Stasiun Kereta Api Simpang Haru – Padang
Mima belum percaya kenapa harus mengikuti suara hati ketimbang logika, suara yang membawa dia sampai di depan pintu stasiun dengan atap rumah gadang, tepat saat matahari condong ke arah barat.
“Kenapa juga musti naik kereta sih?” tanyanya lagi, karena dari bandara harusnya dia tinggal naik taksi online untuk bisa sampai ke rumah.
Perjalanan menuju stasiun justru semakin memperjauh jarak tempuh dan membuang banyak waktu.
Setengah berlari Mima melewati jalur pejalan kaki untuk segera naik ke kereta, di pintu masuk petugas membantunya memindai barcode tiket yang terlebih dahulu sudah dia cetak di loket.
Setelah memindai tiket, petugas pintu kereta menatap Mima lekat hingga Mima terkejut dan merasa tidak nyaman dengan ekspresinya.
“Kenapa, Pak?”
Petugas itu hanya menggeleng, mengayunkan tangan ke depan dan mempersilakan Mima masuk.
“Aneh!” tutur Mima pelan.
Mima melepas topi dan syalnya sebelum duduk di bangku hijau yang berhadapan, tapi penumpang sekelilingnya masih sepi, dia hanya sendiri diantara empat bangku kosong di sana.
“Syukurlah, semoga sampai nanti ngga ada yang ngisi!” celetuknya.
Mima bersandar pada empuknya bangku di gerbong penumpang kelas bisnis, menghalau sedikit penat dan kepala yang masih terasa berat, sampai sekarang belum ada yang mencurigakan, pikirnya. Semoga dia memang benar-benar diberi kesempatan remedial sehingga bisa lolos beasiswa idaman.
Loko diesel bergemuruh mulai merangkak di atas lintasan, Mima menarik nafas sedalam keinginannya untuk bisa segera memperbaiki nilai Fiqih itu.
***
Seperti tanpa rintangan, kereta mulai membelah jalan raya dan melintasi sungai-sungai kecil di kawasan pusat hingga pinggiran kota. Puas melewati jalan beraspal, perjalanan kereta pun mulai membelah kawasan hutan dan tepian bukit barisan. Lembabnya udara pegunungan kian terasa saat perjalanan dengan kereta memasuki kawasan luar kota. Di beberapa stasiun penghubung, laju kereta pun terhenti.
Mima cukup menikmati perjalananya, dia senang naik kereta, sejuk dan tenang menyaksikan pesona bumi sumatera barat yang sering ‘maimbau’ siapa saja anak rantau untuk sering pulang.
Sesekali memori Mima kembali pada kenangan bahagia saat nenek masih ada, pernah di akhir semester nenek mengajak Mima berlibur ke pantai padang dari Pariaman menggunakan kereta yang sama.
Ratusan hektar sawah di kaki-kaki bukit, sungai nan jernih serta gemericik air menjadi pemandangan yang sayang untuk dilewatkan, Riak permukaan danau serta sejumlah rumah-rumah masyarakat menampilkan potret yang tidak bisa ditemukan di moda transportasi lain.
Beberapa saat setelah melewati kawasan tersebut, kereta pun mulai memasuki Stasiun penghubung. Kondisi loko kembali berubah menarik gerbong seperti dalam kondisi jalur datar
Orang-orang di sekeliling Mima mulai turun bergantian meninggalkannya sendirian di gerbong penumpang warna hijau tua itu.
“Wah beneran sendirian nih, Gue?” gumamnya riang.
Pengumuman dari pengeras suara menginformasikan, bahwa saat ini kereta sedang berhenti di stasiun Pauh Kambar.
“Tinggal satu pemberhentian lagi," cicitnya seorang diri.
Suasana di dalam gerbong sempurna kosong,Tinggal Mima satu-satunya yang belum tiba.
Merasa teramat lelah, Mima melenakan sedikit kepala dan lehernya, melilit semua bagian syal di leher untuk dia jadikan tumpuan kepala, rasa kantuk menyergap, Mima memejamkan mata sejenak.
Hanya sejenak, kemudian Mima terbangun, gadis kurus dengan tungkai kaki yang panjang itu terperanjat saat membuka matanya.
“Sejak kapan dia berdiri di situ?” tanyanya
Seorang kondektur hitam manis berdiri di simpang bangku dan tersenyum padanya, Mima membaca papan nama yang ada di dada sebelah kiri, “Ahsan Eshaka”.
“Selamat sore, tiketnya, Bu?” ucap ramah kondektur itu.
Mima merogoh saku dan menyerahkan secarik kertas.
“Terimakasih,” ucap kondektur tersenyum sangat manis sambil memiringkan kepala, Mima hanya mengangguk dengan wajah ditekuk, orang yang pertama kali mengenal Mima akan mengira dia gadis yang angkuh.
“Lama juga kamu tidur,” ucap Shaka.
