Panggilan Istimewa atau Candaan?

...“Kok merasa ada istimewa di balik panggilan beda tersebut sih? Atau sekedar canda doang?”...

🌚🌚🌚

Sore itu sistem informasi menunggu dosen bahasa inggris masuk ngajar. Mengusir bosan, Avita baca novel sedangkan teman-temannya heboh cerita arkor favorit.

Avita tidak ada minat dalam bergabung dengan obrolan mereka. Bingung alur cerita mereka yang ngefans dengan arkor masing-masing.

Ketertarikannya hanya berada di anime dan novel tidak lupa musik.

Keasikannya terusik dengan obrolan cukup heboh mengenai bias mereka, hanya menggelengkan kepala sedikit dan menerbitkan senyum tipis di bibir.

Jikalau karakter Sasuke ada di dunia nyata, kemungkinan bakal ikut nimbrung di obrola mereka, serius. Hanya karena tahu sebatas animasi, cukup diri sendiri saja menyimpan keseruan saat berada di dunia anime; nonton.

Pun, tidak satu dari mereka memuntahkan protes, karena lebih tertarik dengan dunia tidak nyata.

“Sibuk sekali dengan novel. Tidak bosan baca kah?” Lify menggoda, tujuan canda semata.

Bosan? Tidak ada dalam kamus bagi seukuran pecinta fiksi, justru lebih heboh di banding obrolan mengenai bias mereka barusan di berbincangkan.

Bagi orang lain melihat sebatas cover dan buku semata, tidak dengan pecinta fiksi, menjelajahi isi cerita seakan-akan nyata pun salah satu menghibur diri.

“Vit, tidak haus kah? Dari tadi baca novel trus.” Lify mulai menegurnya juga menawari jasa titip buat Avita beli sesuatu di kantin.

Hanya ada gelengan, “thanks? Nanti saja kalau saya haus, baru ke kantin.” Menolak secara halus.

Tidak enakan buat meminta tolong untuk keperluan perut sendiri, lebih baik pergi sendiri di banding menyusahkan orang lain, biar sekali pun teman.

Yah... Tapi beda cerita kalau bersama dua sahabatnya semasa smk. Bakal manja, semena-mena, apalagi sedang berada dalam mode kutu novel seperti ini.

“Apa bagusnya sih dengan korea?” Avita tetiba menyambar.

“Wih, Vit. Kalau kamu suka artis korea, di jamin tidak akan move on! Apalagi sih Jung-Kook. Aw..ganteng sekali, Vit.” Lify heboh sendiri menjelaskannya.

“Siapa? Jong-kok?” Kata Avita lagi, penasaran.

Spontan buat mereka menyemburkan tawa geli, sangat menggema dalam ruangan. Syukur tidak kena amarah dari dosen sedang ngajar di sebelah ruangan.

Avita ikut terkekeh dengan wajah melongo, apa yang lucu sih?

Belum mendapati penjelasan. Greget sendiri, “loh, kenapa? Ada yang salah kah dari ucapanku? Siapa sih namanya? Kenapa susah sekali kah di sebut. Jung..Jung siapa itu?” Melongo heran, lupa lagi kan.

“Jung-Kook, Vit, bukan Jong Kok.” Clari membenarkan.

“Oh, hm..itu sudah. Yang penting ada kok-nya.” Avita nyegir tak mau ambil pusing lagi.

Sulit juga sebut nama mereka. Pun, masih terekam jelas semasa kecil, ada temannya yang fanatik dengan artis korea, sampai lembar-lembar merah mereka korbankan hanya buat kumpulkan atau koleksi tak terhingga dalam kamar.

“Vit, suka korea kah?” Pernah, teman sewaktu smk bertanya, Indra.

Saat itu mereka berada di rumah Avita, mendiskusikan project komik yang akan di upload ke webtoom.

Cukup mengundang bingung dari wajah gadis itu, serius.

“Tidak!” Jawab Avita dengan penegasan.

