Mereka tulus Kah?

"Menerbangkan harap agar ikatan di tawari tidak lagi pamit supaya berhenti ngobrol lewat puisi, letih."

💣💣💣

Masih terasa sunyi menyergapi dalam hati, memotret ke mana arah langkah pergi, mantan teman Avita.

Berasa ada denyut mengiramakan getir, tak lagi menyamakan langkah bersama seperti biasa.

Sudah dari awal di perlihatkan bahwa mereka kekanakan, labil. Emosi yang tidak nentu itu, kenapa masih berada dalam rindu kepunyaan dia, hah?!

Dan tahu bahwa the gank labil tersebut mencari apa itu ketenaran dan hits di kalangan kakting, centil sih.

Heran tapi nyata, saat tidak ada mata kuliah sekali pun, the gank labil itu tetap pergi hanya untuk cuci mata lihat kakting dengan memperlihat sikap genit itu.

Tidak heran sebagian kakting sempat layangkan protes ke Avita mengenai penilaian mereka terhadap teman sekelasnya itu.

"Haha, biasalah kak, sudah..tra perlu di liatin nanti semakin jadi-jadi lagi." Avita menertawai.

Memang Nifa, dkk itu tidak memiliki etika dalam menyapa kakting kalau lewat di depannya, sombong.

Apa karena memiliki Livy terbilang cepat dalam menangkap materi dalam kelas terutama bagian perhitungan?! Maka dari itu tidak memerlukan bantuan tugas dari mereka yang berpengalaman? Hoh, angkuh sekali mereka.

"Vit, pulang nanti sama-sama eh?" Kata Ika.

"Boleh, sebentar sekalian makan pangsit dulu eh?" Timpal Avita.

Tidak tahu kenapa saat cetuskan diksi tersebut, lagi desir-desir bermain dalam hati.

Rindu kah? Cih, membuang napas sangat gusar, kenapa saat ingin mengelupas rasa, justru semakin susah?

Sisa-sisa kenangan terulang dalam benak.

"Di mana tuh?" Penasarannya.

"Di prumnas empat," Avita menjawab cepat.

"Ok."

Well, teman kepercayaan satu ini terbilang cuek tapi berbalut perhatian yang terbentang di pelupuk mata, nyata.

Sekilas info bukan hanya mendapati sosok pengganti dari keterlukaan yang di buat oleh ratu dramatis di kelas, Ika, ada satu lagi, Cristin.

Tidak tahu kenapa ruas-ruas sempat terkulai oleh toxic ditawari pertemanan awal, sedikit merasa takut. Untuk kali ini biarkan Avita merasakan dicintai tanpa harus di tinggal pergi lagi.

Ok, fine, tahu kok porsi otak terbilang dibawah rata-rata itu yang mengharuskan nafsi mempertahankan pertemanan baru tersebut.

Yang bukan sekedar bakubawa dalam bermain melainkan diskusi sembari belajar sama-sama saat ada tugas kuliah.

Tentunya tidak memprioritas egoisme diri, dengki pun pelit informasi seputar tugas dari dosen.

Cukup semester dua terkulai oleh deret hangus di deret KRS-nya, hoho tahu kok sempat terjatuh gagal di semester berikutnya sebab ketakdukungan dalam lingkup pondasi pertama, keluarga.

Melihat ketak-kompakkan sebuah sistem informasi menjadikan memoar lama terbang-terbang begitu hangat dalam pikiran, family multimedia.

Dulu mereka berupaya supaya nafsi berbicara tak menjeruji lagi dalam sunyi di sekolah.

Wajar, kan, sistem informasi labil di lapisi kekanakan mana ngerti kekompakkan pun kekeluargaan, hanya mentingkan gensi pun style menarik perhatian kakting dengan centil.

"Kam bertengkar kah?" Bisik Ika hati-hati.

Hanya ditanggapi kekehan kecil, heran, kok masalah sepeleh itu di sebar luaskan sih? Pengen tenar kah?

