Ika merobek Kepercayaan

"Ternyata teman kepercayaan berbalut toxic, meluluh lantak tulus."

💣💣💣

Sepakat bakal berkunjung di kost Cristin yang sedang sakit.

Mendapati informasi dua hari terbujur lemah, belum sama sekali chek ke dokter yang buat temannya datang sekalian ngajak periksa darah, biar ketahuan penyakitnya apa.

"Vit, saya tidak bisa ikut deh ke kostnya Cristin." Ucap Ika berbalut kecewa.

"Kenapa?" Buru Avita.

"Adeku mau di jemput."

Hoh. Itu menjelaskan segalanya. Yang menimbulkan kekecewan. Sebenarnya agak risi pergi sendiri.

"Yah, masa saya ke sana sendirian tuh?" Mencoba untuk membatalkan niat temannya.

Nihil. Saat laju motor itu sampai depan sekolah terlihat sunyi, masih dalam kelas mungkin.

"Daa..Vit. Sampaikan salamku eh ke Cristin? Bilang maaf eh, saya tidak bisa datang jenguk." Kata Ika.

Dalam perjalanan, ada sebuah ide terbesit dalam kepala, "belikan nasi padang deh." Ucap Avita sendiri.

Bukan hanya nasi melainkan singgah membeli roti-roti dan buah untuk makan malamnya. Tahu, Cristin sangat boros ditambah sedang sakit pasti orangtuanya belum transfer uang bulanan.

"Permisi, Cristin.." Avita memanggil depan pintu kost.

Kost teman kampusnya berada di lantai dua, di mana deretan kost samping kiri dan kanan dan arah samping depan kost bersebelahan sudah di sediakan kamar mandi dengan dapur bersama.

Belum ada jawaban dalam kamar kost itu.

"Crsitin.." Lagi Avita memanggil.

Merasa gusar, seperti sia-sia ke sana, berasa mau pulang saja. Terlalu lama berdiri.

"Eh, Vit. Dari kapan datang?" Tegur Cristin dari arah samping di mana gadis itu berdiri.

Menoleh ke samping, "hm..percuma saya teriak, orangnya di dapur." Avita langsung meledek, sedikit menahan kesal juga sih.

"Kenapa tidak masuk saja? Pintunya tidak terkunci baru?" Heran Cristin.

Yah, mana gadis itu tahu kalau pemilik kost dalam dapur. Lagian, tidak sopan juga kan, asal menyelenong ke dalam tanpa ijin orangnya? Aneh.

"Oh iyo kah? Saya tidak tahu jadi." Sambil berjalan ke arah dapur.

Melihat perempuan itu menaruh sebagian ayam ke dalam kulkas, "sebenarnya sa mau masak ini, tapi masih pusing jadi nanti saja."

Mereka pun berjalan ke arah kamar kost Cristin letaknya paling ujung, pas dekat pintu utama keluar.

Oh yah kalau di lantai bawah pemilik kost sekalian bisa naruh motor yang ngekost di lantai dua.

Kost di tempati Cristin khusus cewek dan lawan jenis di larang masuk kecuali duduk di teras lantai satu.

"Sori eh, kalau kostku berantakan." Kata Cristin sambil tertawa.

"Haha, tidak jadi masalah itu. Namanya juga cewek."

"Yah kali, masa ada tamu sa kamar berantakan begini?!" Cristin merespon dengan bersungut dong.

Cukup mengundang melongo heran dari Avita. Memang pada dasarnya watak ceplas-ceplos, takkan bisa diajak bercanda sekalipun.

"Sakit apa?" Langsung to the point.

Sebelum di respon, "oh iyo, sori eh tadi Ika titip pesan kalau dia tidak sempat datang jenguk. Karna harus jemput adenya." Imbuh Avita cepat.

"Oh, tidak masalah. Adenya sudah pulang kah jam segini?

"Tidak tahu. Tadi saja saya antar depan sekolahnya masih sepi."

"Oh, pasti sudah pulang itu." Respon Cristin dengan santai.

"Sakit apa?" Lagi, Avita mengulangi pertanyaan tersebut.

"Belum tahu juga nih, sa belum periksa darah. Semalam sa demam tinggi sih."

"Sudah minum obat kah belum? Kalau sudah, nanti di periksa tidak terlihat penyakitnya apa." Ucap Avita, menginfokan.

"Belum sih, emang kalau minum obat trus di periksa penyakitnya tidak terlihat kah, Vit?" Bingung Cristin.

