kamu Mima Ayumna ‘kan?” tanya Dheo tak percaya, mungkin karena melihat wanita ini dengan bentuk yang lebih tinggi, segar dan lebih cantik.
Mima mengangguk cepat, penampilannya yang tidak seudik dulu, membuat Dheo mau berlama-lama bicara dengannya.
“Kita masih sekelas ‘kan?” tanya Dheo lagi, lelaki ini memang sangat pintar berkomunikasi.
Mima lagi-lagi hanya mengangguk girang.
“Oh, ngapain di situ? Ke kelas, yuk!” ajak Dheo.
Mata Mima membola tak percaya, berbinar-binar dan tentu saja berbedar.
“Ay!” Tiba-tiba suara seseorang memanggilnya dari kejauhan, Mima kenal suara itu. Dia menghembuskan nafas dari mulut, karena benar saja suara itu panggilan dari Eshaka.
Shaka setengah berlari menghampiri Mima yang sedang berbunga-bunga.
“Hehe, temenin aku ke perpus dong, aku mau tunjukin ke kamu buku yang harus kamu baca sebelum mata pelajaran Fiqih siang ini,” ajak Shaka antusias.
“Kamu?” tanya Dheo kepada Shaka, karena mereka baru pertama kali bertemu.
“Hay, kenalin! Nama Aku Ahsan Eshaka, baru pindah dari Jakarta, ekhem, orang spesial pokoknya buat Mima,” ucap Shaka penuh percaya diri.
Dialek dan bahasa yang Shaka gunakan memang kental siswa kota-kota besar.
“Oh, kalian lanjut deh, aku ke kelas duluan.” Dheo berlalu dari kedua manusia itu.
Mima menatap tajam dan marah kepada Shaka, lelaki itu sudah menggagalkan rencananya yang belum lagi bermula.
“Mau Lo apa sih!?” bentak Mima kesal.
“Ke perpustakaan, Ay. Kok kamu marah?”
“Pergi aja Lo sendirian!” Mima benar-benar meninggalkan Shaka dengan kemarahan.
Seperti biasa yang ditinggalkan hanya tersenyum misterius dan belum berputus asa.
********
Hallo, semua ... aku baca komentar kalian, katanya banyak yang masih bingung ya Sama ceritatnya.
novel inj berbeda dari tema novel sebelumnya, ya. Genrenya aja supratural loh. jadi pasti akan banyak hal-hal diluar nalar novel biasa, hehe.
ini termasuk fantasi juga, jadi jangan disamain dengan novel²ku sebelumnya, karena genrenya memang berbeda.
semoga bisa menikmati cerita ini ya 🌟
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Rosida maghrib
justru aku penasaran sama alur ceritanya unik thor
2024-09-03
0
Siela Roslina
next kak
2023-11-01
0
AsYanti
Daebak Enka .... imajinasimu untuk buat novel genre ini.... walaupun lompat-lompat tapi cukup dipahami
2023-08-12
0