Langkah Mima gontai menyusuri parkiran sepeda, ucapan Pak Fauzi tadi berhasil masuk ke pikirannya. Benar juga sih, tapi dia bisa apa? ketika orang yang sejak dulu dia suka baru bisa dia dekati ketika sudah berbeda dimensi, sepertinya si keras kepala tidak akan berhenti sampai di situ saja.
Setelah tiba di parkiran yang beratapkan kanopi usang, Mima baru ingat dia tidak membawa sepeda. Gadis itu menghela nafas seberat pikirannya.
“Kamu di sini rupanya!” Itu suara Dheo, mengagetkannya saat Mima berbalik arah.
“Kamu,” seru Mima gugup, kalau bertemu Dheo pastilah Dheo memaksa mengantarkannya pulang, sementara shock pasca disindir Pak Fauzi belum lagi hilang.
“Kenapa ke sini? Kan ngga bawa sepeda.”
“Iya, lupa.”
“Mikirin apa sih, Gadih?” Dheo menepuk lembut kepala Mima, “tunggu di sini, aku ambil motor, ya.” Motor dengan knalpot racing yang selalu dia banggakan.
Mima memastikan di kiri dan kanannya tidak ada Pak Fauzi atau sejenisnya, baru dia mengangguk pelan, tidak mungkin juga dia pulang jalan kaki.
“Aku tunggu di halte belakang aja.” Tentu dia tidak seberani itu untuk boncengan di halaman sekolah.
***
Dheo kaget saat berhenti di depan halte yang cukup jauh dari gedung sekolah itu, karena dia melihat Mima gadis cantik berambut pendek berdiri menyampirkan jilbab kaos yang terlipat rapi di lengan kanannya.
“Mim?” kata Dheo, masih bingung melihat gadis itu langsung naik ke boncengan belakang.
“Kamu dengar kan tadi Pak Fauzi bilang malu sama tudung di kepala? Ya … jujur emang malu banget, so sekarang biar nggak malu, kerudungnya udah aku lepas, ayo jalan!” perintah Mima, telapak tangannya menepuk pundak Dheo sambil melingkarkan lengan seperti biasa.
Dheo masih bingung, tapi semakin terpana mencuri pandang pada gadis cantik dari cermin sepeda motornya, Mima masih menyisir rambut pendek dengan jari-jarinya.
“Kenapa liatin aku?” Dilihatnya Dheo masih melirik dari kaca.
“Cantik banget,” puji Dheo terpana.
Kamu baru tau?
***
Pintu rumah Mima terbuka, dia tersenyum lega, berarti Shaka sudah sembuh dari sakitnya, benar saja laki-laki itu sedang menikmati makan siang di meja.
Makanan di mulut Shaka tersendat di kerongkongan saat melihat Mima pulang sudah tanpa kerudungnya, dengan santainya gadis itu menarik kursi dan duduk di depan Shaka.
“Udah sehat, ya?” tanyanya.
“Ay, kamu abis dari mana?”
“Dari sekolah lah,” jawabnya santai.
“Santai banget jawabnya, kerudung kamu mana?”
“Dalam tas,” tukasnya, “Kamu udah sehat, Mas Shaka?” Mima menekan kalimat tanyanya.
Kepala Shaka semakin sakit melihat penampilan Mima, Mima menceritakan alasan dia membuka kerudungnya di jalan, tentang pulang bersama Dheo, juga tentang kalimat sindiran Pak Fauzi di depan kelas.
“Astagfirullah, kalau begini ceritanya aku engga yakin kamu bisa perbaikan nilai sama beliau,” omel Shaka.
“Dia kok yang bilang, berduaan di jalanan itu nggak pantas, malu sama tudung di kepala!” ulang Mima meniru kalimat yang Pak Fauzi ucapkan.
“Kelakuannya yang ditinggal, Ay. Bukan malah kerudungnya, itu kain salah apa?”
“Aku tau, Shaka, tapi syukur tadi enggak ketahuan kok. Mulai besok aku lebih hati-hati, biar semuanya cepat berakhir. Doain, ya.”
“Engga!” tegas Shaka.
“Kamu cemburu atau gimana?” Wajah Mima benar-benar polos saat bertanya.
“Bukan soal cemburu, Ayumna. Kenapa harus cemburu juga? biarin aja jodohku sekarang dijagain sama pacarnya, di masa depan aku tinggal terima bersih aja.” Itulah Shaka, tidak pernah kehabisan kata untuk menjawab tanya Mima.
“Heh!?” Mima menaikkan alis dan bibirnya.
Ditinggalkannya Shaka sendirian di meja, lalu masuk dan membanting pintu kamar cukup keras, kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, otaknya terus berpikir untuk bisa remedial masa depan.
