To The Point

... “Sejuk-sejuk kidung itu meniup penuh harap lalu dengan peka tertangkap olehnya.”...

💣💣💣

Sangat pesat, bisa mendapati nomor kontak kakak manis selama ini jadi selipan dalam puisi.

Bermula dari bincang santai dengan teman sekelas, Andrei. Kepala Avita di penuhi dengan keisengan untuk menanyai satu hal sudah lama ingin di dapati.

“Kamu kenal kakak tingkat yang namanya Kak Andy?” Tercetus tiba-tiba dari mulut Avita.

“Kenal. Kita setiap jam istirahat selalu nongkrong di kantin.” Di sahuti dengan santai.

Fiuh. Sangat lega, tidak ada kecurigaan di sorot mata teman sekelasnya itu saat melihat senyum merekah terbit di wajah Avita.

Serius, tidak mengelak kalau menginginkan nomor kontak itu, segera! Tapi, tidak memungkinkan langsung to the point, bukan? Yang ada kena ledek satu kelas selama satu semester atau bahkan kakting itu lulus, begitu?

Cara apa supaya bisa mendapatkan hal diinginkan Avita dari teman sekelasnya itu yang dekat dengan Kak Andy?

Hari ini lagi tidak ada dosen di jam pertama, hanya duduk sampai menunggu kelas berikutnya.

Dan, saat masuk di jam berikut, Fisika Terapan. Avita tak berhenti bertanya tentang sosok kaknis tersebut di teman sekelasnya.

Seperti ada kesan tersendiri, kalau menceritakan tentang denyut aneh dalam dada apalagi di lihat lewat wajah imajinasi, begitu bersimfoni.

“Kak Andy belum punya pacar toh?” Seru Avita.

Pertanyaan yang tidak tahu ke berapa kali di lontari oleh gadis itu. Karena, belum mendapati kepastian dari Andrei.

Lambat laun, ada fakta menyeruak sangat menyayat rasa tak tertolong... “Kak Andy katanya sudah punya pacar, dia bilang sendiri sama saya. Kalau tidak salah... Waktu itu kita main Uno sama-sama Efraim, dia bilang pacarnya kerja di bank.” Saat teman sekelasnya berterus terang mengenai status kaknis itu.

Percakapan itu saat mereka berdua jalan ke arah warnet sekitar kampus. Namun, terhenti begitu saja, berat sekali buat melangkah lagi. Yang di tanggapi bingung oleh Andrei lalu di sadari cepat lewat senyum samar campur luka.

Yup. Mereka berhenti sebentar depan Fakultas Sastra lalu di lanjuti ke warnet, karena hari ini mereka ada tugas praktikum yang harus di kumpulkan sekarang.

“Sudah punya pacar eh? Bank apa kira-kira?” Kenapa masih mencari tahu lagi sih?

Cinta bersiul manis lewat destinasi paling hangat di balik pintu puisi, ternyata telah termiliki orang lain. 

“Tidak tahu yah. Dia hanya bilang kerja di bank, dia tidak kasih tahu nama banknya apa.” Andrei menimpali lagi.

Sampai di warnet, hanya ada satu komputer, “ini.. Saya duluan kerja atau bagaimana?” Yang langsung di tanyai oleh Avita, sudah duduk duluan sih di kursi.

“Eng.. Kalau begitu saya yang kerja sudah. Di ketik toh tugasnya? Semoga cepat selesai.” Cowok berbadan gumpal itu pun menawari diri buat bantu.

Avita bagian mencari di mbak google, belum ada lima menit sudah mengundang decak pinggang sangat kesal. Melihat Andrei sangat siput sekali mengetik di atas toots komputer.

Menggerutu buat menyingkir dari depan komputer, saat sudah diambil alih, tidak butuh lama pekerjaan mereka sudah selesai. Hanya di stor saja ke asdos.

“Wih.. Terima kasih, Vit. Sudah bantu tugasku.” Kata Andrei, sangat senang.

Di balas senyuman saja, setelah itu mereka pun print dan kembali ke lab karena jam sudah hampir di angka empat sore. Batas pengumpulannya di jam itu dari asdos.

