"Kalian...selalu mengingatkanku tentang family Multimedia."
🥇🥇🥇
Belakangan ini, Avita tidak bisa mengelak kalau bergandeng pada sistem informasi selalu mendenyutkan rindu pada alumni family multimedia.
Mereka pergi. Tidak, bisa di ralatkan, kalau gadis itu sendiri yang melenggangkan kaki begitu santai tanpa pusing berpikir tentang kerinduan.
“Vit, suatu saat nanti ko bakal kangen sama mereka. Serius.” Pernah kok Rinta mengingatkan.
Namun, kala itu sangat menanggapi enteng peringatan sahabat sendiri. Yang sekarang, berdebat dengan kehilangan mereka dalam hati.
Walau batas melihat dari jauh, cukup menyenangkan jiwa tanpa perlu terlibat dalam obrolan semasa sekolah. Selalu tersimpan asa, bakal tersapa, nyatanya hanya terabaikan begitu saja, karena salah sendiri, tidak menggabungkan diri.
Dulu, terlalu mengedepankan ego pribadi di tambah minder dalam kepala, membatasi Avita buat cipta obrolan.
Sering mendapati amukan pedis dari dua sahabat, jangan terlalu mengemis perhatian, kalau sudah di abaikan. Ternyata, fakta tidak sepelik itu, kok. Avita saja minder terbuka dengan mereka.
Tanpa sepengetahuan mereka, diam-diam menyelipkan sesuatu dalam bait diksi. Dan ‘Aksara Tersembunyi’ karya perdana sudah berada dalam dekapan family multimedia.
Banyak harap tersirat di bola mata aksara kepunyaan Avita. Serius. Sedalam itu menerbangkan kembali sebuah denyut rindu, semoga bisa menangkap kembali sinyal dari mereka; dapat berkumpul, menikmati kehangatan mereka. Saat semasa sekolah tidak merasakannya.
Namun, tidak sesuai ekspektasi, mereka kadar kepekaan rendah yang buat Avita sempat patah semangat campur marah, ingin merobek karya perdana, memang khusus di buat untuk dedikasi ke mereka.
Sisi lain, berbisik sangat hati-hati tidak bisa segampang itu menceritakan rindu, kalau batas karya. Harus lewat tutur kata secara face bukan tulisan. Ah, menepuk jidat berulang kali. Sedalam itu kah menginginkan ruang mereka, yang telah lama di tinggal?
Jika berharap sesuatu dari feel lewat novel, mustahil sinyal tersebut sampai, jikalau dulu saja sangat tertutup, bukan? Jelas.. Mereka kesulitan menangkap arti rindu berdenyut pada tulisan di buat oleh Avita.
Ada satu teman sekelas sangat tak disukai Avita, memang diakui pandai nyinyir lewat sindirian lewat status dunia maya. Padahal, dia tidak pernah mengusik privasi perempuan itu sama sekali. Justru buat suasana kelas runyam, karena lebih memercayai omongannya. Lita, begitulah nama teman sekelas yang memiliki mulut sangat pedis semasa sekolah.
“Vit, tugas kalkulusmu, sudah?” Clari membangunkan dia dari lamunan.
Yang di balas dengan gelagapan, “belum. Kalau ko?” Membalas dengan lempar pertanyaan yang sama.
“Sama. Kita tunggu Lify saja sudah. Soalnya, tadi malam dia SMS, kalau dia sudah kerja tugasnya.” Sahut Clari dengan santai.
Serius nih, boleh jujur? Avita sangat keberatan, selalu numpang copas tugas teman seangkatan yang terbilang pintar, namun tak di permasalahkan kalau tugasnya di nebeng sama mereka.
Sedikit risi, jikalau terus-menerus minta tugas cuma-cuma. Tetapi, kenapa berbanding terbalik dengan Clari? Sangat senang mendapati hal instan.
Avita hanya menggeleng, setiap kali lihat kelakuan temannya yang satu itu.
Lify sudah datang memberikan senyum mengembang di wajah sembari duduk diantara kedua perempuan itu, “kalian sudah sampai nomor berapa?” Langsung melempari pertanyaan.
“Belum yah. Ini saja ada tunggu ko datang.” Clari membalas tanpa beban.
Tanpa berlama-lama, teman yang lain pada berbondong ikut nyontek. Tunggu, Avita mematung sekilas, melihat pemandangan mereka seperti ini cukup dalam membangkitkan ulang mengenai memoar tersemat pada family multimedia.
Kenangan family multimedia mengalir lewat mereka, yang sedikit menerbitkan sebuah senyum. Sangat getir. Tidak sempat menikmati keharmonisan teman semasa sekolah dulu.
