Pasir Dua punya Kisah

...“Kompak. Sistem Informasi, menggambarkan solidaritas.”...

🌚🌚🌚

Sinar matahari siang ini begitu menusuk kulit. Dan, kelas sedang tidak kedatangan dosen sama sekali.

Mata kuliah terakhir, melirik sekilas ke arah jam di pergelangan tangan, terlalu cepat kalau langsung balik ke rumah.

Yang terbiasa semasa smk, tidak ada guru ngajar pasti buru-buru keluar kelas dan ketemu kasur, tidur.

Berbanding terbalik sekarang, lebih pilih nongki dengan mereka. Nyaman. Begitulah yang bisa di gambarkan dari sistem informasi telah menawari banyak simfoni.

“Woi-woi!! Kita ke mana nih?!” Seru Nifa, tiba-tiba menggelegarkan satu ruangan.

Hah. Kebiasaan buat gaduh.

“Hm, bagusnya ke mana eh?” Jella bertanya balik, sambil melihat atap-atap kelas.

“Bagaimana kalau siang-siang panas begini, kita duduk santai di pasir dua kah?” Usul Clari.

“Itu di mana?” Avita menimpali.

Serius, kenapa tidak tahu destinasi yang barusan di sebutkan oleh teman seangkatan? Dulu paling sering ke tempat-tempat hits Jayapura bersama teman SMP, mendadak bingung saat kalimat pasir dua di cetuskan.

“Ayo kah?!” Di balas semangat dari arah belakang, Yanti.

Sedih. Pertanyaan itu di abaikan saat melihat Clari heboh di tempatnya. “Ayo sudah. Ajak anak laki-laki juga, biar tambah ramai.” Seru perempuan itu.

“Bagaimana?” Yanti pun mengarahkan pandangan itu ke Alvin.

“Dari saja.” Begitulah yang dibalas oleh lawan bicaranya, dengan sedikit terkekeh.

Ada dua orang yang memastikan lewat wajah melas serta intonasi lirih, supaya Alvin tidak sekedar buang suara saja.

Bersorak senang dan menuju ke parkiran, “kalian tidak ikut kah?” Avita bertanya pada dua temannya, yang hanya cuek menanggapi usulan mereka.

“Tidak. Lain kali sudah. Soalnya, Cristin mau balik duluan jadi.” Ika menolaknya, sedikit ingin ikut dari mimik wajahnya yang dilihat oleh Avita.

Hah. Membuang napas gusar, kenapa Cristin sedikit egois sih? Apa susahnya buat minta tolong teman lain untuk bawa motornya?

Sudah bisa dengan jelas kok, kalau secara alasan itu klasik tidak mau bawa motor hanya karena tidak mau capek. Terbukti, lewat hentak manja dengan paksa kepunyaan Cristin diperlihatkan ke Ika.

Kenapa terlalu tinggi dalam prioritaskan egoisme? Selalu ingin di mengerti tapi tidak mau menghargai orang lain.

Menunggu teman lain yang labil, belum fix, padahal sudah duduk diatas motor. “Ikut sudah. Anak-anak yang lain pada ikut mo. Ramai-ramai nih, kapan lagi coba, kita pergi ramai-ramai seperti ini?” Avita ngajak kedua kalinya lagi.

Melongo sangat heran, terabaikan begitu saja oleh perempuan dramatis.

“Ayo sudah kita balik.” Kata Cristin, mengode ke Ika yang masih mematung dengan perasaan bimbang, “Vit, maaf eh, kita tidak ikut. Soalnya saya malas bawa motor pulang-pergi, capek jadi.” Sudah mengeluh, namun bola matanya saat bicara dengan Avita, tertuju ke Ika saja.

Dasar, perempuan aneh. Sudah ku tebak, kan. Ketus Avita dalam batin.

“Vit, ayo sudah?!” Teriak Clari dari ambang pintu kelas.

Agak sebal sendiri, kenapa tidak dari tadi bilang ke teman lainnya supaya bisa sama-sama tanpa harus lihat ekspresi lirih kepunyaan Ika, tidak bisa membersamai moment hari ini di Pasir Dua.

Terus terang, Avita jadi melihat cerminan dirinya semasa sekolah dulu, mood-an, tapi tidak sesarkas perempuan itu yak!

Ketika menyalakan mesin motor, lagi mendengar sebuah drama di buat sama teman cowok yang labil.

“Sudah, kah. Kalau begitu saya tidak jadi ikut sudah?” Protes Ardhin.

“Bah?! Kenapa begitu, trus kita mau pakai motor apa? Kalau kau tidak jadi ikut?” Nifa merasa dongkol, saat mau jalan masih debatkan kekurangan kendaraan.