Tadi, “nanti bayar uang print sendiri-sendiri eh?! Saya sudah bantu kerja dan ketikkan tugasmu di word nih. Kasih rapikan trus tambah cover depan lagi.” Avita menegaskan.

“Sip. Yang penting kamu sudah bantu, sudah buat saya tertolong. Kalau tidak ada kamu, mungkin saya tidak bisa kumpul tugasnya.” Cowok itu membalasnya dengan tulus.

Prihatin, tadi memerhatikan teman sekelasnya ini tidak mendapati simpati dari teman sejurusan buat bantu kerja tugas. Justru melongos egois kerja sendirian dengan the gank. Yah, dengan berbaik hati Avita mengajak cowok itu ke warnet, buat kerja sama-sama.

Asdos juga tadi kebetulan lagi keluar sebentar, jadi bisa leluasa mengejar waktu yang masih di berikan, sangat baik sekali asdos mereka.

Saat keluar dari warnet, depan foto copy, “Vit, sini dulu?!” Teriak asdos mereka.

Menunjuk diri, sedikit gugup, kesalahan apa yang sudah di lakukan gadis itu, sehingga memancing asdosnya memanggilnya?

“Ada apa, Kak?” Avita bertanya, dengan hati-hati.

“Tunggu eh?” Lalu menoleh ke arah dalam foto copy, “bro.. Ada yang cari kamu nih.” Dan meneriaki salah satu orang di dalam sana.

Hah? Avita melongo, ada apa nih?

Saat melihat siapa yang di panggil, spontan buat dia dongkol sendiri ketika melihat satu orang menjadi simfoni dalam puisi berbalik dengan wajah tanpa dosa itu.

Darah mendidih, sangat marah campur kecewa. Selama ini di berikan kenyamanan ternyata sebatas adik semata saja.

Membalikkan badan lalu balik ke lab. Menggeleng pelan, Avita tidak mau menerobos sebuah bola mata yang telah melukai asa serta cinta dalam bait puisi, karena tahu hanya kecup luka dan air mata.

“Vit?! Kau kenapa?!” Asdos-nya berteriak, sedikit bingung dengan perubahan sikap adiktingnya itu.

Kenapa harus memanggil sesosok paling di benci Avita, yang buat dia tak mendengari teriakan Andrei.

Pun, saat sudah sejajarkan posisi, “Vit, tunggu! Jangan buru-buru kah. Kamu dengan Kak Andy ada apa kah?” Andrei bingung.

“Tanya sendiri sama orangnya langsung!” Avita menimpali dengan ketus.

“Kak Andy bikin kamu sakit hati kah?” Bertanya sangat polos.

Melirik sinis, benar juga teman sejurusan ini tidak pernah merasakan arti cinta. Wajar, bertanya dengan sepolos itu.

“Tahu ah, gelap!” Yang justru langsung di sungutin oleh Avita.

“Ji, ini masih terang kah, Vit! Belum gelap. Hanya mendung saja.” Menepuk jidat, semakin dongkol. Mendengarkan balasan Andrei.

Setibanya di tangga fikom, duduk mengeluakan botol minuman yang tadi di beli dekat foto copy-an luar.

“Kamu dari mana, Vit?” Clari bertanya.

“Habis print tugas praktikum nih sama Andrei tadi.”

“Oh, tadi kamu di cari tuh sama Kak Andy, cie..” Menginfokan dengan nada menggoda.

Menghentak gemas campur kesal. “Apa sih?!” Ketusnya.

Jikalau dulu perbincangkan sebuah choco chips adalah kesenangan dalam diksi, justru sekarang menjadi amarah di ekspresi Avita.

“Kenapa Vit?” Clari bengong sendiri, dengan sikap temannya itu.

“It’s okay.” Menimpali dengan datar.

“Kalian bertengkar?”

Menggeleng cepat, “tanya saja sama orangnya. Sepertinya.. Nanti habis kumpul tugas, saya mau balik.” Yang langsung di balas dengan perasaan tak enak dalam dada.

“Cepat sekali baliknya? Tidak tunggu Kak Andy datang dulu kah, Vit? Katanya, dia lagi print tugas praktikum dengan asdosnya kita, Gilbert.”

“Oh? Ngantuk jadi. Takut nanti hujan deras.” Gadis itu berusaha mengalihkan topik.

