Mima berulang kali merefresh laman yang menayangkan hasil scan daftar nama peserta yang lolos, berulang kali pula mengusal matanya dan kembali memeriksa satu persatu nama yang ada di daftar, fokusnya dipertajam saat tiba pada deretan huruf M, mencari nama Mima Ayumna Lenkara yang ternyata tidak menjadi salah satu dari ratusan nama.
“Kok?” gumamnya khawatir.
Bersama daftar nama itu terlampir sebuah surat pemberitahuan yang menegaskan bahwa penerimaan beasiswa atas nama dirinya ditunda beserta satu alasan yang tidak pernah dia sangka
“Ini apa sih? ditunda?” Mima merasa keheranan, yang dia tau hanya dua kemungkinan diterima atau ditolak, kenapa ada status ditunda?
Yang menjadi alasan penundaan penerimaan ini adalah nilai C diantara ratusan nilai A di daftar nilai yang terlampir pada Salinan transkip nilai ijazah SMA hingga sarjana.
“Shit! Nilai Fiqih?” umpat Mima.
Mata pelajaran yang tidak pernah dia perhitungkan sejak MA, nilai C yang dia dapat, bukan karena Mima payah tentang pengetahuan hukum dasar islam, tapi karena guru yang mengajarnya mata pelajaran itu menilai Mima tidak pernah menerapkan apa yang dia pelajari di dalam kehidupan nyata.
“Kenapa kamu engga shalat, Mima?” tanya Pak Fauzi, guru paruh baya yang mengajar mata pelajaran Fiqih pada suatu waktu saat mendapati Mima tidak ikut shalat zuhur bersama teman-temannya yang lain.
“Tadi saya laper banget, Pak, pas selesai makan shalat zuhurnya udah mau selesai!” jawab Mima asal.
Itu bukan yang pertama, Pak Fauzi juga sering mendapati Mima tidak menggunakan jilbabnya saat pulang sekolah.
“Maaf, Nak. Bapak tidak bisa kasi nilai A seperti guru lain, sebagai guru yang mengajarkan hukum ibadah dalam agama kita, Bapak bertanggungjawab kalau memberi nilai A padahal kamu tidak pernah menerapkannya. Kamu tau hukum shalat, kamu hafal hukum menutup aurat, tapi kamu jelas-jelas melanggarnya," ucap Pak Fauzi dengan bahasa minang yang sangat kental.
Ini adalah kalimat Pak Fauzi lainnya yang masih Mima ingat.
“Kamu anak yang pintar, Mima, sayang sekali kalau ilmu yang kamu kuasai tidak kamu terapkan, amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan, tapi ilmu yang tidak diamalkan apa namanya, Mima?” tutur guru paruh baya itu di lain waktu.
Mima juga masih ingat jelas ketika dia bersungut kesal pada Pak Fauzi, meski semua guru kagum dengan prestasi akademik Mima, Pak Fauzi tidak sungkan memberikan nilai C untuk kedua semester Mima saat kelas dua belas.
“Mungkin nilai Fiqih tidak terlalu penting bagi kamu, maka tidak ada yang perlu diremedial. Itu adalah kenang-kenangan dari saya. Jika suatu saat kamu melihatnya, semoga saat itu ilmu Fiqihmu sudah diterapkan.”
Kalimat terakhir Pak Fauzi setelah ujian akhir sekolah.
***
Mima adalah salah satu siswa berprestasi di Madrasah Aliyah Negeri Padusunan yang terletak di kota Pariaman provinsi Sumatera Barat.
Di tanah itu Mima kecil tinggal bersama sang Nenek, kedua orang tua Mima meninggal dunia dalam salah satu bencana alam di negeri itu. Nenek Mima adalah seorang tunarungu, hal itu yang menjadikan Mima tumbuh menjadi gadis yang tidak banyak bicara, dia tidak pintar berkata-kata, diam dan selalu mengasingkan diri.
Mima pintar dalam semua mata pelajaran, tapi sangat lemah bersosial, dia sama sekali tidak memiliki teman dekat, yang menjadi temannya sehari-hari adalah sang nenek yang mengurusnya, mengajarinya banyak hal walau tidak dengan kata-kata.