"Yah..begitu sih. Kata mamaku kalau sa sakit, tidak diijinkan minum obat sebelum di bawa periksa ke apotik. Katanya nanti penyakitnya tidak bisa di lihat. Karna sudah minum pereda sakit." Jelas Avita.

"Tunggu eh, sa ganti baju dulu. Dari kemarin toh, sa tidak mandi."

"Haha, namanya juga sakit, kan, tidak diperbolehkan mandi, Cris." Avita tertawa geli.

Tidak tahu kenapa berdua tanpa Ika berasa canggung pun perempuan itu tidak banyak bercerita selain hal penting saja.

Bukan itu saja melainkan sikap ketus seringkali di perlihatkan, apakah mau bergelut?! Pada dasarnya Avita sangat tomboi sempat bertengkar sama orang mabuk hingga HP itu di banting karena merasa kesal.

Model seperti Cristin bisa dengan satu pukulan saja mungkin masuk rumah sakit, hanya karena tahu sudah bukan fase di mana menjadi preman melainkan kalem justru di tindas melulu, cukup menarik jiwa brutal gadis itu.

"Sa temani kah ke dokter?" Avita menawari, tulus.

"Ah, tidak usah, nanti malam saja sudah." Selalu. Cristin menolak jikalau dia yang menawari.

Kalau Ika, mungkin dari tadi cerocos dan tidak menanggapi nafsi ada sekitar mereka pun bakal manja.

"Ko makan yang banyak sudah. Itu, sa ada belikan nasi padang." Avita membuka pembungkus itu lalu siapkan sendok dan sodorkan ke temannya.

"Tadi belajar kah?" Sambil ngambil piring itu melontarkan tanya seputar kuliah tadi.

"Hm.." Dibalas dengan dehaman saja.

Melirik ke area pergelengan tangan, detak menuju setengah empat sore, harus balik sebelum di omelin ibunda.

"Maaf eh, sudah kasih repot-repot ko." Ucap Cristin, sebelum gadis itu balik.

"Ah, macam kita baru kenal dua hari yang lalu saja. Tidak masalah. Cepat sembuh! Ingat, nanti periksa ke dokter, jangan tidur larut!" Timpal Avita dengan tegas.

Hanya di balas senyum miring.

Tidak tahu kenapa masih menginginkan ikatan bersama orang bengis seperti perempuan itu?

Apakah takut trauma friends toxic diberikan, kah? Memang, masih trauma, maka dari itu sebisa mungkin beri sikap terbaik walau sekali pun sering di lukai dengan kata-kata pedis Cristin.

"Dari mana saja?!" Sungut ibunda, saat menangkap sosok ananda membuka pintu rumah.

"Dari temanku, dia sakit, ma." Membalas dengan cengiran.

"Sakit apa?" Intonasi beliau merendah, mengerti kok kalau ada yang sakit tidak terlalu mengekang asal tujuannya jelas dari mana usai dari kuliah.

"Katanya belum periksa ke dokter." Avita menginfokan.

"Sudah makan kah belum? Jangan lagi kamj cari makan." Protes beliau.

"Hehe, sudah kok ma."

Usai percakapan singkat dengan ibunda, gadis itu pun naik ke kamar.

Menghilangkan penat juga sesak-mendesak dalam dada dengan bertemu mimpi, justru diusik oleh panggilan gratisan via whatsapp.

"Yah?" Nada tak minat, sungguh..ngantuk menyergap, lebih mendominasi.

"Sibuk Kah?"

"Tidak juga sih."

Hue .. Sebenarnya saya mau tidur! Ngantuk. Gerutu gadis itu dalam batin.

"Pengen curhat."

"Di persilahkan."

Obrolan seputar teman kuliah di Padang terkesan sombong dan tidak memahami posisi perempuan itu sedang tidak dekat dengan orangtua, selalu saja memaksa untuk secepat itu menggantikan uang sempat Varinta pinjam.

"Masa toh, mereka tidak tahu kalau sa jauh dari orangtua." Varinta mengeluh.

Ada ruas teriris saat dengar hal itu dari sahabat sendiri. Jujur, kalau disini kekurangan uang, pasti saling melengkapi bukan meminta paksa seperti itu.

Hoh. Susah juga sih, namanya teman dan sahabat memang beda kegunaannya, teman datang kalau butuh setelah puas pakai di buang ke tempat sampah sedangkan sahabat selalu ada walau pun waktu tersita untuk istirahat tetap menyiapkan bahu dan telinga mendengar seputar cerita mereka. Intinya sahabat selalu ada saat suka, senang pun susah.

"Sudah, teman kek begitu jangan dianggap seperti sahabat. Anggap biasa saja."