Lalu mendapati respon di luar dugaan, terkejut lewat ekspresi Indra. Begitu pun juga dengan Avita, ikut terkejut campur heran.

Apa yang salah sih, dengan tidak menyukai korea?

“Buset! Rekor sekali kamu, Vit! Pertama kalinya saya dengar ada cewek yang tidak suka dengan korea. Tapi..bagus juga.” Indra memberi apresiasi, salut.

Hah? Melongo sangat bodoh dong, apa yang hebat sih, kan, Avita tidak sedang memperlihatkan prestasi cuma ngomong tidak suka dengan hal-hal berbau korea.

Terbangun dari lamunan percakapan tersebut pun tanpa sadar dosen sudah duduk depan kelas.

Selang beberapa menit, ada tiga mahasiswa menyelinap masuk. Melihat dosen itu hanya menggelengka kepala memaklumi diiringin helaan napas lelah.

Tidak mendengar maaf dari ketiga mulut mahasiswa yang asal masuk saja, melainkan tertawa kecil tanpa dosa sudah begitu duduk paling belakang pula.

Avita hanya menggeleng tak habis pikir.

“Bro..bro, bawa pulpen lebih kah?” Seru salah satu dari ketiga laki-laki yang terlambat tadi.

Brisik. Sangat mengusik pendengaran Avita sedang menunggu giliran perkenalan diri dari dosen. Sedikit.. Menahan geram di tempat duduk.

“Baik. Kalian dalam kelas ini sudah tahu nama saya?” Kata dosen sambil letakkan pulpen di atas meja.

“Belum.” Sekelas menjawab kompak.

Baru minggu ini beliau hadir, yang hanya nitip absen saja.

“Nah, kalau begitu kalian satu per satu silahkan maju perkenalkan diri di depan!” Tegas beliau.

Melirik satu per satu, “ok. Kita mulai dari sebelah kanan depan. Kamu, silahkan maju perkenalkan dirimu.” Beliau menunjuk ke arah laki-laki berkemeja biru.

Elisa. Nama yang baru di dengar gadis itu.

Lalu masuk ke sesi perkenalan Efraim. Teman yang dikenali lewat mata kuliah kalkulus.

“Yah. Cewek yang pakai krudung biru, silahkan maju.” Nah, sekarang giliran Avita.

Kok sekujur tubuh begitu kaku? Dasar demam panggung.

Usai perkenalan diri, “Mam, saya ingin bertanya?” Uh, kenapa laki-laki ini lagi sih?

Cukup buat Avita dongkol depan kelas.

Perasaan buruk pun menyergapi isi kepalanya.

“Yah..silahkan.”

“Pacarmu ada?” Tanya laki-laki itu.

“I’m single.” Singkatnya dengan wajah malu-malu.

“Bro..bro! Single tuh!” Senggol temannya di samping.

Sukses buat kedua pipi merona malu.

Duduk di bangku dengan perasaan campur aduk.

🌚🌚🌚

“Loh, kalian bukannya mahasiswa saya tahun lalu kan?” Dosen itu mengernyit heran.

Deg. Sirna rasa senang tadi di rasa Avita.

Terganti rasa keterkejutan dalam batin, what?! Kakting ternyata?! Bersuara sangat protes.

Bukannya malu kok hanya tertawa jaim sih?

Satu minggu kemudian ..

Lagi, bersua di mata kuliah Bahasa Inggris. Saat pembagian kelompok, terkejut, bisa sekelompok dengan kakting itu.

Bentar, memberikan informasi sekilas, jikalau selama ini Avita diam-diam mengagumi lewat puisi. Sejak ‘sudah punya pacar kah?’ Diksi-diksi berbaris sangat manis pun mengalun lembut di destinasi imajinasi kepunyaan gadis itu sendiri.

Selalu berdebat dalam benak, perasaan apa selama ini di produksi lewat puisi untuk kakak manis, tersemat begitu saja di hati Avita?

Ah, benar sekali.. Menjadi daya pikat tersendiri adalah tahi lalat di atas alis kakting itu, lebih tepatnya sih choco chips.

Tumben kelas sunyi, biasanya juga mereka gelisah dan sibuk masing-masing dengan bisingan. Justru hari ini disiplin, menunggu instruksi dosen membagikan tugas kelompok masing-masing buat mereka.

Avita melihat sekilas selembar tugas yang disodorkan oleh dosen, sedikit ngerti, namun takut untuk mendiskusikan pendapatnya ke teman kelompok. Because, tahu ukuran otak tak setara dengan Lify atau orang pintar di luar sana. Yah.. Jauh lebih tepatnya sih mahasiswi bodoh.

Dari pada pusing dengan isi kepala mulai insecure, “mau?” Yang langsung menawari permen kopiko dan fox ke teman kelompok, termasuk kakting itu.

“Tidak, dek. Terima kasih.” Di tolak sangat halus dong.

Ada sebuah decih retak berasal dalam hati. Saat mendengarkan penuturan penolakan barusan dari sosok choco chips yang tersemat dalam bait puisi Avita.

Saat ingin memasukkan kembali ke dalam tas, “sini..sini, buat saya sudah, Vit?!” Seru Nifa, dengan nada memaksa.

Setelah memberikan beberapa permen itu ke temannya, mereka kembali diskusi tugas kelompok tersebut.

Avita ikut ngebantu dengan search terjemahannya di google translet. Hanya karena dia saja yang memiliki kouta internet. Dan, kalau sudah tidak sanggup mendapatkannya, dia sodorkan HPnya ke teman kelompok lainnya supaya ikut membantu.

Bagi hotspot? BIG NO! Yang ada mereka tidak kerja, melainkan menyalah gunakan hotspot gratis kepunyaan Avita.

Melirik sekilas ke arah mereka yang mintol ke temannya di rumah buat isikan kouta, nihil. Hanya buat Avita tertawa kemenangan, jadi bermodal satu HP saja.

Bukannya licik, melainkan meminimalisirkan otak main-main di kepala mereka.

Karena Avita tahu persis, saat sudah kepentok jawaban yang tidak tahu apa-apa, pasti jalan alternatif main gadget.

“Aduh, ini masih kurang cocok.” Jella mengeluh.

“Coba sini, saya buat yang lainnya, siapa tahu cocok.” Avita pun menimpali.

Nifa sedari tadi memerhatikan teman kelompok pada sibuk mencocokkan kalimat penerjemahan dari google translet, pun tak hanya itu, ribut sekali.

Coba saya pintar juga kek kayak Lify, jadi pusat perhatian, pikir Avita.

Tahu, saat teman kelompok lain meminta buat di terjemahkan sekali pun, tanpa bantuan google translet, Lify menguasai grammer itu dan bisa menjawabnya.

Melihat dosen keluar, terima telpon, mengusir rasa insecure kedua kali dengan promosi karya perdana terbilang absurt di kakting itu.

Bukan perkara cari muka melainkan lihat sosok itu begitu ramah pun tak di ragukan kalau bisa mengapresiasi suatu bakat orang lain.

“Coba lihat, dek?” Kata Kak Andy, raut itu sangat penasaran, ingin tahu isi bukunya.

Setelah menyodori ke kaknis itu, “bagus.” Sembari membolak-balikkan buku itu, tak lupa selip senyum manisnya.

Mendadak kena serangan jantung, sangat senang. Ada orang yang mengapresiasi walau tahu isinya sangat sebrantakan itu seperti isi kepala Avita saat ini yang tidak bisa menjawab atau membantu tugas kelompok mereka.

“Coba lihat, coba lihat, Vit?!” Nifa tak mau tertinggal.

“Karyamu kah?” Lanjut perempuan terkesan genit itu lalu di balas anggukan saja.

“Pinjam kah?” Lagi, Nifa berkicau dengan nada merengek.

“Beli toh, haha.” Andy pun membalas, semakin buat perempuan itu greget sendiri di tempat dan mengembalikan buku itu ke pemiliknya.