Semangatnya semakin terpacu saat membalas sms dari Dheo yang selalu memberinya kabar, Mima tidak sabar menunggu pengumuman besok, kemenangan Dheo dan … kabar baik hubungan mereka.
Jadian!
...***...
“Hati-hati!” pekik Shaka saat melihat jilbab Mima berkibar karena lajunya gadis mengayuh sepeda, rambut Shaka yang basah bahkan merasakan semriwing angin dari kecepatan sepeda Mima.
Shaka ikhlas saja, sepanjang pagi berjalan kaki di belakang Mima yang sudah jauh mengayuh. Lebih baik begitu dari pada melihat Dheo menjemput dengan motor racingnya, kemana Dheo hari ini?
Bukan tentang cemburu atau perasaan menyedihkan lainnya, dia sudah banyak berkorban untuk bisa datang ke sini. Seperti halnya Mima, Shaka juga punya tujuan.
Di masa depan, dia adalah lelaki yang menyesal karena menjadi hal yang paling tidak menyenangkan untuk Mima, itu yang menjadi alasan utama Shaka ingin memperbaiki semuanya, jika tidak bisa mengubah masa depan, setidaknya bisa mencipta kenangan.
“Tapi lihatlah, perihal mengubah memang bukan hal mudah.” Lelaki itu melanjutkan langkahnya sampai ke sekolah.
...***...
Sebagai siswa baru, Shaka tidak punya banyak teman dekat, terlebih dia sering menjadi tempat curhat Farhana saban waktu istirahat.
Kasihan, mau tidak mau harus meladeni Farha dengan ucapan-ucapan yang kadang tidak masuk akal. Siang ini misalnya, baru saja Shaka mau beranjak ke perpustakaan menemani Mima, Farha sudah duluan menarik tangannya.
Mima memberi kode anggukan pada Shaka untuk sama-sama keluar menuju pustaka, sebelum Farha menahan lengan lelaki itu.
“Eh mau ke mana sih?” cegah Farha.
“Ke pustaka, Far. Kamu mau ikut?” Mima yang menjawab.
“Kamu ini, Mim, tidak ada Dheo baru lah minta temani Shaka. Sana sendirian saja lah, aku mau bicara penting sama Shaka,” tutur Farha.
Mima memutar bola matanya, sejak kapan Farhana jadi sok manja begitu?
“Em, Far, tapi saya memang mau ke pustaka, ada yang mau saya cari.” Itu suara Shaka yang coba menghindar dari Farha.
“Aku sendirian aja!” cetus Mima, dia tidak ingin berlama-lama melihat rengekan Farha.
“Nah, itu Mima bisa sendirian dia.” Farha kegirangan.
Shaka pasrah, menatap nanar kepergian Mima.
“Ada apa sih, Far? Jangan berlebihan, nggak baik loh,” ucap Shaka mengingatkan, risih juga kalau Farha sudah gelendotan.
Perempuan ini sudah berapa kali meminta nomor ponsel Shaka tapi Shaka beralasan tidak punya benda canggih itu.
“Shaka, kamu kenapa sih manisnya ga manusiawi gitu?” Farha sungguh-sungguh saat mengucapkannya, memang itu yang terlihat di matanya saat pertama kali Shaka masuk ke kelas mereka.
“Gimana?” Shaka tersenyum GR juga ternyata.
“Dahlah, ndak kuat aku lihat.” Farha sampai menutup mata dengan tangannya.
“Kamu tau ndak tas yang bikin aku kepikiran satu pekan ini?” tanya Farha lagi.
Shaka menggeleng, peduli amat dengan koleksi tas si Farha.
"Gak tau."
“Tasekalipun kamu membalas perasaanku,hiks!” Wajah Farha meminta belas kasihan dari Shaka, tapi lelaki itu hanya memutar bola matanya. Benar-benar ini Farha, sudah membuat Shaka batal ke pustaka bersama Mima, ditambah lagi harus mendengar ocehan recehnya.
Ya Allah, begini amat ya jadi remaja tampan, kenapa gak pas-pasan aja wajahku, ya Allah.
Erangnya penuh percaya diri, sesekali merasa tampan mungkin tidak masalah, pikirnya.
Usia Shaka hanya terpaut satu tahun lebih tua dari Mima, 27 tahun, jokes Farha terlalu garing bagi Shaka, tapi dia berusaha membalasnya agar Farha tidak berharap banyak.
“Iya mau gimana lagi Far.” Shaka memasang wajah serius.
“Duh, gimana … gimana?” Respon Farha seolah bersiap-siap menerima gombalan Shaka.
“Kalau dipaksakan, kita itu ibarat Jakarta ke Pariaman, dekat di peta, jauh dari kenyataan.”
“Shaka!” teriak Farha masih dengan intonasi yang membuat Shaka mual.