Saat Mima naik ke kelas dua belas, Nenek meninggal dunia, kesedihan dan keterpurukan Mima bertambah. Dia tinggal seorang diri di rumah sederhana peninggalan neneknya. Semakin jadi gadis sepi lah dia, sehingga saat lulus sekolah Mima memutuskan untuk merantau ke Jakarta.
Dengan modal nilai akademik dan pengetahuannya, Mima berhasil menjadi salah satu penerima beasiswa berprestasi Universitas Indonesia, momen itu menyeretnya ke dalam hiruk pikuk kota Jakarta tahun 2014.
Menjadi salah satu mahasiswa pada program studi Ilmu Filsafat, Mima semakin menggilai hal-hal berbau filsafat ketuhanan dan eksistensialisme.
Kesehariannya merasionalkan sesuatu justru membuat kepribadiannya semakin menyukai kesendirian. Kamar kosnya yang sempit bisa menjadi sangat luas saat sedang dia gunakan untuk megkaji tugas-tugas agama dan filsafat.
Segala sesuatu dia ukur dengan logika, termasuk cara beragama. Mima dilahirkan sebagai seorang muslim, sekolah di madrasah sejak tingkat dasar, dia tau tekhnik beribadah dengan benar tapi sayangnya sampai sekarang dia belum menerapkan pengetahuan itu, dia justru tertantang dan terus haus untuk mencari tau seluk beluk ketuhanan sampai ke dasarnya.
Kehausan yang hanya akan membuatnya semakin kekeringan.
“Jadi Gue harus apa?” tanyanya frustasi.
Mima menggigit bibirnya, dia sudah merelakan separuh gaji part timenya sebagai tenaga administrasi di kampus untuk membayar kamar hotel ini.
Lama, Mima merefresh lagi layar di hadapannya, memikirkan jalur lain untuk lolos. Sebuah pesan dari Dheo masuk.
Mim, aku yang ke sana atau kamu yang ke sini?
Mima bingung apa yang nanti akan dia katakan pada Dheo setelah kegagalannya malam ini.
“Ralat, bukan kegagalan, tapi penundaan!” ucapnya menghibur diri sendiri.
Selang beberapa detik, sebuah pemberitahuan menyusul masuk, Mima berharap email itu dari pihak penyelenggara yang mengirim revisi pengumuman.
“Kode apa ini?” tanya Mima saat melihat alamat pengirim yang bertuliskan rangkaian huruf dan angka yang tidak bisa dia baca.
“Kamu disarankan untuk kembali ke MAN Padusunan dan melakukan remedial untuk mata pelajaran Fiqih. Bersama ini kami kirimkan tiket kereta api yang akan berangkat besok sebelum matahari condong ke arah barat.” Mima membaca surat itu dengan suara keras.
Lama Mima mencerna ini surat yang tidak masuk akal itu, logika dan rasionalitasnya menolak percaya.
“Omong kosong apa ini?”
Mima mencari tau kode-kode yang dia yakini berasal dari pihak yang ingin memanfaatkannya atau penipu-penipu iseng, tidak satupun fakta dia temukan, tapi tiket kereta api itu valid dan sesuai jadwal yang tertera.
“Kalaupun pulang kenapa harus naik kereta api? Kan bisa langsung naik bus aja dari bandara?”
Ada bisikan kecil di hatinya, kecil tapi mengalahkan logikanya sangat keras itu, hingga akhirnya Mima mengkonfirmasi bahwa dia akan berangkat besok, tapi sayangnya email itu tidak berhasil terkirim.
“Sial!” umpatnya kesal karena merasa dipermainkan.
Demi memuaskan logikanya tentang email tidak jelas ini, Mima mereservasi penerbangan paling pagi agar bisa mengejar kereta dari stasiun kota Padang tepat pada jam yang ditentukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Se_rHa🍁
disini awal semua nya Mima yg Ambis dan akhirnya bikin Dy sadar dan mengubah hidup nya
2024-08-14
1
Siela Roslina
next kak
2023-11-01
0
Nur Yuliastuti
sehat sll dan sukses sll tuk author 🤗
2022-10-15
1