Ingin rasanya Mima berteriak, minimal dari dalam hati. Harusnya dia sedang ber-euforia mendengar ucapan Dheo. Makhluk tunggal yang hidup di dalam taman sanubari, satu-satunya nama yang selalu dia awali dengan semoga.
Semoga Dheo menjadi masa depannya, semoga Dheo bangga dengan pencapaiannya, semoga Dheo berbelok hati dan melupakan istrinya.
Beberapa detik Mima menunggu efek dari kalimat manis itu, kata yang dia tunggu dengan kurun waktu yang tidak sebentar, Mima sudah melampaui beberapa tahun bahkan kembali ke sini untuk mendengarkan ajakan ini. Tapi enam puluk detik berlalu tanpa getar yang berarti.
Kalimat itu hanya masuk dari kuping kanan dan berlalu dari kuping kiri.
Hey, Mima, ayo dong seneng! Ini kan yang Lo tunggu, Dheo Dezola loh ini, cowo yang Lo bilang Soleh, pinter se Madrasah, lagi mendeklarasikan perasaanya, Dheo ngajakin pacaran woi! Misi remedial masa depan Lo ceklis satu nih!
"Mima?" Dheo menyadarkan lamunan Mima, tidak sabar menunggu jawaban yang akan menentukan hari ini tepat tanggal jadian mereka.
Sayangnya derap sepatu pantofel guru Kimia sudah tedengar, semua siswa berebut kembali ke bangku masing-masing, termasuk Shaka yang berjalan tepat di belakang gurunya, ternyata Shaka yang memanggil agar guru itu segera masuk ke kelas mereka, karena tidak ingin Dheo lebih lama lagi mengobrol begitu dekatnya dengan Mima.
Setelah duduk di bangku, Shaka menatap Dheo dengan tatapan bengis.
“Onde, Manga Ang ko?” (Kenapa Lo) tanya Dheo heran dan sedikit takut dengan tatapan Shaka.
***
Dua jam mata pelajaran Kimia berlalu, sedikit materi tentang senyawa benzene, sisanya mendengar sang guru menceritakan prestasi anak-anaknya di rumah.
“Duh, maaf, ya. Ibu jadi curhat.” Si Ibu menyengir sambil melirik jam di pergelangan tangannya.
“Lanjut, Bu!” teriak beberapa siswa serentak, mereka ini tipe siswa yang memang tidak suka belajar, sejak tadi pura-pura antusias mendengar Bu Guru membanggakan anaknya.
“Jamnya sudah lewat, Bu. Kita dikasi tugas aja di rumah,” celetuk Mima, dia tidak suka jika ada yang menggunakan jam pelajaran tidak untuk belajar, sejak dulu bagi Mima sungguh rugi rasanya kehilangan waktu untuk materi berharga.
“Wooooo!!!”
Terang saja ucapan Mima disoraki siswa sekelas, tapi dia tidak peduli.
“Nah, bener kamu, Mima! Anak pintar, yasudah.” Guru Kimia kembali ke mejanya dan membuka batas halaman LKS yang belum dikerjakan.
“Kalau begitu, kerjakan LKS kalian di rumah, dari halaman 5 sampai 20, ya, pekan depan kita koreski sama-sama!”
“Nyebelin banget Lo, Mim!” umpat Farha yang kesal, teman sebangkunya ini kepintarannya memang cukup menyusahkan ummat.
“Loh, kan bagus, Far, jadi pekan depan guru kita engga curhat tentang kehebatan anaknya lagi,” balas Mima.
“Bia se lah!" (biarkan saja lah)
Mima acuh, memilih menandai tugas di lembar kerja kimia miliknya.
Guru Kimia keluar kelas, diikuti para siswa yang membawa perlengkapan shalat mereka, ya, azan zuhur baru saja berlalu.
Seperti biasa, Mima memilih untuk tetap di bangku, dia tau Shaka juga masih di bangku memperhatikan gerakannya, sesekali sudut mata Mima memastikan apakah Shaka akan beranjak.
“Ka kamu ngga ke mushola?” Mima mengangkat wajahnya, Shaka masih betah menatapnya.
“Kamu masih haidh?” Shaka berdiri, duduk di bangku Farha.
“Kan aku udah bilang, bukan urusanmu.” Cuek, Mima melanjutkan pekerjaanya, kali ini pura-pura membaca materi Kimia tadi.