***
Shaka terpaksa bersembunyi usai shalat zuhur demi bisa menikmati jam istirahat ke dua tanpa Farha. Makan mi ekonomi di kantin sekolah, berdua dengan Mima.
“Kamu masih haidh?” tanya Shaka pada Mima, karena sudah lebih dari satu pekan dia tidak pernah melihat Mima shalat.
Mima reflek menatap Shaka heran.
“Aku ngga haidh, kenapa?”
“Loh itu di buku presensi ada keterangan dari Pak Fauzi, yang di kasi keterangan tanggal itu biasanya jadwal haidh siswi di kelas kan?” Sebenarnya Shaka sudah tau itu hanya akal-akalan Mima, dia sengaja ingin tau alasan Mima yang sebenarnya.
Mata Mima membola tak percaya, Shaka dan Pak Fauzi benar-benar sama saja.
“Apaan sih! bukan urusan kamu, tau ngga?” Nada bicara Mima berubah kesal, padahal sejak tadi obrolan mereka sudah cukup santai.
“Aku Cuma nanya, Ay.” Shaka membela diri, tidak terima dimarahi Mima.
Ketegangan terjeda saat seseorang menghampiri meja mereka dengan begitu gembira, tapi kegembiraan itu hanya dibagi untuk Mima.
“Mima, aku menang!” Suara Dheo bersorak seolah tidak ada Shaka di antara mereka, dia sampai mengguncang pundak Mima.
Dheo dengan inisiatifnya sendiri berdiri meraih tangan Shaka.
“Hey, bro! selamat, selamat!” Giliran Shaka mengguncang-guncang tangan Dheo, tentu Dheo menatap aneh ke arahnya.
“Makasih!” kata Dheo berusaha melepas genggaman tangan Shaka.
Tapi lelaki itu justru memeluknya.
“Sekali lagi selamat, sekolah kita pasti bangga atas prestasi ini!” Shaka sampai menepuk-nepuk pundak Dheo.
Dheo risih dan berusaha melepas rengkuhan itu sambil menatap Shaka curiga.
Jangan-jangan dia …
“Ngga usah peluk-peluk juga, woi!” umpatnya.
“He, sorry … sorry!”
Dheo kembali menatap Mima.
“Mim, lihat!” Dheo mengulurkan tas kertas yang berisi hadiah.
“Selamat ya.” Mima berusaha tidak terlihat norak, padahal hatinya sedang bersorak, bukan untuk kemenangan Dheo, tapi untuk salah satu misinya.
“Kamu bantuin aku aktivasi pakai handphone baru ini, ya, yuk!”
Dheo menarik pergelangan tangan Mima agar keluar dari bangku kayu kantin yang panjang.
“Iya, iya … ayo, tapi lepas dulu, nggak enak dilihat yang lain.”
Shaka hampir saja membanting meja yang masih ada sisa setengah gelas jas jus oren pesanan Mima.
***
Sambil menunggu jam mata pelajaran terakhir di kelas, Mima membantu Dheo menyalakan ponsel hadiah itu untuk pertama kalinya.
Mima sudah asing dengan gawai berukuran 3.5 inchi, di masa itu mungkin benda ini memang sudah yang paling canggih. Tekhnologi berkembang sangat pesat ternyata.
“Ini sudah bisa kirim foto ke kamu kan?” tanya Dheo.
Dheo yang pintar di tahun ini ternyata cukup udik bagi Mima yang sudah akrab dengan tekhnologi mutakhir.
“Belum, kamu harus isi paketan dulu.”
“Oh oke, gampang lah!” seru Dheo, entah foto apa yang ingin dia kirimkan pada Mima.
“Selamat ya sekali lagi, kamu kenapa balik ke sekolah lagi?”
Biasanya siswa yang mengikuti kegiatan bisa langsung pulang ke rumah, mereka akan sangat diistimewakan apalagi jika membawa kemenangan.
Di Pariaman Dheo tinggal di kos-kosan, orang tuanya tinggal di kabupaten Pasaman, hampir empat jam dari kota Pariaman.
“Aku nggak sabar mau kasi tau kamu.” Mata Dheo berbinar mengucapkan itu.
“Kan aku udah tau,” jawab Mima.
“Iya, aku menang Mim. Kamu mau nggak jadi pacar aku? Kalau nggak mau nggak apa-apa, biar aku aja yang jadi pacar kamu, gimana?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Hurry Rohmaniyyah
aakkhhh..... ko aku mencium aroma kesedihan dr sini 😔
2022-09-12
1
Yuli Fitria
Maaf aku agak bingung yang ini wkwk Dheo jadi pacar Mima, tapi Mima bukan pacar Dheo gitu kalau Mima nggak mau. 😂😂
2022-08-11
0
Yuli Fitria
🤣🤣🤣 Kasiaan nya Farha
2022-08-11
0