Mima melihat ke luar jendela, langit yang tadinya berwarna kuning sekarang sudah teduh kebiruan.
“Stasiun Kurai Taji sudah lewat satu jam yang lalu,” imbuh Shaka.
“Satu jam?” Mima menegakkan duduknya, biasanya jika sudah melewati stasiun Kurai Taji itu artinya stasiun Pariaman hanya tinggal tiga puluh menit saja.
“Ini lewat jalur mana? Biasanya setengah jam juga udah sampai di Pariaman,” protes Mima.
“Ditunggu aja, ya. Kalau sudah tiba pasti dikabari."
Mima menatap punggung Shaka meninggalkannya, Shaka berdiri di pintu kereta yang tidak jauh dari bangku Mima, hati Mima mulai tidak tenang.
Dia mengeluarkan telpon genggam dengan logo apple yang tergigit sedikit, tapi sayang tidak ada jaringan, sekuat tenaga kantuknya dia tahan, tapi kepala yang sakit sejak kemarin berangsur ringan.
Kondektur Shaka masih memperhatikan gerakan Mima dari jauh dan tidak berhenti tersenyum, bukan senyuman usil, bukan pula senyuman tidak sopan, hanya senyum manis dan mulai gemas melihat Mima yang resah tapi gengsi untuk bertanya.
Dua jam berlalu sejak Mima bangun, Mima sudah tidak tau mereka ada di mana sekarang, seluas mata memandang hanya hamparan sawah yang mulai menguning, pengumuman ketibaan tidak juga terdengar.
“Kondektur!” Akhirnya Mima memberanikan diri memanggil si lelaki hitam manis yang sejak tadi memperhatikannya.
Shaka menghampiri Mima, tidak hanya berdiri kali ini dia duduk di bangku sebelah Mima.
“Sebentar lagi kita tiba di stasiunmu,” ungkap Shaka.
“Aku Cuma mau ke Pariaman, kereta ini pasti salah jalur.” tukas Mima.
“Iya, kita akan ke Pariaman. Pariaman 2013, saat kamu kelas dua belas Aliyah,” tutur Shaka hati-hati!”
Mima berpikir keras, apa itu artinya dia sedang melintasi dimensi waktu? Apa mungkin sekonyol itu?
“Ini pasti kereta ghoib!” Mima berdiri, memegang kursinya dan menyapu seisi gerbong hijau yang sepi.
“Kamu siapa?” tanya Mima panik.
“Mima, duduk, sebentar lagi kereta berhenti, kamu bisa jatuh!” Shaka mengingatkan, tapi Mima malah berdiri menjauh karena takut.
“Tidak ada siapapun di sini, kamu bahkan tidak bisa mengandalkan logikamu, jadi ayo, duduk dulu!” Shaka mengulang perintahnya.
Mima duduk dan menatap Shaka curiga.
“Aku Ahsan Eshaka, suamimu dari masa depan,” ungkap Shaka dengan telapak tangan sebelah kanan memegang dadanya.
“Heh!” cibir Mima memiringkan mulutnya, terlalu jauh dari akal sehat.
“Sekarang tugasku adalah ikut bersamamu, ini perjalanan tidak biasa, keretamu sudah melintasi dimensi waktu, kamu beruntung punya kesempatan kembali ke Aliyah untuk remedial nilai Fiqih itu.”
Mima sejenak tertegun, kenapa Shaka bisa tau tujuan dia pulang adalah untuk sebuah prosedur remedial, apa dia termasuk agency yang mengirimkan email aneh tadi malam?
Peluit panjang kereta mengakhiri kalimat Shaka, Kereta berhenti sempurna, Mima belum bisa menerima kenyataan ini, logikanya merasa terbodohi, tapi suasana di luar jendela, sungguh kota Pariaman saat terakhir dia tinggalkan.
“Alhamdulillah, kita sudah sampai!”
Shaka menurunkan koper Mima dari bagasi cabin, kepala Mima mendongak mengikuti gerakan tubuh Shaka, diam memperhatikan gerak-geriknya, kalau dari garis dan kulit wajahnya ,Shaka sepertinya bukan orang tempatkan. Gadis itu memakai kembali Bowler hat, merapikan syal dan berdiri di belakang Shaka.
“Sini koper Gue!” pinta Mima ketus, Shaka menyerahkan koper hitam itu dan berjalan mendahului.
Melangkah tegap dan gagah lalu membuka tuas pintu kereta, kemudian ikut turun bersama Mima.
Mima termenung menggeret kopernya sehingga tidak sadar Shaka masih di belakang sampai mereka berada di depan stasiun kereta api Pariaman.
“Hey, ngapain Lo ngekorin Gue?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Titis Istikomah
yah KNPA ada cicit
2024-02-03
0
Siela Roslina
hai kondektur hitam manis🥺
2023-11-01
0
Cecacika
menembus dimensi waktu...., wowww kerennn😍
2022-12-19
0