Kepercayaan seorang Teman

"Indah. Bukan berarti tidak memiliki sisi buruk, toxic friends ternyata berselimut dari kepercayaan seorang teman yang disalagunakan dan gemar lihat teman sendiri jatuh di lingkar gagal dengan sengaja." -Adinda Shintya Dewi-

                        🥇🥇🥇

2016,

Aneh...

Sudah mengambil selembar formulir bahkan telah duduk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi.

Berbanding terbalik saat dua tahun lalu, ketika dua sahabatnya maksa buat ikut isi formulir, selalu menentang keras; menolak.

Sekarang? Setelah hilang kabar dan pergelutan terjadi lagi. Kenapa mendadak ada rasa penasaran ingin ikut seleksi?

Hoam. Membuang napas pasrah dan bodoh amat.

Gadis itu pun hanya menunggu pengawas masuk, beri selembar kertas ujian ke calon maba.

Tunggu. Rejeki sekali, dapat kertas yang sudah diisi jawaban.

Tiba-tiba saja ada semangat dalam diri, tertawa geli di tempat. Ingin mengulur waktu, supaya tidak terkesan nyontek teman sebangku.

Menit-menit terbuang sekitar lima belas menit, Avita pun berdiri setelah ada dua calon maba berjalan ke depan kelas, mengumpulkan kertas ujian itu di atas meja dan di persilahkan keluar oleh pengawas.

Esok hari ..

Datang melihat hasil, masuk di jurusan mana. Avita sengaja ambil dua jurusan, Teknik Informatika dan Sistem Informasi.

Agak sedikit bingung di mana papan pengumuman, setelah bertanya di salah satu kakting yang lewat sekitar lapangan kampus, “oh, ade cek di sana.. Papan pengumuman dalam aula.” Jari itu mengarah ke ruangan yang luas.

Mengangguk paham dan berterima kasih, lalu menggerakkan kaki dengan cepat. Setelah masuk ke dalam, ramai sekali.

“Permisi..” Avita mencoba membela kerumunan, dan berhasil sampai di depan pengumuman.

Kedua bola mata mencari-cari mulai dari deret pertama, sudah mulai lesu, tidak tertera sama sekali namanya di jurusan Teknik Informatika.

Tapi, tunggu, ada peluang kedua, Sistem Informasi.

Hamdalah. Kalimat pertama yang muncul dalam batin, lalu diikuti.. “Yes, lulus!” Penuh kegirangan.

Spontan menjadi sorot perhatian dalam keramaian.

Hanya tertawa geli sambil berusaha keluar dari kerumunan dengan permisi. Sudah tidak sabar buat bawa pulang keberhasilan bisa masuk ke perguruan tinggi ke Mama.

Sampai di atas motor, menyumpal headset dulu di telinga. Perjalanan ke rumah sangat bahagia sekali.

Tapi.. Ada sesuatu yang mengusik isi kepala. Namun, berusaha sekuat mungkin buat tidak memikirkan hal-hal mematahkan mental asa ingin duduk menjadi mahasiswi.

Di rumah, tidak menemukan Mama.

“Mama di kiosnya om.” Kata Adiknya, Silla.

Seperti tahu apa yang kakak-nya cari, langsung memberitahuikan secara point. Avita gerakan cepat ke depan, melihat mama lagi sibuk dengan catatan pelanggan di tangan.

“Ma..” Avita memanggil, dengan sedikit rasa ragu.

Tidak ada respon sama sekali, selain masih sibuk dengan catatan itu.

Dia berusaha mengalihkan perhatian beliau, yang langsung.. “Apa kah, Avita?!” Di muntahkan kekesalan dari Mama.

Sedikit menciut nyali itu untuk menyampaikan keberhasilannya bisa tembus di salah satu perguruan tinggi. Jikalau sudah mendapati intonasi pelik.

Wajar. Hal lumrah, setiap kali ingin bicara, selalu di anggap tidak terlalu penting oleh keluarga atau pun mama sekali pun; dianggap anak kecil di mata mereka.

Berdesir dalam hati, bermain-main begitu sakit.

Avita mengupayakan untuk membuang pikiran kalut tersebut, karena ada hal penting harus di kabarkan. Pun, tahu diri juga, kalau mama sebatas penjual kue seribuan yang di titipkan ke etalase orang lain. Itu pun tidak menentu pendapatan yang di dapatkan, kadang ada kue yang rusak. Tapi, boleh kah merajut asa dalam menjemput label mahasiswi?

Karena ingin mengejar ilmu tertinggal semasa putih abu-abu, hanya di pikirkan dalam kepala adalah bermain, bukan belajar serius.

Avita juga tahu, kalau mama pasti tidak sanggup bayar uang spp per-semester nanti, kan? Apalagi nanti di patahkan oleh mulut pedis keluarga, atas dasar otak tak setara dengan orang pintar di luar sana, seringkali memborong prestasi di sekolah.

“Vit.. Trada anak yang bodoh, hanya malas. Dan, ko bisa kuliah sampai pakai toga!” Seru Flora.

Di ingatkan lagi mengenai motivasi dari sang sahabat sewaktu sekolah, yang selalu mengatakan diri memiliki otak di bawah rata-rata.

Ada senyum mengembang, ralat.. Sedikit terukir di wajah Avita.

Sempat ada pemikiran apa kelulusan ini sebagai hiasan saja kah? Di kepala gadis itu. Namun, setelah ingatan tentang ucapan Flora, membangkitkan lagi semangat dalam diri.

Cukup lama dia berdiri, menunggu mama selesai dengan catatan kecil, namun melihat orang semakin banyak. Sedikit risi dalam menyampaikan kabar itu ke telinga beliau.

“Ma..” Lagi, Avita memanggil.