“Shalat yuk!” ajak Shaka lembut.
Mima menggeleng tanpa melihat ke arah Shaka.
Shaka menegakkan bahu, memiringkan badannya, menghadap Mima yang hadapannya tertuju ke buku yang sedang dibaca.
“Kenapa sih? coba sini cerita, kenapa berat banget buat shalat?”
Mima menggeleng malu.
“Aku yakin bukan karena malas.”
“Karena aku tidak bisa menghentikan lajunya otakku berpikir, bahkan saat shalat. Tubuhku shalat tapi pikiranku berkelana.”
Shaka tersenyum misterius mendengar alasan Mima. Memang, siapa yang bisa sepenuhnya tidak berpikir ketika shalat?
“Namanya juga latihan, Ay. Lama-lama juga terbiasa. Khusyu itu perlu latihan, tapi bukan berarti kalau ga khusyu lantas nggak mau shalat,” jelas Shaka.
“Lagian mending dong, shalat dengan pikiran berkelana, dari pada udah berkelana tapi ga shalat-shalat juga." Intonasinya diatur sedemikian rupa agar kalimat itu menghujam tepat ke hati Mima yang selalu kalah dengan logika.
Mata Mima membola, analogi Shaka sederhana, tapi bisa diterima akal sehatnya. Akhirnya gadis itu membuka ransel dan mengambil mukena putihnya.
“Nah ternyata bawa mukenah loh.”
Mima mengunci mulutnya dan mengabaikan ucapan Shaka, mereka sama-sama menuju musala, Shaka di depan, Mima di belakangnya.
Mima sengaja berjalan lambat sehingga langkah Shaka jauh di depannya, Shaka sampai berbalik ke belakang, dipikirnya Mima berubah pikiran, gadis itu tampak memperhatikan kanan dan kiri seperti mencari sesuatu.
“Nyariin apa?” tanya Shaka berjalan mundur menghampiri Mima.
“Pak Fauzi,” jawab Mima ketus.
“Loh?”
“Iya dong, nanti aku udah cape-cape shalat tapi dia ngga liat, kan sama aja.”
Shaka terkejut, tapi beristighfar dalam hati saja, Mima sudah mau berangkat ke mushola baginya sudah sebuah kemajuan yang berarti.
“Ayumna, meski pak Fauzi engga ada, tapi Tuhannya Pak Fauzi Maha Melihat, Dia tau kamu mau shalat, Mim.”
Meski meyakini kebenaran di dalam kalimat Shaka, Mima tetap saja tidak suka, dia tetap ingin Pak Fauzi melihat usahanya ini. Mima berjalan mendahului Shaka, saat tiba di musala, jamaah shalat zuhur sudah duduk tahyat akhir, Mima sengaja menunggu semuanya selesai dan shalat sendirian.
Dia tidak benar-benar sendirian, di balik tirai hijau, Shaka juga sedang mendirikan empat rakaat di waktu yang sama.
***
Shaka dengan senyum khasnya menghampiri Mima yang sedang merapikan kerudung dari kaca hitam jendela musala, Mima yang melihat Shaka di belakangnya lantas bertanya.
“Tadi ada Pak Fauzi ngga di depan?” tanya Mima.
Shaka menggeleg, guru Fiqih itu memang tidak kelihatan.
“Huft, kita balik ke kelas lewat ruang guru, yuk!” ajak Mima.
“Biar ketemu Pak Fauzi?”
“Biar dia lihat aku baru abis shalat, seenggaknya bisa jadi bahan pertimbangan.” Mima bergegas menuju ke arah ruang guru, tidak masalah meski jalan ke kelas jadi lebih jauh.
“Sabar, Shaka … sabar!” Shaka mengurut dada sambil menysul langkah gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Yuli Fitria
Mungkin tidak ada, saat Sholat menghadap Tuhan, yang ada di otak entah apa saja, yang jelas di otak hanya ada dunia 🥺🥺
2022-08-11
3
Rizkha Nelvida
kenyataannya kadang sholat bukan ikhlas karena Allah,,tapi karena ingin di lihat oleh org lain atau terpaksa,,😭😭😭😭🤧🤧🤧
2022-04-23
1
Nanonano 🌱
Sungguh memalukannya aku, bahkan dalam shalat pun aku masih memikirkan dunia yg bahkan tak akan pernah ada tanpa kehendakMu 😢
2021-11-30
5