Masih belum puas lihat ekspresi teman kepercayaan, "kenapa jadi?" Justru Avita bertanya juga.

"Ah, nggak. Heran saja sih, kalian dulunya dekat, sekarang jaga jarak." Timpal Ika.

Yah di jelaskan panjang lebar sekali pun tetap takkan ngubah pola pikir kekanakan Nifa, bukan? Sudahlah, satu-satu cara adalah melupakan dan membebaskan sorot intimidasi dengan bodoh amat.

"Sudah. Saya juga malas urus mereka, terlalu labil." Putus Avita, mengakhiri obrolan tersebut.

"Loh, katanya di prumnas empat?" Ika melongo, saat sudah sampai depan warung pangsit.

"Hehe, disini lebih enak. Dibading pangsit prumnas empat." Avita membalas dengan cengiran.

Hoh. Ika tak permasalahkan asal mengisi perut dengan kenyang.

Memang yang di lihat dari gadis itu adalah tidak banyak membantah atau protes, maka dari itu senang ngajak ke mana pun, tapi di waktu tertentu saja sih, kalau Ika tidak di suruh pulang lebih awal dari orang rumah.

Karena harus jaga adiknya ketika orangtua pergi ke luar.

Duduk, sambil menunggu pesanan ..

"Besok ada tugas Struktur Data kah?" Avita bertanya.

Kok, ada desir ketakenakan yak? Apakah takut tidak di beri tahui informasi tersebut walau telah menjadi teman kepercayaan?

Trauma.

"Tidak ada. Hanya di kasih materi saja dari kakak tingkat."

"Oh? Trus, yang tugas Sistem Berkas bagaimana?" Lagi Avita bertanya.

"Hoh, itu .. Katanya cari materi untuk minggu depan trus di kumpul di bapak."

Syukur. Tidak ada menggunakan perhitungan menjadikan nafsi belum bersitatap nominal sulit di mengerti porsi otak Avita.

Yang di harapkan dari ikatan baru adalah ketulusan bukan sorot menghancurkan dengan pelan, tapi Nifa terlihat ketaksukaan ada senyum senang di dia, berupaya mengusik hingga hancur lebur perulangan lagi kah?

Seperti .. Pelan-pelan tidak memberi pertemanan di bangku perkuliahan, tujuan dan motif perempuan centil itu apa sih?

Dramatis sekali. Sungguh heh. Motif di balik mencari-cari kesalahan orang lain apa sih? Tidak ada faedahnya sama sekali, hanya tahu panggung kekanakan di balik sikap di berikan.

"Besok kamu naik apa ke kampus?" Tanya Avita.

Kenapa selalu mencari cara agar memiliki alasan bisa di hargai sepenuhnya?

"Taksi. Kenapa jadi?"

Huh. Jawaban menohok, tapi cukup normal sih karena memang Ika tergolong tidak suka membebankan teman sendiri.

"Besok bareng eh? Saya jemput?" Penuh harap-cemas.

"Oh, ok."

Lega. Tapi selalu bertanya dalam batin, mereka tulus kah? Karena masih bingung memotret semuanya seakan-akan kasihan bukan peduli seutuhnya, karena masalah itu kah? Makanya mereka yang menggantikan posisi saat nafsi terkurung sepi di kampus.

Setidaknya obrolan tadi bisa mendapatkan informasi bahwa telah menguapkan kekhawatiran mengenai ada tugas atau tidak. Hanya mencari materi yang tidak membebankan otak untuk merumuskannya.

Avita sadar, kalau mau minta tugas ke mereka ada ketakenakan terbit lewat ruas sunyi, walau tahu tidak perlu malu sebab telah menjadi teman baru yang bermanfaat.

Kalau melulu minta tugas, tidak ada timbal balik sama saja bohong.

Masa balas dengan traktir? Nanti di labelkan orang kaya padahal hanya gadis sederhana yang memiliki jiwa tidak enakan kalau di mintai tolong justru di manfaatin sekitar.