Masih bergeming. Menelan slavina, lagi membuat orang lain terbebani dengan ukuran otak di bawah rata-rata.
Avita sangat pintar di pelajaran Penjaskes dan Bahasa Indonesia. Yah, sering kali suka bingung dan susah memahami di bagian materi majas dan prosa sih.
Ok. Tahu, kalau semasa sekolah sangat tidak bisa dihandalkan sama sekali. Namun, menjadi penyenang hati teruntuk nafsi adalah guru bahasa indonesia yang dulu tidak mengakui kemampuan otaknya, sekarang mengakui karena karya di kelas multimedia; adik-adik kelas Avita.
“Thanks?” Avita pun langsung terbangun dari ingatan masa lalu.
Mereka kembali ke tempat masing-masing, setelah sudah menyalin tugas itu dari Lify. Dan, dosen datang sebelum memergoki sekelas menyontek.
“Tugas di kumpulkan di depan. Yang tidak kerja.. Ibu harap mencatat yang ada di depan infokus. Bagi yang sudah kumpul tugasnya, silahkan kerja tugas yang akan ibu bagikan.” Kata Ibu Rena, dengan penegasan.
Yang lain masih di berikan kesempatan kerja dari beliau.
“We, bagi nomor tiga dulu?! Sa belum nih.” Nifa berbisik, dengan menampilkan wajah tak sabaran.
“Tunggu kah. Lify saja ada cakar cari jawabannya. Ko tulis sudah yang Lify kasih nih.” Clari menyodorkan secarik kertas jawaban itu.
Nifa sih paling banyak gerakan, “kamu?!” Suasana yang sunyi mendadak menegang, mendengar suara lantang dosen killer tersebut.
“S-saya, Bu?” Jawab Nifa, sambil menunjuk dirinya dengan gugup.
“Iya, kamu. Kenapa dari tadi ibu perhatikan, kamu seperti cacing kepanasan, hah?! Tugasmu sudah selesai? Mana.. Sini, ibu lihat?!” Cerocos Ibu Rena.
Perempuan itu membalas dengan cengir tak berdosa sama sekali.
“Kalau belum selesai, jangan banyak ulah dalam kelas! Mau ibu kasih kurangi nilaimu nanti, hah?!” Yang langsung kena skor ancaman.
Avita mengelus dada. Selama hening tadi, tidak ikut-ikutan minta jawaban. Selain duduk tenang, karena bakal tahu, nanti di kasih jawaban sama mereka.
Terus terang saja, dia sangat tidak suka dengan sikap semena-mena sih Nifa, pemaksa dan manja pula.
Hem. Belum ada berapa menit dapat teguran tegas, “yang di belakang, pakai kemeja merah. Kamu, bikin apa di situ?!” Kedua kali, Nifa buat beliau menahan geram.
Sudah tahu jelas kalau dosen satu ini, sangat pelit nilai dan senang melempar kekesalannya satu kelas, nilai mereka yang lain ikut terancam, masih saja mencari-cari keributan dan masalah.
Tapi, bisa di garis bawahi, kalau beli modul terbilang tak masuk akal, nilai aman kok.
“S-saya, Bu?” Ugh..apa kah?! Imbuh Nifa dalam batin.
“Iya. Dari tadi ibu hanya lihat kamu paling gelisah dalam kelas. Tugasmu sudah selesai?!”
“B-belum, Bu.” Di balas dengan cengengesan.
Avita yang menyaksikan hal itu, hanya menggeleng pelan. Heran, kok ada sikap mahasiswi seperti anak sekolahan yah?
“Trus, kenapa dari tadi seperti cacing kepanasan?! Sudah.. Kamu duduk di depan sini!” Jeda tiga detik, “nama kamu siapa?” Beliau bertanya dengan tegas.
“N-Nifa, Bu.” Balas Nifa dengan terbata-bata.
Sangat perdana, Avita melihat teman yang memiliki mulut sarkas mendadak nyali ciut saat berhadapan dengan dosen killer.
Angkuh, semena-mena, arogan, tersemat pada diri Nifa. Sangat kurang suka dengan kepribadian teman sekelasnya itu, serius.
“Oh. Tugasmu sudah sampai mana, Nifa?!” Ibu Rena bertanya, sedikit menekan setiap perkataannya.
“B-belum sama sekali, Bu.” Tergugu di tempat, cukup buat satu kelas ikut menegang.
“Dari tadi kamu bikin apa saja di belakang, hah?! Sudah. Kerjakan sekarang dan jangan menyontek!” Kesal beliau.
“Minta teman ajarkan, Bu.” Mengkilah sesaat.
“Hm. Sudah..sudah, kamu kerjakan sendiri dan jangan sampai ibu lihat kamu nyontek!” Penuh penegasan.