Hem.. Membuang napas jengah, melihat wajah egoisme di paparkan oleh mereka. Avita berusaha duduk tenang di atas motor, menunggu perdebatan itu selesai.

Dulu.. Kalau teman semasa sekolah kekurangan kendaraan, tidak main drama seperti adegan yang sedang di tonton Avita di depan mata.

Sengaja mengulur waktu.

“Kalau begitu, kita tidak jadi pergi sudah!” Kesal Yanti.

Duh, jadi berangkat atau sekedar mancing emosi semata? Dari tadi Avita berusaha meminimalisirkan emosi loh, sangat kesal dengan tingkah labil campur kekanakan teman cowoknya itu.

Kepala juga sudah mulai cenat-cenut, karena duduk lama di tambah cuaca sedang terik begini.

“Bah?! Jangan begitu kah, Yanti. Ajak mereka saja yang niat ke sana. Tadi, di dalam kelas sudah setuju pergi baru.” Clari menyurakan protes.

Ok. Yanti pun meneriaki di sebrang jendela lagi beberapa teman cowok sengaja berlari-larian di samping kelas. Dan, menyuruh diskusi dalam kelas, jadi pergi atau pulang saja.

“Kalau tidak jadi pergi, tidak usah lari-lari dan tertawa!” Yanti semakin dongkol.

Serius. Dalam batin, ingin sekali mengeluarkan sumpah serapah buat mereka yang terlalu labil, kekanakan. Sangat bosan, sembari mengeluarkan headset lalu menempelkan dagu di stir motor setelah lagu sudah mengalun, mengusir emosi dalam hati.

Apa susahnya buang suara, tidak mau pergi tanpa harus memungut dramatis dan buang waktu percuma. Lebih baik Avita balik, kalau seperti ini. Jengkel juga, tidak ada kepastian dari tadi.

Melirik sekilas ke arah Clari, menelpon temannya dengan menahan geram juga, jemput buat antara pulang atau duduk menikmati es kelapa? I dont know, Avita sambil menaikkan bahu secara pelan.

“We..kalian ke sini sudah! Malas sekali kejar-kejar kalian. Saya capek nih.” Keluh Yanti, berharap mereka berhenti.

Alvin masih nyengir di balik jendela, sedangkan Marthin datang masuk ke dalam kelas.

“Ayo sudah.” Putus Marthin.

Menghelakan napas lega. Dari sekian lama nonton drama, mereka pun bergegas naik motor.

Lify naik ke motor gadis itu.

“Kau tahu pasir dua kah?” Avita bertanya, karena ini pertama kalinya dia ke sana.

“Ah, tidak tahu. Ikut mereka saja toh. Biar tidak hilang jejak.” Lify menimpali dengan santai.

Ok. Mengikuti Clari dari belakang, sambil lirik ke kaca spion, memastikan teman lain pada ikut.

“Loh, yang lain ke mana Lif? Mereka ketinggalan kah?” Avita panik.

“Sudah. Ada Yanti itu yang tahu jalan ke pasir dua, santai.. Mereka pasti sampai kok.” Lify menimpali sangat santai tanpa rasa panik.

🌚🌚🌚

“Yang lain ke mana?” Akhirnya, Lify menanyai keberadaan teman yang sama sekali tidak ada dalam perjalanan ke destinasi.

Sudah sampai, tapi hanya berempat saja.

“Ah..sudah kita tunggu saja, mereka pasti sedikit lagi sampai.” Timpal Hawa dengan santai melihat pemandangan indah dari atas pasir dua.

Melihat Hawa berjalan agak jauh, “kalian kalau mau pesan, duluan sudah!” Teriaknya.

Sedangkan Clari sibuk rapikan rambutnya yang lepek akibat angin kencang di atas motor.

“Ah, nanti tunggu anak-anak lainnya datang sudah baru kita pesan sama-sama.” Lify yang menolak, sangat halus.

“Tunggu sedikit lagi sudah. Pasti mereka di jalan itu atau ada lagi isi bensin.” Clari menambahkan, sambil berjalan ke arah mereka berdua.

Hawa sibuk lihat pemandangan dengan berdiri di ujung jurang, capek mungkin duduk berlama-lama di atas motor.

“Oh, saya pikir kita duluan yang pesan trus mereka belakangan saja pesannya. Haus jadi.” Kali ini Hawa sudah kode lebih dulu ke Clari.

“Sudah. Tunggu saja. Sedikit lagi mereka sampai itu.” Clari sibuk cari tempat yang nyaman.

Tempat duduk terbuat dari ban mobil lalu ditutupi dengan kramik.

“Saya ke sana eh? Mau cari angin.” Kata Hawa menunjuk tempat tadi.

Clari mengangguk.

Udik boleh ndak? Avita sangat girang sekali lihat pemandangan indah ini.

Sejuk. Bisa menemani waktu kosong buat novel.

Bergetir, mengingat karya belum sempurna saja buat apa gegayaan duduk santai nikmati angin sepoi di sini?

Nikmat tuhan mana kah yang kau dustakan? Yang terkadang tangan-tangan tak bertanggung jawab merusak alam indah, harusnya di lestarikan justru di jajaki brutal.

Avita melihat pengunjung mengenakan seragam putih abu-abu, membangkitkan kenangan family multimedia lagi.

Hawa bawa motor sangat di atas kecepatan normal, kencang sekali.

Yang menjadikan Avita ikut ngebut tapi tidak di protes oleh teman yang di bonceng.

Melihat perempuan tomboi ini, seperti cermin masa lalu milik Avita.

Tapi, tertipu wajah yang kata orang feminim.

Mengingat penilaian orang di luar sana, sesuatu menggelitik di perut, lucu.

“Ini siapamu?”

“Sahabatku, kenapa?”

“Orangnya keknya alim eh?”

Spontan buat Fio menyemburkan tawa dan mengatai bukan alim. Aslinya cerewet dan tomboi sekali.

Lalu, bangun dari lamunan memoar itu. Lebih memilih nikmati angin sepoi di sini.

Sejuk. Pengen ajak Rinta deh.

Tapi, masih belum ngobrol, beta dengan prahara berlumut tersebut.

Kalau sahabat-sahabat tahu sudah resmi jadi mahasiswi, bakal lompat girang terutama Fio.

Masih terekam jelas, saat berada dalam bungkusan gelut, Fio tetap sms menanyai nama asli sesuai akte kelahiran. Berdesir, terniat sekali.

Harus bisa di ketahui kalau persahabatan mereka tetap bertahan, tetap. Apalagi persoalan cita, mengurusi paling terdepan, biar sekali pun dalam pertengkaran dan mogok bicara satu sama lain. Mereka masih memiliki cara dalam menghubungi Avita, apa pun itu, supaya bisa lihat sahabat keras kepalanya mau melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.

“Vit, kau bisa nih menulis di sini. Anginnya sejuk dan nyaman.” Lify membangunkan dia dari lamunan, juga sudah perbaiki rambut yang tadi berantakan.

Avita justru anteng tanpa perlu repot-repot seperti kedua teman sejurusannya ini, karena mengenakan jilbab, walau sedikit brantakan sih namun bisa di rapikan cepat.

“Tidak kenapa-napa toh tadi saya bawa motornya balap?” Eh, benar juga hampir lupa tanya.

“Ah..tidak kenapa-napa, saya sudah terbiasa.” Timpal Lify sangat santai.

Jadi, Avita tidak terbebani lagi dengan rasa kurang enak tadi kejar-kejaran di tengan keramaian jalan raya.

Kalau tidak ngebut, bakal hilang jejak.

“Kamu mau menulis? Ah..menulis sudah, di sini memang bagus untuk kamu.” Ucap Lify.

Menyadari kalau dia mengeluarkan laptop langsung mencetuskan pertanyaan tersebut. Namun, kenapa tetiba ada desir ngilu berasal dari hati Avita sih?

Menulis menggunakan hati, kok, berfaedah, namun kenapa masih belum mau ingin di publishkan ke orang lain? Yah, walau pun seperti itu, Avita tetap meneruskan hobinya itu, menulis tanpa jeda.

“Haha, iyo eh, daripada bosan tunggu mereka. Mending saya tulis puisi.” Cengir Avita.

Puisi? Hasil yang di tuliskan saja jelek.

Terus terang, setelah merasakan bangku perkuliahan banyak simfoni di tawari oleh mereka pun tanpa sadar amnesia dengan kebersamaan tak sempat di rasakan Avita semasa smk; family multimedia.

Walau tahu, tidak seutuhnya pergi, cukup menjadi penawar saat Avita jemput sepi dalam rumah.

Di lain tempat, sibuk duduk di pinggir jalan. Menunggu Efraim ambil sesuatu di rumah setelah itu lanjut ke rumah Yanti.

“Saya ganti baju dulu eh?!” Seru Yanti, sangat senang.

Setelah ganti baju, ngajak adiknya juga ke pasir dua.

“We, mereka sudah sampai kah di sana?” Tanya Marthin.

“Ah..kan ada Clari, pasti Avita sudah sampai itu.” Jawab Nifa dengan santai.

Marthin pun mengangguk. Luangkan waktu buat selfie di pinggir jalan dulu.

“Eh, ayo sudah?!” Yanti berusaha menyudahi rutinitas tersebut.

Eh, bentar. Justru minta ikut masuk foto juga.

Setelah puas. Mereka naik ke motor masing-masing.

Dan, medengar deru mesin motor yang banyak, Avita pun melirik sekilas, ternyata mereka sudah pada datang.

Nyasar kah? Pikir Avita.

“Kalian lama sekali datang. Nyasar kah?!” Protes Clari.

“Ah, ini tadi kita habis dari rumahnya Yanti, temani dia ganti baju.” Efraim yang menjawab.

“Sudah pesan makanan kah?” Yanti pun duduk di tengah-tengah mereka.

Avita spontan tertegun. Sangat terkejut, melihat teman kampusnya melepas hijabnya. Kalimat istigfar terus berulang dalam batin.

Apa kah jilbab di jadikan sebagai hiasan semata? Seperti.. Mengikuti trend, astagfirullah.

Menggeleng-geleng tak habis pikir, dulu dia juga seperti itu. Namun, bukan menjadikan jilbab sebagai trend melainkan proses dalam berhijrah hingga mantap tak lepas-pakai lagi.

Ketua kelas menghampiri gadis itu yang selesai dengan laptop dan memasukkan dalam tas, “Vit, tempat ini bagus sekali untuk kamu menulis. Nyaman.” Kata Marthin, intonasi itu terkesan menggoda.

Please deh, Avita pun memutar bola mata dengan jengah. “Hm, itu lagi.” Balas Avita sedikit ketus.

Lalu.. Melihat Marthin mengalihkan pandangannya ke.. “Kalian sudah pesan makanan kah?” Lify, Clari dan Hawa.

“Belum! Ini saja kita ada tunggu kalian.” Ketus Clari dengan perlihatkan mimik manja.

“Haha. We.. Mari sudah kita pesan makanannya.” Marthin pun meneriaki mereka yang sudah pada sibuk dengan selfie.

Yanti datang ke meja mereka.

“Sudah pada pesan kah?” Bertanya dengan polos, karena memang tadi tidak ikut bergabung dengan diskusi mereka.

“Sudah, barusan tadi di Marthin. Tapi, tidak tahu eh dia ke mana lagi?” Clari celingak-celinguk cari ketua kelasnya, ternyata bergabung dengan teman cowok.

“Oh, kalau begitu pesan lagi sudah? Siapa-siapa nih yang mau pesan makanannya?” Kata Yanti sambil menjedakan tiga detik, “oh iya, sori eh? Tadi lama, karna kita singgah dulu ke rumahku ganti baju.” Lanjutnya.

“Pantas. Tidak masalah, kalian pesan sudah sana.” Clari sudah tidak protes lagi, sibuk selfie.

“Vit, mau pesan apa?” Yanti pun datang ke arah tempat duduk Avita.

“Ada apa saja kah di situ?” Kata Avita, sedikit mengernyit.

Mendengus pelan lalu berjalan ke arah kasir, mengambil buku menu.

“Ini. Pesan apa?” Yanti sodorkan buku menu itu.

“Tunggu eh? Saya lihat dulu makanannya apa saja.” Setelah memerhatikan sekilas, “mahal-mahal eh? Ada mie kuah. Tapi harganya dua puluh ribu. Ah, saya pesan kentang goreng dua sama minumannya jus sirsak satu.” Lalu Avita pun alihkan buku menu itu ke Lify.

“Ok.” Yanti merasa sudah mencatat pesanan teman-temannya lalu membawa secarik kertas juga buku menu itu kembali ke kasir.

Yanti berbalik badan, menghampiri mereka lagi, “katanya lima belas menit jadi. Tunggu sudah.” Menginfokan sambil duduk di samping Lify.

Cuaca yang panas, yang biasa menusuk kulit hingga merasakan sakit, namun berasa sejuk di temani angin sepoi di pasir dua.

Ah. Pasir dua ini memiliki kisah tersendiri bagi Avita.

Melihat mereka pada berfoto dekat ban-ban yang di modifikasi cantik, di atasnya juga ada payung  bergelantung, buat Avita juga ingin bergabung dengan mereka.

Potret kekompakkan Sistem Informasi, solidaritas di pasir dua, walau tahu sebelum ke sana, penuh dengan dramatis. []

Terpopuler

Comments

Lisa Haruna(Izin hiatus guys)

Lisa Haruna(Izin hiatus guys)

saling semangat

2022-07-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!