"Keenakan di mereka sih saya rasa, Vit." Pernah kok Ika berkicau.

Tahu ke mana arah pembicaraan itu, jangan habiskan uangmu untuk mereka, gantianlah.

🖤🖤🖤

"Sori eh? Telat jemput, semalam tidak bisa tidur jadi." Avita menyambut dengan cengiran.

Over dosis bahagia kah? Yang menyebabkan kesulitan jemput pulau mimpi?

"Tidak papa. Dosen katanya juga belum datang kok." Justru di balas dengan santai.

Bernapas lega. Tidak ngundang rasa bersalah melainkan bisa sedikit pelan bawa motor ke kampus.

Tapi, ada keraguan dalam hati, "betul toh, bapak belum datang?" Avita memastikan kembali yang dibalas dengan anggukan yakin.

Sebenarnya sedikit jengkel kenapa tidak jujur persoalan tugas di beri? Harus kah memancing atau bertanya baru dapat informasi seputar cita?

Ika terbilang iri berbicara, tapi kan, ini kuliah loh, biaya tak sedikit kenapa harus dari kita yang bertanya baru dapat informasi itu? Bukan kah sudah jadi teman akrab?

Hoh.

"Vit, ingat, di kuliah nanti tidak ada namanya sahabat tapi tetap jadi teman. Sedekat-dekatnya kamu dengan mereka, tidak bakal jamin sahabat, okay?!" Pernah kok sahabatnya mengasih tahu hal tersebut.

Masih saja ngeyel dan berharap bakal di kasih tahu ada atau tidaknya tugas dari kampus.

"Cristin mana?" Terlalu canggung tidak ada topik, jadi hanya itu bahan obrolan mereka diatas motor.

"Katanya belum mandi," ada jeda beberapa detik, "masa tuh, jam segini belum mandi kah." Akhirnya dapat respon yang panjang.

Memang harus memiliki bahan obrolan supaya Ika bicara, kalau tidak ada bakal diam tanpa topik.

Avita rasa seperti figuran yang memperjuangkan posisi di akui mereka.

"Nanti pulang kampus, temani saya ke saga eh?" Kata Avita.

"Ngapain?" Dibalas bengong.

"Cari kulit lumpia."

Lalu di balas oh dari temannya itu.

Melirik jarum km pada motornya hampir berada di garis merah. Tidak mau terjadi dorong motor mendadak yang buat mereka berhenti dulu di SPBU terdekat.

Setelah full, mereka pun menuju kampus. Kok tanpa sengaja bertabrakan dengan pelupuk mata anak manja itu sih?

Cukup ngundang amarah sedang berkoar-koar dalam dada, hampir saja membrutal preman lalu melabraknya kalau Avita tidak mengingat posisinya sebagai mahasiswi.

Pongah terawat di balik ratu dramatis sistem informasi, kekanakan lagi bertambah otak kosong hanya pengen tenar dan parahnya menggunakan kepintaran orang lain. Miris.

"Ayo, Vit." Ika ternyata masih berdiri di samping motornya.

"Eh, tunggu bentar, saya simpan helm dulu." Avita tersadar dan menghalau wajah sungut seperti ngejek dari anak labil itu.

Daripada mengurusi sikap absurt Nifa lebih baik masuk dengan bodoh amat dalam kelas.

Wih, serius nanya nih, saat gadis itu tidak memedulikannya, kok terlihat gerak-geriknya kurang puas?

Hoh. Rasanya Avita ingin tertawa lebar depan mukanya. Sayang itu hanya membuang waktu dalam ngurusin orang kurang waras seperti Nifa.

"Vit, coba telfon Cristin, masih mandi kapa?" Ika membisik di daun telinganya.

Khawatir, karena dosen yang sudah masuk lima menit lalu, takut Cristin bakal di hukum atau tidak diperbolehkan ikut mata kuliah hari ini.

"Tidak ada pulsa." Membalas dengan pelan.

"Aduh. Bagaimana nih? Masa iya kita absenkan? Nanti kalau bapak absen bagaimana." Ika masih saja gelisah di tempat.

Mendengar keluhan itu, cukup ngundang risi juga dari Avita.

Sudah tahu jam karet trus di tambah telponan sama ayang sampai pagi, masih tetap di urusin.

"Sudah. Tenang saja, pasti dia datang itu." Avita berusaha menenangkan.

Walau tahu sisi lain sangat jengkel kenapa sih menguruskan teman tidak tahu diri dan prioritas cita sendiri? Kok kita yang ribet.

Hm. Lagi lihat Nifa, dkk melakukan kecurangan, absenkan teman yang berhalangan datang.

Dasar..licik. Protes Avita dalam batin.

Ketukan terdengar, "itu Cristin kapa," lagi Ika berbisik.

Tapi bukan orang yang ditunggu melainkan teman lain.

"Beh, anak itu tidak kampus kapa?" Avita justru tidak yakin temannya datang.

"Ah, tadi saya SMS, katanya dia kampus kok." Justru di elak cepat oleh Ika.

"Trus, dia ke mana? Kenapa lama sekali sampe?" Dan di balas bingung oleh gadis itu sendiri.

Ika hanya mengangkat kedua bahu, tidak tahu.

Boh. Katanya teman paling mengerti Cristin, di tanyai kok tidak tahu sih? Aneh juga.

Ketukan kedua kali yang buat dosen memperbolehkan mahasiswa itu masuk ke dalam kelas.

Hoh. Ternyata Cristin. Kok tatapan keki di beri ke gadis itu sih? Apa salahnya?

Melongo hebat dong.

"Ika..ko nih! Orang telfon baru tidak angkat lagi!" Gerutunya dengan pelan.

"Sori, tadi HP dalam tas. Lagi ada matkul begini masa iyo, sa angkat panggilanmu?" Cengir Ika.

"Sstt..jangan berisik nanti bapak tegur kam lagi." Avita berusaha menegur.

Heh. Dibalas sangat intimidasi dari Cristin dong.

Niat baik kok di balas buruk? Dasar..anak aneh sepertinya otak itu klompotan dari Nifa kali, makanya tidak mengerti lagi di situasi mana.

Kalau tahu lebih baik Avita tidak menegurnya, biar dapat tegur keras dari dosen.

"Ika..pulang nanti sama sa eh?!" Cristin memaksa sembari memelototi gadis itu.

Hoh, kalau saja sikap preman di perlihatkan, kemungkinan anak ingusan yang cengeng itu bisa saja menangis dan simpan trauma.

“Minggu depan kalian harus kumpulkan tugasnya di ketua kelas.” Jeda tiga detik, dosen menyapu seluruh ruangan lalu, “mana ketua kelasnya?”

Anak-anak langsung dengan serempak menunjuk Marthin yang sedang sibuk mencatat. Langsung peka, Marthin mendongak, “Iya, Pak!” Serunya.

“Kamu harus kumpul semua tugasnya, jangan sampai ada yang kumpul susulan. Bapak tidak bakal terima. Paham?!”

“Paham, Pak!”

Usai. Dan mereka bisa istirahat sebelum masuk ke matkul berikut.

"Ika, kita ke kantin yuk?" Ngajaknya.

Justru .. "Tapi.." Sambil menunjuk arah di mana Cristin duduk, pojok kelas, ngambek.

"Kenapa lagi?" Avita dongkol sambil menahan emosi.

Terlalu kekanakan sekali. Hanya tidak di respon telponnya main ngambek seperti anak kecil saja.

Apa susahnya bicara? Bukan anak kecil yang harua di samperin trus di beri permen.

Come on, sudah sama-sama dewasa. Kuliah. Apakah tidak malu dengan label tersebut?

Avita merasakan ikatan itu akan retak, karena kelabilan sikap Cristin selalu di bela oleh teman kepercayaan itu.

Dan nafsi selalu berada dalam penempatan selalu salah padahal tidak melakukan sikap menyebalkan seperti halnya Cristin berikan. []

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!