Dua minggu kemudian ..

Ternyata bukan hanya di Bahasa Inggris bersitatap melainkan mata kuliah Dasar Manajemen.

Avita duduk di bawah tangga fikom, nunggu dosen datang. Dan, dari jauh lihat mereka bertiga berjalan ke arah dia duduk.

“Ummi..” Memanggil dengan intonasi manja.

Loh, tetiba saja ada rasa berdesir-desir dalam dada? Ada risi di rasakan Avita namun sisi lain senang di panggil dengan sebutan itu. Karena memang kadang ngampus mengenakan gamis, tidak mau ribet pulang ke rumah buat ganti baju, biar sekalian saja, satu kali pakai dan langsung ke tempat halaqoh sepulang dari kampus.

“Itu novelis.. Dan, yang satu Yanto,” sela temannya, Atri.

“Ah, jangan novelis. Kalau dia cocoknya panggilan ummi..” Lagi, Andy berkicau dengan nada manja di buat-buat.

Hanya menggoda saja setelah itu mereka menuju ke arah bawah pohon bringin kampus. Tertawa jaim lagi, Avita hanya melongo dong.

“Ummi..” Efraim yang duduk di hadapannya, ikutan menggodanya.

“Ish, apa sih. Tidak usah panggil saya seperti itu!” Avita membalasnya dengan greget.

Hal paling konyol, “dek, itu.. Reslating bajumu.” Kak Andy menegur dengan cara halus lewat bisikan dalam kelas.

Ah. Betapa malunya, reslating baju di samping belum terkancing. Yang syukur Avita pakai baju dalaman, jadi tidak terlalu malu aurat kelihatan.

Yang di rasakan saat kaknis itu menegur halus, tidak ada niat mata keranjang melainkan tulus, menjaga.

“Makasih, kak?” Kata Avita.

Masih suka bingung, kenapa sih selalu di balas cengir kuda dan tawa khas selalu sulit di lupakan gadis itu?

Dan, sempat Avita menyuarakan perasaannya ke salah satu teman kelasnya, “siapa kah, Vit?!” Yang di balas greget campur gemas dari Clari.

Ada deh. Pokoknya ada itu.

Begitulah yang di balas Avita lewat chat.

Namun, menjadi keterkejutan saat di kampus.. “Oh-oh, saya tahu siapa orang yang kamu suka, Vit! Kakak manis yang ada tahi lalatnya di atas alisnya toh?!” Seru Clari dengan heboh.

Tak berhenti sampai di situ, saat diam-diam membuatkan puisi dalam kelas ketika jam mata kuliah, “oh, saya tahu, Vit. Kakak yang kamu maksud itu. Oh! Yang ada tahi lalatnya toh?!” Marthin heboh sendiri, saat tanpa ijin melirik puisi di buat Avita.

“Sstt..jangan keras-keras! Nanti yang lain tahu.” Panik campur kesal.

Setelah mata kuliah selesai, duduk saja dalam kelas. Sangat emosi dengan ketua kelas yang terlalu kepo dengan isi privasi berkaitan dengan hubungan percintaannya Avita.

“Vit, Kak Andy panggil tuh.” Kata salah satu temannya.

“Buat?!” Spontan terkejut dong.

Bikin degup jantung berpacu cepat saja.

“Haha tapi boong. Mereka hanya panggil kamu dengan sebutan ummi trus di sana.” Clari menunjuk ke arah tangga fikom.

Menghelakan napas lelah, kenapa selalu menjadikan panggilan itu sebagai favorit setiap kali mereka bertiga kumpul sih?

Selalu bertanya dalam batin, apakah panggilan itu istimewa atau sekedar candaan semata buat Avita? Tapi, yang jelas sangat di rasakan begitu penting dalam hati Avita. []

Terpopuler

Comments

💯Fhashyafira✅

💯Fhashyafira✅

hai aku datang membawa like salam dari sekali seumur hidup yuk mampir tak saling surpot 😘

2023-07-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!