Deg. Mengusik daun telinga kepunyaan Avita, saat mendengar kalimat nyontek dari mulut dosen itu. Ah, padahal, kan, dia memang menunggu jawaban dari teman.
Hue..kalkulus oh kalkulus. Avita hanya merengek dalam batin.
Tapi, “Vit. Sstt.. Sudah belum?” Jella mengode sangat pelan.
Cukup tertegun. Terkejut campur senang.
“B-belum sama sekali. Tidak ngerti oey.” Avita meringis, sebagai jawabannya.
Sekilas Jella terkekeh dan menyodorkan kertas jawaban ke Avita, sudah di tulis sendiri tanpa nyontek di Lify.
“Heh. Buat sa?” Avita masih terheran-heran di bangkunya. Yang di balas anggukan mantap.
“Makasih banyak.” Seru gadis itu dan cepat-cepat menyalin jawaban itu.
Melirik miris ke arah Nifa dan memotret juga upaya Clari yang mencari-cari celah buat sodorkan jawaban, nihil, tidak bisa sama sekali. Terlalu dijaga ketat oleh dosen killer itu.
Terlihat Nifa berdecak, frustasi, belum sama sekali mengisi jawaban itu. Padahal kalau mau di bilang lagi tidak sedang ujian loh. Hanya mengerjakan tugas, memang yah dosen ini terlalu pelit untuk kasih kesempatan minta jawaban di teman.
🎟🎟🎟🎟
“Hm. Trapp sudah, tadi hanya jawab lima nomor.” Sahut Nifa dengan pasrah.
Sudah duduk dalam kantin.
“Haha, makanya, kalau Lify belum. Jangan tanya-tanya trus.” Jella tertawa puas, sebagai balasannya.
Nifa mendelik begitu sebal. “Ayo ah..pesan makanan, lapar.” Ketusnya.
“Ok.” Lify pun berdiri setelah catat pesanan mereka.
Ngobrol ringan sambil nunggu makanan diantar ke atas meja mereka.
“Eh, ada tugas Bahasa Inggris kah?” Cetus Nifa tiba-tiba.
Melihat mereka kompak menggeleng, tidak dengan Avita. Sangat emosi dalam diam, seriusan, sudah sejak dari kelas pagi memicu boomerang.
Apaan sih, tampang doang yang cantik, tapi hobi nebeng di otak teman.
Suka heran, kenapa banyak kakting kejar-kejar perempuan yang memiliki otak kosong? Miris, tertipu dengan wajah cantik tapi hati licik. Tidak segan-segan untuk memanfaatkan mereka, apalagi yang punya mobil dan banyak uang.
“Kalian tidak pengen kembali kah ke masa-masa SMA?” Kata Nifa.
Cukup buat dada Avita sakit, mendengar sebuah kisah manis semasa sekolah yang belum pernah di rasakan oleh gadis itu di ruang penuh harmonis kepunyaan family multimedia.
Kenyang hati. Duduk menjadi penonton, karena tidak ada hal menarik buat di bagikan selain terdiam di tempat.
“Aduh. Betul sekali, sa juga pengen loh kembali ke masa SMA. Anak-anaknya seru.. Apalagi teman-temanku sudah pada kuliah di luar. Susah untuk kumpul lagi.” Seru Jella.
“Iya. Benar, sa juga kangen teman-teman SMA-ku.” Nifa membalasnya dengan wajah lirih.
Oh, di balik kecentilan sosok Nifa, ada rasa sedih juga? Ingin sekali menyemburkan tawa.
Apakah Nifa menganggap teman kampusnya ini? Atau jangan bilang hanya sekedar menggunakan otak Lify yang pintar, memanfaatkan lagi kah.
Sepulang kampus, ingin memejamkan kedua bola mata. Tapi, mendadak dapat undangan buat nongki di kopi indonesia.
Melongo campur desir yang berbisik rindu, bisa duduk merasakan canda mereka setelah sekian lama tak bersua.
Sisi lain, ada rasa tak terima, kenapa baru sekarang baru menyadari kehadiran Avita? Sudahlah. Itu sudah lewat.
Melirik jam, masih ada tiga jam buat istirahat. Sudah buat janji pukul tujuh malam waktu indonesia timur, mereka bertemu di sana.
Setelah merasakan enakan, siap-siap buat mandi, mereka juga sudah pada nyariin dia. Ada cengir kuda terpancar begitu lepas selama ini menyembunyikan senyum palsu di kampus. Lega. Begitulah yang bisa Avita deskripsikan.
Beberapa menit berlalu, sudah sampai di sana. Di sambut begitu manis pun di prilakukan istimewa. Ada apa? Bertanya dalam benak, sangat penasaran.