"Trus, kalau sa anggap biasa, nanti mereka bilang apa lagi. Soalnya disini sa juga numpang di keluarga."

Hadeh. Membuang napas gusar, ada saja jawaban sahabatnya ini. Bukannya tenang sedikit semakin buat nafsi dongkol.

"Tidak usah pusingkan. Fokus kuliahmu saja."

Rin, saya juga mau curhat tentang Nifa the gank bikin naik pitam trus. Gumam Avita menahan emosi.

"Trus, ko besok ada kuliah?"

"Hm." Hanya dehaman di berikan.

"Pagi atau siang?" Lagi, perempuan itu bertanya.

"Dua-duanya, kenapa jadi?" Justru dibalas bengong, tumben nanya.

"Ah, tidak ada, cuma tanya saja."

Tahu kok, sejak Avita membantu perempuan itu dekat dengan kedua orangtuanya, sebisa mungkin tidak ada percakapan lebih karena tahu bakal semua di hamburkan ke beliau. Jengkel, harus kah termasuk privasi di beberkan ke mereka?!

Sesal-sesal pun menghiasi wajah gadis itu, tahu sahabat yang sempat di tanggapi sebagai bijak berubah brutal.

Ternyata .. Strategi dalam menggunakan nafsi supaya bisa mendekati dirinya ke denyut terdeka bagian nadi, keluarga. Setelah mendapati keinginan itu, justru sikapnya berubah sangat munafik, menusuk.

"Vero?"

"Tidak tahu dia ke mana, kenapa jadi?"

"Oh, tidak ada. Kangen saja sama anak itu."

Kenapa?! Rasa canggung karna tidak terlalu minat ladeni?! Ketus Avita dalam batin.

"Sudah dulu eh? Besok lagi sa telfon. Mau kampus juga jadi."

Sori, Rin, bukannya cuek tapi akhir-akhir ini saya ada banyak masalah. Gadis itu berbisik lirih dalam batin.

🖤🖤🖤

"Bikin pisco kah?!" Seru Avita.

"Bagaimana itu, Vit?" Ika bengong.

"Gampang, ika! Kalau mau, nanti kita beli bahan-bahannya?" Usul gadis itu.

"Boleh."

Coba sedikit tegas, minta mereka patungan terlihat dari ekspresi terbit miris, ada getir-getir berdecih dalam hati.

Well, hari ini sedang tidak ada mata kuliah. Mengusulkan untuk bagi resep agar memperkuat ikatan itu terjaga.

Bosan berdiskusi dalam puisi lewat sunyi, seringkali bergelut mengenai retak melebur di realita.

Upaya di berikan pun korbankan rupiah agar tetap bersama, takkan mengundang pelik sepertinya belum terendus Avita.

Semoga .. Tetap seperti ini, berjalan baik-baik saja hingga mengenakan toga.

"Apa-apa saja kah, bahannya, Vit?" Ika sungguh penasaran.

Mendengar hal itu, masih meragu apakah langsung kasih saja resep tersebut?

"Nanti ko lihat sudah eh? Kita ke kostnya Cristin dulu sudah, taruh tasnya kita."

"Ok."

Sampai di sana, bukannya tersambut baik justru ..

"Bagaimana, kalian mau kah tidak masak piscoknya?" Avita membuang suara dengan menggebu.

Dan .. "Boleh sih," timpal Cristin begitu tidak minat.

Jujur ada retak di jiwa kala mendapati respon kurang baik namun tetap membuat langkah itu pergi ke kios membeli bahan-bahannya.

Dalam dapur ..

Terlihat mereka mengikuti langkah-langkah gadis itu buat piscoknya termasuk ..

"Sini, begini loh bungkusnya, jangan asal lipat." Avita terkekeh sambil ngulang beri contoh.

Ika pun ikut tertawa karena lihat hasil lipatan temannya itu brantakan.

"Ini coklatnya pakai bahan ini saja kah, Vit? Tidak bisa yang lain begitu?" Ika bertanya begitu penasaran sembari menaikkan sebelah alis.

"Em, kurang tahu eh? Karna sa pakai itu saja jadi. Kalau bisa coba tes dengan messes." Kata Avita dengan santai.

Tidak terlalu makan waktu panjang, karena ada gadis itu yang lincah buat mereka berjalan ke arah kamar usai membersihkan dapur.

Sebelum mencicipi, mereka selfie dulu dengan piscoknya.

"Nifa lihat sa punya story kah," Ika menginfokan.

Di respon sangat cuek dari Avita sedangkan teman satunya sibuk makan piscok.

Setiap nama itu tersebut ingin sekali mencetuskan please .. Jangan sebut namanya kah, bisa apa kecuali beri respon datar, cuek ke mereka? Karena tahu bakal mendapati respon tak mengenakan di hati atau bisa jadi akan kehilangan pertemanan.

"Kenapa?" Avita bengong, lihat ekspresi yang berubah itu.

Sejak dapat telpon dari adiknya dengan nada ketas-ketus, amarah meledak cukup terkesan tidak sopan sama kakak sendiri.

"Mamaku sudah suruh pulang." Jawab Ika dengan lesu.

"Oh, ayo sudah kita balik. Lagian ini sudah kesorean juga, takut mamaku juga cari." Dengan cepat Avita membereskan barang-barangnya.

"Cristin, kita balik eh? Trapp toh kita berantaki kamarmu?" Ucap Ika merasa tidak enak.

"Ah, sudah. Kalian pulang saja nanti sa yang bereskan. Ini Ika, ko bawa pulang sebagian piscoknya." Cristin menjawab santai sambil menginfokan untuk bungkus.

Kok ada ruas menendang tak suka? Seperti hanya dua orang di sana, nafsi tak terpedulikan sama sekali.

"Oh, iyo eh? Supaya adeku tidak rewel. Kasih rasa mamaku juga sudah eh?" Langsung ngambil plastik hitam bekas kulit lumpia tadi.

"Ambil saja, sa juga tidak kasih habis semua itu. Kalau kamu Vit? Tidak mau bungkus juga kah?" Eh, mendadak terkejut saat nama terpanggil.

"Orang rumah su pada bosan makan begituan. Setiap hari bikin jadi." Sahut Avita dengan santai.

Pun, berharap dengan resep itu tidak tershare ke orang lain. Yang akan menampilkan ekspresi pongah mengakibatkan diri langsung dengan cepat terasingkan, seolah-olah resep tersebut kepunyaan mereka.

"Jangan kasih tahu siapa-siapa eh? Hanya kalian saja yang tahu." Sempat dengan tegas Avita menginfokan.

"Makasih eh, sudah ajarkan kita tadi bikin piscok." Kata Ika.

"Asal jan kasih tahu ke siapa-siapa saja." Berusaha ngatur ekspresi yang jelas sudah mengatup keras, nahan emosi.

Mengangguk lalu masuk dalam rumah setelah itu Avita juga langsung balik ke sentani.

Belum sepenuhnya percaya melainkan ragu-ragu terus berkeliaran dalam kepala.

"Vit.." Ibunda memanggil dari lantai satu.

"Yah?"

"Sini..turun dulu!"

Hoh. Berdiri buru-buru, "duh.." Ringisnya.

Akibat bangun langsung terasa nyut di area kepala. Tidak tahu kenapa sudah chek di dokter, darah normal kok sering sakit?

Pernah juga dapat cibir dari Livy mengenai penyakitnya sendiri, bukannya dukung supaya bisa sembuh justru sebaliknya, ngolok orang.

Apa karena memiliki kesehatan normal makanya pongah terpelihara depan mata orang sedang tak baik-baik saja?

Heh, maksudnya Avita hanya sakit kepala tapi sungguh sangat menyiksa melakukan rutinitas.

"Ambil ikan dulu di kulkasnya om-mu." Kata beliau.

Avita langsung ke depan ngambil pesanan ibunda.

Setelah itu balik kamar merebahkan kepala yang terasa sakit.

Esok hari ..

Pagi yang begitu kusut, tidak seperti biasanya.

"Vit, jadi ikut toh buat tugas di rumahku?" Kata Ika begitu santai, tapi ada sesuatu mencurigakan.

Apa yang mereka sembunyikan?

"Kita duluan eh?" Ini suara Cristin.

"Heh?" Justru di balas bengong dari Avita.

"Katanya ko mau konsul KRS sama bapak?" Ika mengingatkan lagi.

"Oh, betul! Kalian duluan sudah, nanti sa nyusul." Avita melepas kepergian mereka sembari mengeluarkan kertas.

"Permisi bu, ada Pak Genta?" Kata Avita.

"Bapak sedang rapat, dek." Timpal dosen Rita.

"Oh, begitu yah bu? Terima kasih." Dengan pelan menutup kembali ruangan lalu ke arah parkiran.

Tak sengaja lihat Nifa the gank.

Samar-samar intonasi mengejek masih terdengar.

"Sa lebih prioritaskan temanlah! Di banding pacar." Sungut Nifa begitu puas.

Avita juga lihat ada dua pasangan di sana, bukan tertuju ke mereka melainkan dirinya. Membuang napas panjang.

Sekalinya labil dan kekanakan, jangan memaksa mereka untuk berhenti cemooh orang, padahal masalah sudah lewat.

Meninggalkan halaman kampus dan nyusul mereka berdua.

Tapi, saat sudah sampai depan rumah Ika, ada satu motor terparkir, kok dentum-dentum terasa mengusik sih?

Siapa? Bisik Avita dalam batin, penasaran.

Disambut hangat dari Ika tapi belum menemukan pemilik kendaraam terparkir depan rumah temannya.

"Ayo..langsung ke atas sudah, Vit." Ika ngajak ke lantai dua.

Membeku. Kok bisa ada mereka berdua di sini juga?

"Eh, Vit. Kenapa baru datang? Kita tunggu lama sekali." Cristin menyambut.

Hanya balas senyum kecut.

"Ayo sudah, kita kerja tugasnya." Kata Ika.

Sejujurnya masih belum terima kedua temannya ada di sekitar mereka bertiga, karena Yanti sepertinya ada niat untuk memisahkan nafsi dengan keduanya.

Tahu kok kalau perempuan berbadan gumpal itu juga memiliki otak sama dengan Avita, tapi apakah dengan cara sinis buat diri terasingkan?

Kalau mau belajar, jangan saling membenci dan membuang kita seolah-olah paling pengaruh baik padahal sebaliknya, unfaedah.

"Tanya kah, Ika. Kemarin toh, sa buatkan mamanya Farid piscoknya, dia senang kah. Tapi, katanya terlalu besar."

Duar! Emosi itu meletup-letup, kan, sudah di duga ada banyak keraguan yang berterbangan dalam pikir.

Ika sudah merobek kepercayaan tersebut.

"Ah, iyo kah? Trus..trus, mamanya bilang apa?" Seru Cristin.

Dan, obrolan itu berlanjut yang buat Avita terabaikan. Kalau tahu seperti ini, lebih baik langsung pulang saja.

Ini sudah yang paling malas kalau ada mereka berdua, ngobrolnya lebih mendominasi di banding kerja tugasnya.

Miris sekali. Avita hanya membeku di tempat sembari main HP sendirian tanpa ada yang ngajak bicara.

"Iyo kah tem. Ah, nanti sa mau buat yang pakai kulit lumpia kecil saja. Tapi, pakai yang besar, enak juga kok, Cris." Yanti berseru riang.

"Makanya, kalau buat itu kulit lumpia yang kecil saja. Sok sekali mau pakai yang besar langsung!" Celetuh Cristin campur sindir.

Justru dibalas tawa dari teman gumpalnya itu.

Obrolan tercipta tanpa nafsi di sekitar seakan-akan kenapa datang ke sini sih? Kerja sana sendiri di rumah.

"Kapan kita buat tugasnya?" Sedikit ragu, setelah mencetuskan pertanyaan itu.

Justru .. "We, sudah kah ngobrolnya. Kapan nih kita kerja tugasnya kalau cerita trus tidak ada ujungnya." Ika dengan peka menyudahi obrolan itu.

Sedikit senang dan lega, masih di respon baik.

"Oh, iyo eh. Tugasnya buat apa kah, Ika?" Yanti bertanya.

"Nu, nanti kamu yang desain ini eh?" Cristin menambahkan.

Nunik asyik main HP bukannya diskusi tugas, masih bersantai-santai.

Lah, kok Cristin ikutan main lagi sih?!

Pakai jilbab Yanti segala. "Vit, pinjam HP kah?!" Seru Cristin.

Panas melihat juntaian mereka di permainkan begini.

Menegur dengan cara baik sekali pun yang di dapati adalah tatapan melotot, intimidasi, menyerang teguran tersebut. Jadi, lebih baik diam saja daripada mendapati sorot tak enak dari mereka.

"Lakum dinukum wa liya din." Q.S Al-Kafirun : 6.

Pengen sekali mengutarakan itu tapi sudahlah, mereka mudah tersinggung apalagi tahu diri kok kalau posisi saat ini hanya peran pembantu, tidak ada spesial sama sekali di mata mereka.

Sepulang dari rumah Ika, kembali buka buku liqo yang di mana sudah di jelaskan bahwa ..

Wanita non muslim yang memakai jilbab hukumnya boleh, namun hal itu tidak bermanfaat apapun baginya atau tidak mendatangkan pahala kebaikan apapun selama dia masih menjadi wanita yang kafir. []

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!