Sisi lain, masih ingin main di kampus. Dan, tidak munafik juga kok, kalau diam-diam mau memerhatikan kaknis itu dari kejauhan. Hanya saja, amarah jauh lebih mendominasi dalam hati, lebih baik balik saja daripada tambah sakit hati.

“Woi, Kak Gilbert bilang, tugasnya minggu depan saja di kumpulkan. Soalnya dia lagi print tugasnya dan absen masih ada di lab.” Andrei meneriaki dari bawah tangga.

Oh, syukurlah.. Bisa langsung pulang. Pikir Avita yang langsung menggendong ranselnya itu.

“We, saya balik dulu eh?” Avita pun pamit.

“Mau ke mana, Vit? Cepat sekali. Kenapa tidak duduk dulu sebentar?” Nifa menimpali, saat baru tiba dari kantin.

“Malas. Capek. Ngantuk lagi, takut hujan deras jadi saya balik dulu eh?” Lagi, berpamitan.

Baru satu langkah turun anak tangga, kaknis itu sudah nongol saja di bawah tangga, bola mata mereka tak sadar bertabrak sebentar, cukup mengundang kesal dari Avita yang langsung memutuskan kontak mereka.

Di tambah kekehan khas di perlihatkan dari bawah, semakin dongkol, tidak ada rasa bersalah sama sekali.

Dasar.. Tidak peka! Ketus Avita dalam batin, mencak tak terima.

“Ih, itu kakak manismu sudah datang baru, Vit. Masa mau pulang? Tunggu-tunggu sebentar sudah, masih jam berapa nih?” Mendengar kehebohan Clari, tujuan buat dia berpikir ulang.

Atri lebih dulu duduk di samping Clari.

“Tidak ah, saya mau balik.” Mengacuhkan omongan temannya.

“Oh? Iya sudah, hati-hati di jalan, Vit.” Clari menyerah dan membiarkan gadis itu pulang.

Sebelum melewati cowok itu, auto volume musik full, tidak mau mendengarkan suara yang selalu buat dia bergelantung asa namun juga berada dalam nestapa tak berjeda.

Sekilas melihat bibir Kak Andy berkomat-kamit, seperti mengatakan sesuatu tapi di abaikan begitu saja.

Sisi lain, Andy sedikit bingung dengan perubahan sikap adik tingkatnya itu.

“Avita kenapa?” Begitulah pertanyaan yang terluncur dari bibir Andy.

“Makanya Andy we! Jangan kasih nangis anak perempuannya orang, tanggung jawab sana!” Atri berseru heboh.

Justru di balas tawa khas dari Andy.

💣💣💣

Mood Avita sudah membaik, setelah dua hari lalu berteman amarah juga luka saat melihat bola mata menawarkan banyak nestapa.

Namun kenapa masih nekat memancing air mata dengan curhat lagi di Andrei, dan iseng tanya ada nomor HP Kak Andy. Dengan santai dan ringan sekali menyodorkan benda pipih itu, Mas Andy yang di baca dalam batin, kontak di cari selama ini oleh Avita.

“Minta eh?” Kegirangan dong.

“Ambil. Tapi, jangan sms sembarang ke Kak Andy eh? Nanti orangnya marah lagi sama saya, kalau tahu saya yang kasih nomornya ke kamu.”

Mindset seperti apa sih itu? Sudahlah, Avita mengangguk cepat.

“Hem, tenang saja. Saya tidak bakal sms sembarang kok, cuma koleksi saja.” Menimpali dengan cengengesan.

Sepulang kampus, dalam kamar, waktu sudah masuk malam hari, Avita menggigit bibir campur ragu dalam batin. Hanya memerhatikan nama yang sudah berhasil di dapatkan.

Sisi lain, ingin memastikan apa kah itu benar nomer Kak Andy atau salah? Ah, kalau tidak di coba mana mungkin tahu, kan?

Kakak, ada orang yang selama ini kagumi kakak loh. Bahkan dia selalu perhatikan kakak secara diam. Pun nangis, saat tahu kakak ternyata sudah punya pacar prantara temannya. Dia mengira kakak itu jomblo, tenyata kakak katanya sudah punya pacar.