Namun, tak bisa menyangkal telah menyisipi sebuah haru dalam hati. Kenapa baru saat ini?
Ah.. Rinta, apa yang di katakan sewaktu sekolah benar. Nafsi lebih mementingkan bisikan minder dalam batin. Sangat humble dan care terdekap oleh obrolan malam ini.
Sangat menyesal, kenapa dulu terlalu asik mengikuti ayunan kaki di pintu bertuliskan bodoh yang menjadikan nafsi terjeruji oleh sunyi.
Avita tidak bisa mengendus sesuatu palsu di cerminkan oleh alumni family multimedia, sangat nyata dalam memancarkan ketulusan.
Apkah pantas menyamakan sifat hangat tersebut dengan siang tadi sepulang kampus..
“Nanti pulang, sa nebeng sama ko, eh, Vit?” Kata Clari.
Memang terkesan klasik, tetapi Avita tidak bisa merasakan arti tulus yang digambarkan sangat jelas di berikan oleh mereka saat ini berada di kopi indonesia.
“Oh, boleh.” Hanya ini sebagai balasan dari ucapan teman sekampusnya.
“Tapi, nanti kasih turun depan pangkalan ojek, dekat kampus saja. Biar sa cari taksi di situ.” Sahut Clari.
Berlebihan, nggak sih, hanya obrolan singkat yang di tawari pada nafsi sudah sangat cukup menyenangkan. Karena, tidak ada ucapan minta tolong bantuannya dari teman semasa sekolah dulu seperti apa yang sudah Clari tunjukkan siang tadi.
“Kenapa?” Avita langsung bertanya, apa yang buat mereka mengundangnya ke sini.
Jafar, selaku orang yang meminta gadis itu buat datang ke sana, dalam memenuhi keinginan yang mau di sampaikan ke seseorang di sukai, lewat prantara, dibuatkan buku.
Sebelum itu, mendiskusikan satu karya yang terbilang absurt ke Avita, membuka sesi workshop kepenulisan dadakan, kah? Mereka berbodong bertanya, untuk siapa buku itu? Sedikit menggoreskan senyum di wajah, begitu senang.
Saat memberitahui alasan hadirnya karya perdana, di terima sangat bagus pun tulus oleh mereka.
“Vit, kenapa ko menuliskan sesuatu yang bahkan ko tidak ada di dalamnya?” Sempat Jafar berkomentar, sedikit heran.
“Yah. Karna sa tidak ada di dalamnya itu, sa jadikan kado buat kalian.”
Penantian penuh harap lewat aksara, sudah berada di bingkai simfoni, saat mereka mengakui keberadaannya, tak lagi terabaikan.
Dan, “bantu sa jadian kah sama Laras?” Jafar pun kembali ke topik inti.
“Heh, maksudnya, sa buatkan dia buku gitu?” Yang di balas sangat heran dari Avita.
Sebentar, ada dentum berdecih sangat retak dalam batin. Salah satu mimpi Avita, bisa mendapati kado berupa buku.
Ah. Jafar bikin iri saja.
Mengambil napas panjang dan membuangnya sedikit gusar, setelah lihat anggukan mantap dari teman semasa sekolahnya itu.
“Yasudah. Apa yang harus sa lakukan? Karena sa tidak tahu apa yang ingin ko sampaikan ke dia.” Avita pun langsung memutuskan.
“Curhat boleh, Vit?” Pinta Jafar.
Tanpa kata panjang, mengambil HP dan buku kecil, sebagai catatan penting dari isi curahan Jafar nanti.
Berpacu sangat maraton, seperti memeluk impian di mana nafsi duduk sembari menunggu pertanyaan dari peserta workshop kepenulisan, mengupas isi karya Avita.
Membayangkan hal itu saja cukup buat dia senyam-senyum sendiri.
“Cukup. Em, sepertinya cuma ini saja yang sa bawa. Selebihnya nanti kalau ada kekurangan, sa hubung ko saja.” Kata Avita.
Sudah ada sedikit gambaran, apa yang bakal di tuangkan ke dalam tulisan di tambah rekaman suara, membantu dia mendapati ide.
Dari tadi isi kepalanya terusik dengan kalimat belum mau pacaran dulu selama mendengarkan curahan Jafar. Alasannya adalah tidak mau patah berulang lagi.
Berbincang sebentar dan berpamitan, mengingat ada tugas yang harus dikerjakan karena besok harus di kumpulkan.
Berat. Saat langkah itu pergi meninggalkan mereka yang telah menangkap sinyal rindu lewat karya absurt.
Lain waktu, semoga bisa sedekat ini lagi. Gumam Avita, lalu melambaikan tangan ke mereka. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments