Mie Ayam Punya Kisah

... “Kebersamaan yang terpotret bola mata, mengingatkan diri dengan gandeng ramah, family multimedia."...

💣💣💣

Dalam perjalanan di dalam kepala Avita adalah penasaran dengan rasa mie ayam terenak yang sudah disampaikan oleh kaknis. Takut, nanti tidak sesuai dengan lidah; kurang enak.

Juga di luar dugaan, berpikir bakal terperangkap oleh canggung lewat diam satu sama lain. Ternyata Kak Andy orangnya asik di ajak ngobrol, tidak kehabisan topik, ada saja cerita di bahas.

Dan.. “Haha, mana mungkin, dek. Kalau saat ini kakak ada pacar, mana mungkin kakak bisa jalan sama ade. Benar kan?” Kak Andy menimpali saat gadis itu bertanya lagi persoalan pacar yang kerja di bank.

Biar sekali pun berbalut tenang sebuah intonasi penuturan yang di sampaikan oleh cowok itu, tidak buat Avita percaya, masih banyak hal ingin di telusuri termasuk hati terlanjur patah.

Eh, kok setuju dengan omongan kaknis itu yah? Bebas menggandeng siapa saja termasuk dia.

“Ade cari tempat duduk sudah di dalam.” Kata Kak Andy, sembari lepas helm.

Hanya di balas kaku dan bingung pun menunggu saja biar masuk bersamaan.

“Ayo dek..” Yang langsung mengekori dari belakang.

Setelah duduk, “ade pesan apa?” Di lempari pertanyaan.

“Mie pangsit ayam bakso sudah, kak.” Balas Avita cepat.

Serius, paling tidak enakan kalau di traktir sama orang lain apalagi ini cowok, tidak ada status apa-apa lagi.

“Minumannya apa?” Lagi, kaknis itu bertanya.

“Eng, es jeruk sudah.”

“Ok. Bude.. Mie pangsit dua porsi spesial, seperti biasa.” Kata Kak Andy.

Avita merespon dengan melongo oh sudah langganan toh? Begitulah dalam benak sedang berbisik.

“Kakak di sini sudah langganan. Budenya sudah hafal dengan kakak.”

Kan, sudah di kasih tahu langsung dengan to the point, ternyata kaknis ini tidak terlalu suka sama obrolan bertele-tele.

Saat mie ayam sudah ada di atas meja makan, “enak?” Yang di buru pertanyaan oleh Kak Andy.

Ada seulas senyum miring, sedikit canggung, belum mencicipi saja sudah di lempari tutur kata tersebut.

Beberapa menit setelah meracik semuanya dalam mangkuk, mencicipi sedikit lalu mengangguk dan tersenyum tipis, enak.. Bisik Avita dalam batin.

“Apa kakak bilang, mie ayam di sini memang paling enak!” Serunya.

Biar sekali pun di tanggapin tanpa kata, selalu saja mencari topik pembicaraan dengan ekspresi heboh.

“Setelah ini, kita ke mana dek?” Kak Andy bertanya disusuli dengan ekspresi penasaran.

“Em... Langsung balik kampus sudah, kak.” Avita pun langsung memutuskan.

“Ok. Tidak mau jalan lagi, begitu?” Lagi, menawari.

Hua. Please deh, jangan terus-menerus merasakan desiran senang dalam batin, salah tingkah saat di tawari destinasi selain kampus.

Karena kalau sudah sampai di sana, tidak bakal memungut waktu lebih lama lagi. Dan tidak tahu kapan lagi bertemu kaknis yang selalu berhasil menyelusupi hati, begitu simfoni.

“Tidak deh. Langsung mau pulang jadi, takut nanti ada tugas.”

Fix. Cukup makan mie ayam saja sudah memiliki kisah tersendiri dalam hati Avita. Seserius itu kah menjemput bahagia, setelah di berikan patah oleh kaknis?

Beberapa hari kemudian..

Bukan sekedar mie ayam punya kisah, melainkan setiap kali bertemu jam mata kuliah sama, Kak Andy selalu ngulang dalam mengeja nama panggilan itu.

Kebetulan hari ini ada presentasi, maju membawakan hasil diskusi dengan kelompok. Dan, teman seangkatan sedang kebingungan mencari sosok kaknis, yang memang kebetulan sekolompok dengannya, sejak tadi belum memperlihatkan batang hidung di kampus.

Hem, mungkin kesiangan bangun lagi. Bisik Avita dalam batin.

“Telfon kah, soalnya hari ini kita punya bagian presentasi jadk. Kamu punya nomornya toh?” Gusar Nunik, sedikit maksa dan merengek.

Tidak memungkin kan, bertanya posisi Kak Andy di mana? Walau pun tahu sempat jalan berdua, hanya makan mie ayam, tidak punya hak seleluasa itu dekat dengannya.

Berdecak. Sangat kesal dengan sifat tidak ada perubahan sama sekali.

“Tunggu sudah.”

Belum juga mengetik sesuatu di HP, “Vit, telfon kah. Dia ketuanya jadi.” Sudah semena-mena minta tolong.

Jangan hanya tahu gadis itu memiliki nomor kaknis, sesuka hati mereka minta tolong. Oke. Boleh minta bantuan, tapi tahu batasan juga dan tidak dengan cara memaksa.

Biar sekali pun ketua, sebagai anggota punya cara dong buat menghubungi. Kenapa harus Avita lagi sih? Kan, tidak sekolompok dengan Kak Andy.

“Kamu yang telfon sudah, Nunik.” Marthin yang malas mendengar ocehan teman perempuannya itu langsung menimpali dari belakang.

Daripada pusing dengan debat tidak ada manfaat sama sekali, diam-diam Avita sudah mengirim sms ke kaknis.

Kakak di mana.

Fiuh. Tidak ada respon sama sekali setelah beberapa menit sms itu terkirim, namun selang beberapa menit kemudian orang yang di tunggu tiba depan pintu kelas.

Membuang napas dengan perasaan dongkol. Karena dia sudah di jadikan tempat pembuangan sampah oleh teman seangkatan, dengan sifat semena-mena sudah begitu tidak minta maaf atau terima kasih.

Tak lepas dari pergerakan Kak Andy hingga bola mata memotret Ummi USTJ dalam kontak HPnya. Mendadak bersemu, dentum-dentum dalam dada merasakan bahagia dan senang.

Ah, apa lagi ini? Sepenting itu kah menanggapi diri dalam hati kaknis yang selalu menawari canda di kampus?

“Dek, pinjam pulpen kah.” Kak Andy berbisik, membangunkan dia dari lamunan.

Niat kuliah nggak sih? “Kakak dari mana saja? Buat teman kelompok kakak panik saja dengan presentasinya.” Balas Avita tak kalah gemas, campur kesal.

Justru di balas cengiran tak berdosa dong.

Mereka maju mempresentasikan hasil diskusi kelompok tersebut depan kelas. Cukup serius memerhatikan kelompok kaknis menjelaskan presentasi, hingga tak sadar, “Vit, tidak mau lempar pertanyaan kah?” Cristin membisik, bertanya, menyadarkan dari keseriusannya.

Jauh lebih tepatnya sih, menggoda.

“Malas.” Yang langsung di balas datar oleh Avita.

“Kenapa lagi kah?” Cristin bertanya, penasaran.

Cuma mengangguk lemah, lagi terperangkap oleh memiliki kekasih. Sudah jelas, kalau tidak memiliki pacar, kenapa masih memberikan tatapan getir?

Wajar, nggak sih, di tanggapin seperti itu? Apalagi Kak Andy tipekal bercanda?

“Cris.. Temani ke kamar mandi kah? Tiba-tiba perutku mules lihat senyumannya Kak Andy.” Avita mengkilah.

Setelah selesai maju presentasi, kaknis pun duduk di samping gadis itu, karena giliran kelompoknya Cristin yang maju. Serius, memutar bola mata dengan jengah, lagi mendengar tingkah gombal Kak Andy.

Tahu, tidak selebay orang luar, hanya terlalu keseringan cukup buat Avita jengah dan terusik. Biar sekali pun mata kuliah sudah selesai, cowok ini masih duduk menggoda Avita.

Ais. Apalagi ada dua teman the error sudah duduk di belakang gadis itu, semakin dongkol. Saat ingin keluar, justru kedua kaki terpasung tat kasatmata.

💣💣💣

“Kita singgah makan kah di prumnas tiga?” Seru Avita.

Mata kuliah juga sudah selesai. Memutuskan buat isi perut dulu, lapar.

“Oh? Kamu sudah ke sana kah, Vit? Enak toh?” Timpal Nifa dengan wajah centilnya.

Avita hanya membalas dengan anggukan singkat.

“Itu rekomendasi dari Kak Andy sih dan dia ajak saya makan di sana waktu tiga minggu yang lalu. Enak.” Kata Avita.

"Cie.. Yang jalan sama Kak Andy, tidak bilang-bilang. Oh, Avita sekarang diam-diam eh, sudah PDKT sama Kak andy. Tidak kasih tahu lagi!" Nifa menggoda bercampur intonasi protes.

"Ayo sudah. Dari pada kemalaman. Kasihan eh, kita yang tinggal di Sentani. Nanti pulang terlalu malam lagi." Avita berusaha mengalihkan topik, supaya rona di wajah terminimalisirkan, salting.

Melihat Nifa membereskan buku-buku masuk dalam ransel, siap berangkat ke tempat warung makan.

"Selfie dulu kah? Pakai HPnya Avita!" Seru Lify.

Tampak lesu. Tapi tetap mengindahkan juga kan?

Selang beberapa menit, meninggalkan ruangan dan yang menumpang menunggu di jemput depan fakultas fikom.

Tidak terlalu banyak dari mereka ikut makan, hanya ada Andy, Danang, Atri, Nifa, Avita dan Irja.

Saat sampai di sana..

"Ayo, pesan sudah!" Atri langsung berkicau.

"Saya ikut dengan kalian," Nifa menimpali. Sambil melempar kabar dulu ke orangtuanya lewat benda pipih tersebut.

Yang berarti menu-nya di samakan dengan mereka. Tidak mau ribet.

"Sama saya juga, tapi tidak pakai sawi eh?" Avita menambahkan.

Usai memesan, mereka pun duduk sambil ngobrol mengenai kuliah tadi.

"Siapa nih nanti yang bayar?" Nifa berceletuh, sedikit ngejek ke arah Avita dan Andy.

"Yang habis duluan yang bayar toh." Kak Andy langsung membalas dengan cengiran.

Avita tersenyum melihat sikap tenang kaknis tersebut, masih saja berpikir positif dalam membalas pertanyaan yang berbalut mengejek itu. Kagum.

Dan, perasaan kagum itulah yang menerbitkan ruas-ruas menginginkan ikatan lebih dari diksi kakak tingkat menjadi kekasih.

Tapi mungkin batas imajinasi saja kah? Yang setiap kali terbit dalam deret diksi puisi Avita?

Sebab yang dilihat dari kedua bola mata gadis itu adalah hanya suka bukan ingin sepenuhnya memiliki hati Avita.

"Dek, makan," Andy menegur.

Sedangkan gadis itu sibuk memainkan HP, ada notifikasi kalau ibunda menanyai posisi sedang di mana.

"Tunggu sebentar eh, mama telpon jadi." Avita mengundurkan diri dulu untuk menjawab telpon itu di luar warung. Tapi, tidak di angkat setelah di telpon ulang.

Membuang napas panjang, gusar.

"Kenapa dek? Mama marah kah ade belum pulang jam segini?" Andy berbisik dengan ekspresi khawatir.

Sungguh.. Ada rasa senang, bisa mendapati kekhawatiran dari orang di sukai.

"I'm okay. Yuk..makan, nanti dingin tidak enak lagi." Avita mengajak kaknis itu makan sedangkan teman lainnya masih menunggu keputusannya juga.

Lalu Andy pun menaruh acar ke mangkuk, "ih..dek, jangan makan sambel banyak-banyak. Perutmu tidak sakit kah dek?" Andy menegur. Tak melepaskan tatapan itu.

Membalas dengan cengiran, "selama sahabatku tidak ada di sini, saya bebas makan sambel."

Karena kalau sudah ada mereka berdua, sungguh tidak bisa makan sebebas ini.

Nikmat haqiqi paling di syukuri Avita, makan sambel tanpa dibatasi sama sahabat sendiri.

"Dek, lain kali jangan makan sambel banyak-banyak. Kasihan perutnya ade." Lagi, Andy mengingatkan.

"Tenang. Baik-baik saja kok ususku. Asal mendoakan yang baik-baik saja." Timpal gadis itu, sangat santai.

Tapi dalam hati sangat girang di perhatikan lebih seperti ini.

"Kak, ayo foto dulu sebelum makan," Nifa berseru.

"Nanti saja, dek. Pas sudah selesai makan." Jawab Andy sambil sumringah, menolak karena ingin menikmati makanan dengan santai.

Yang lain sudah pada habis, hanya menunggu Avita dan Irja saja nih belum habis.

"Ayo..siapa yang bayarin nih?" Seru Nifa sambil nunjuk kedua temannya itu.

"Yang terakhir makan toh, dek." Andy melirik jail ke arah Avita yang sudah kepedisan.

Ketika tidak ada respon dari Avita, mengira ngambek, "tidak kok. Yang duluan habis toh dek, yang bayar?" Andy berkicau lagi.

Ih, sebal sekali dah. Bukan berarti tidak merespon adalah ngambek melainkan malas menggubris saat makan apalagi kepedisan seperti itu.

Mendongak dan mengibas-ngibas pertanda kepedisan, jangan ganggu dulu dan Andy pun paham.

Habis. Selesai deh.

"Ayo, siapa yang mau pegang HPnya nih?" Kata Nifa sedikit berteriak.

"Saya sudah, dek." Putus Andy dengan cepat.

"Oh..biar ketahuan siapa yang bayar nih."

"Haha, sini sudah saya yang pegang HPnya." Avita yang menengahi.

Setelah memasang wajah bervariasi, "wah.. Ketahuan nih siapa yang traktir?" Celetuh Nifa.

Saat melihat hasil potret tersebut, "eh tunggu. Bah..Avita tidak ikut foto nih!" Nifa akhirnya protes.

"Ayo sudah. Nanti lain kali saja." Avita menimpali dengan kekehan geli.

Melihat kebersamaan berbalut hangat mengingatkan akan potret alumni family multimedia yang ramah tak memilih dalam berteman.

Semoga .. Mereka adalah penawar terbaik setelah sesal terbit tak bisa menikmati kebersamaan nyata family multimedia semasa putih abu-abu. []

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!