Done. Ketertakutan dalam batin, juga dada berpacu maraton mengalahkan pacuan kuda. Sungguh penasaran dengan jawaban kaknis itu apa yak?

Siapa dek?

“Di balas!!” Seru campur girang tercetus begitu saja dari bibir Avita.

Tak sadar lompat di atas kasur. Astaga, deru napas kenapa berdetak kencang? Berbunga-bunga begitu dapat balasan dari kaknis kah?

Eh, sebentar, mendadak senang? Bukannya tadi ingin memastikan yah? Ah, sudahlah. Jemari-jemari itu semakin lincah membalas sms Kak Andy.

Ada kak, seseorang yang sama-sama jurusan dengan kakak juga, angkatan 2016

Please..please, jangan sampai ketahuan kalau lagi nyamar.

Ummi?

“Oh my god! Kenapa bisa dia tahu?!” Terserang penyakit jantung mendadak.

Benar. Itu nomer kaknis, tidak salah sambung. Dan, Kak Andy balas dengan to the point tidak mau terbelit-belit.

Em...kurang tahu kak, dia sering curhat ke saya tentang kakak.

Sangat takut, ditanyai nama. Eh, bentar, kok tidak ada balasan lagi? Ah.. Kaknis itu sudah tahu penyamarannya kah? Mendadak lemas, kecewa.

Minta nomor HPnya ummi kah, dek.

Deg. Langsung to the point, sisi lain bernapas syukur, tidak di tanyai nama. Buru-buru memberikan nomer HP asli karena yang di pakai Avita saat ini adalah nomer samaran.

Sisi lain, Andy rasa bersalah ternyata selama ini menjadikan mantan terindah belum dilupakan sebagai candaan di teman sengkatan Avita, diam-diam nangis.

Ah, ummi-nya sakit hati, karena candaannya saat lagi kelas Fisika Terapan sudah sampai ke dia.

Fiuh. Kesalah pahaman terjadi. Mana mungkin Andy membiarkan semua itu berlarut-larut, kan? Jujur, tidak tega tahu ummi­-nya nangis, candaan itu di jadikan serius.

Menelpon tanpa mengulur waktu. Menunggu lama, karena Avita tidak langsung terima sambungan telponnya. Hanya tersenyum manis, wajar dalam hal nomer baru atau mungkin ada hal lain bersangkutan dengan dirinya.

“Hallo?” Ah, sudah terdengar suara di sebrang telpon.

Ada kecemasan menghiasi wajah Andy, “ummi..” Namun, di tepis dengan cara biasa menggoda adik tingkatnya itu.

Tak lupa dengan iringan intonasi manja. Bisa di tebak, Avita sedang berdecak kesal di sana.

“Ummi? Anda salah nomor kali.”

“Masa tidak kenal suaraku sih, ummi?” Lagi, intonasi berbalut manja itu terulang.

“Haha, iya, kenal kok. Kenapa, kak?”

Obrolan berdurasi cukup panjang tercipta, tidak terasa daun telinga terasa panas.

“Hari kamis, ade ada mata kuliah nggak? Kalau tidak ada, bagaimana kalau kakak ajak ade makan mie ayam paling enak?” Andy menawari diri buat traktir gadis itu.

Mengecek jadwal di atas meja belajar, “nggak tahu juga sih, kak.” Langsung di balas cepat.

Harap campur cemas, biasanya kalau hari Kamis ada kuis mendadak dari dosen. Fix, pasti pulang sore, larut.

Sisi lain, mengucapkan bismilah.. “Ok deh, kak. Hari Kamis saja sudah.” Lalu Avita mengindahkan permintaan kaknis itu.

27 Oktober 2016,

Finaly!! Hari yang di tunggu tiba juga. Menunggu Kak Andy datang jemput dalam kelas, di penuhi dengan perasaan girang, senang bukan main.

Sudah lima lembar puisi terproduksi, agak lama juga yah nunggu dosen datang. Tidak sabar buat bersitatap lagi dengan bola mata, memberikan sejuk-sejuk saat kode itu di terima sangat peka.

Melirik sekena ke arah teman sekelas pada sibuk bicara soal drama korea, tidak menarik perhatian Avita sama sekali, selain menyendiri.

Bisa saja pergi ke kantin dalam mengusir bosan, takut nanti dosen datang tiba-tiba. Pun, tidak mau mengulang sifat lama, tidur dalam kelas yang di anggap pingsan. Padahal lagi menjelma putri tidur.

Ah.. Itu karena penyakit trauma mental, semakin parah namun tidak pernah mau periksa ke dokter, takut dengan diagnosa di dapati.

“Eh..eh, kalian absen! Dosen sedang berhalangan hadir! Harap satu-satu absennya! Jangan pada rebutan eh!” Teriak Marthin sambil menaruh absen itu di atas meja.

Syukur. Bersiul dalam batin Avita, tahu dosen tidak masuk ngajar.

Langsung mengabari kaknis kalau sudah pulang, lebih tepatnya sih tidak belajar. Kok, perut terasa tergelitik sih?

Malas berebutan, nunggu giliran saja. Beberapa menit kemudian, wajah itu semakin kusut, karena notifikasi dari sosok di tunggu belum ada sama sekali.

Apa ketiduran atau lupa? Ah, kebangetan sekali sih kalau lupa.

Dek..masih di kampus?

Fiuh. Membuang napas kasar, serta memijit pelipis mulai terasa nyut. Cukup lama juga duduk nunggu kabar kaknis.

Masih, jadi pergi kah tidak? Kalau tidak, sa mau pulang nih karena trada mata kuliah.

Andy meminta buat sabar tunggu mandi dulu dan jemput di kampus. Berdecak kesal, sudah lama balas, nyuruh seenaknya lagi. Dasar..jam karet sekali jadi cowok.

“Hallo, ade di mana?”

“Di ruang E2, kak.” Avita membalas dengan santai.

Beberapa menit kemudian.. Puisi yang di tulis begitu ambyar, tidak sadar sudah ada Kak Andy duduk di sebelahnya yang tidak di sadari sama sekali. Karena terlalu asik dengan puisi.

Tapi, sempat mendengar suara femiliar depan pintu kelas, “dek.. Ada Avita kah?” Bertanya ke Clari yang kebetulan duduk depan pintu kelas.

Sebab posisi Avita di ujung, jadi tidak bisa di lihat langsung oleh kaknis.

“Ada itu di dalam!” Jawab Clari dengan semangat. Sambil menunjuk ke arah di mana temannya duduk, di pojok kelas paling depan.

Walau telinga tersumpal headset yang mengalunkan musik, masih bisa mendengar langkah kaki Kak Andy ke arahnya, dengan tergesa menutup puisi itu.

Menarik kursi di samping gadis itu, “Dek, ayo..” Ngajaknya usai duduk di kursi.

“Ayo ke mana?” Avita mengulangi lagi, sengaja.

Ada ekspresi penuh keraguan di sana, lalu menerbitkan senyum tipis, sangat manis.

“Sudah..kakak tidak akan culik kamu kok, Dek.” Ucap Kak Andy dengan senyum hangat.

Justru Avita masih terdiam, bingung percakapan apa bakal di tuangkan di atas motor nanti?

“Ayo dek?” Lagi, di ajak.

Mengangguk dan mengikuti langkah itu dari belakang.

Sambil nunggu Kak Andy ngambil motor di bawah pohon beringin, “Vit..Vit, kamu pacaran kah sama Kak Andy?” Tiba-tiba di sambar pertanyaan begitu penasaran dari Clari yang keluar dari kelas.

Ada tawa miris tercipta, “eh, siapa yang pacaran?” Berusaha mengalihkan, lebih tepatnya menutupi luka.

“Baru? Kalian berdua mau ke?” Lagi, Clari sedikit bingung.

Bentar, apa duduk berdua di atas motor sudah di labelkan pacaran yah? Hah. Pemikiran sedangkal itu kenapa masih di pelihara sih?

“Ada deh..” Namun di balas dengan jaim oleh Avita.

“Ih..ih, Kak Andy ajak Avita naik ke motornya!” Spontan buat Clari heboh sendiri, setelah lihat teman sejurusannya sudah duduk di atas motor kaknis.

Sedangkan gadis itu hanya balas senyuman, “daa.. Saya pergi dulu eh?” Sembari berpamitan. []

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!