Dan, di balas dengan dehaman saja, tidak minat untuk mendengarkan ucapan selanjutnya.

“Ini,” langsung memperlihatkan sesuatu di benda pipih-nya itu.

Setelah melihatkannya, penuh asa dalam hati. Menunggu respon mama untuk diberikan lampu hijau buat lanjutkan pendidikan di bangku kuliah.

“Kenapa?” Penuh tak minat, setelah itu mengalihkan ke aktifitas sebelumnya.

Fiuh, membuang napas pelan, sedikit gusar. Tapi.. Usaha itu harus bisa mendapatkan restu, Avita mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga, “Avita mau kuliah, Ma.” Merengek.

“Kuliah sudah toh.” Mendapatkan balas yang begitu ketus.

Melongo, suara retak berasal dari dalam dada. Sudah bisa di lihat, kalau mama tidak memperbolehkan ananda lanjut kuliah.

Avita pun memilih buat pulang, membawa kabar nestapa buat menimang-nimang luka cita, tak mendapati harap lebih selain meringis dalam batin.

Sudah berhari-hari memungut harap, tak berhenti dalam menyakinkan mama, bisa kuliah tanpa harus membebankan orang lain. Melainkan usaha sendiri, mendapatkan nilai memuaskan.

“Ma.. Janji, saya tidak bakal beli buku-buku sembarang.” Kata Avita, berusaha menyakinkan beliau.

Ada sebuah sorot meragu namun di susuli dengan helaan napas pasrah dari beliau, lelah berdebat persoalan permintaan yang sama tiap hari dengan ananda.

“Tapi, ingat eh? Jangan beli buku-buku sembarang. Sudah.. Nanti uang pembayaran masuk kuliahmu mama kasih hari Senin. Tapi.. Kapan kah terakhir di bayar?” Kata mama akhirnya di susuli pertanyaan penasaran soal pembayaran awal spp-nya.

Asyik!! Avita berseru sangat senang dalam batin. Sesenang ini kah, bisa mendapati restu bisa melanjutkan kuliah?

“Siap, Ma! Hari rabu besok.” Jawab Avita sangat gembira.

“Hm. Nanti mama kasih sudah.” Putus beliau akhirnya.

Dalam batin, bertekad kuat buat menghasilkan rupiah sampingan; menjadi novelis. Supaya bisa bantu bayar spp kuliah juga, insyaallah.

Seminggu ini berjalan, namun belum percaya dengan keindahan telah di dapatkan dari beliau. Avita menghirup udara sebagai mahasiswi, duduk dalam aula, mengikuti kuliah umum.

Di tengah-tengah materi di berikan, sedikit curhat mengenai kesehatan diri dengan teman seangkatan, “saya itu, kalau jongkok trus berdiri, sering pusing, itu kenapa eh?” Kata Avita.

“Sudah periksa ke dokter?” Balas Lify.

Hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya. Sudah pernah periksa di tantenya, yang bidan, darah normal. Menjadi pertanyaan, penyakit apa yang buat dia sering sakit kepala?

Nyesal sih, kenapa bertanya ke salah satu teman seangkatannya itu, terkesan mengejek.

Pernah juga, bercerita tentang teman semasa sekolah di Clari, “kita itu kalau berteman tidak cuek bebek. Saling welcome tanpa lihat dari segi otak.”

Sembari berbisik, apakah pantas mereka di berikan sebagai kepercayaan sebagai teman? Sebab, terlalu cepat Avita mengambil langkah, terbuka, oversharing ke orang baru.

Sisi lain, berharap bisa saling bergandeng sampai mengenakan toga tanpa perdebatan unfaedah.

🎟🎟🎟

Lagi cuaca tidak bersahabat, hujan. Sambil menunggu dosen datang, pasti telat karena cuaca seperti ini.

Yang membuat Avita bermain-main di pintu nostalgia dan menemukan dua sosok menyebalkan, selalu mendorong semangat malas belajar buat bisa duduk menyandang lavel mahasiswi.

Yah. Mereka bertiga duduk dalam kamar, saat sore hari sepulang sekolah.

“Kuliah eh?” Kata Avita, tak ada minat sama sekali.

Perkataan itu tercetus cuma-cuma saat selalu di tawari perulangan tanpa mengenal bosan dan lelah mengenai perkuliahan yang katanya sangat indah, dari dua sahabatnya.

Mereka juga tahu sendiri, bagaimana porsi otak Avita, bodoh dan payah. Namun, kenapa selalu mendorong dirinya supaya ngambil selembar kertas pendaftaran masuk perguruan tinggi?

Biar pun di balas dengan kata pedis dari Avita, tidak menggoyahkan keinginan mereka lihat sahabat keras kepalanya masuk kuliah.

“Vit, kuliah tidak sama dengan sekolah. Cukup rajin masuk dan kerja tugas, nilaimu aman.” Sahut Flora, dengan menggebu.

“Ih, betul yang di katakan Flo. Tidak susah kok.” Tambah Rinta.

Dia pun membuang napas, begitu gusar. Bingung, cara apa lagi untuk menolak ajakan mereka berdua?

Memerhatikan dua sahabatnya, dengan tatapan penuh masa depan, cocok buat mereka, karena ada keinginan kuat. Apa kabar dengan Avita? Naik kelas saja, kudu terbantu oleh wali kelas, supaya tidak tahan kelas. Gimana mau lanjutin kuliah?

“Tidak tahu eh, tidak ada uang untuk kuliah.” Dan, Avita langsung menolak, begitu halus.

“Kuliah sudah, Vit. Kerja tuh gampang, kalau ko sudah lulus kuliah.” Flora selalu berikan kalimat optimis ke sahabat keras kepalanya itu, supaya mau kuliah.

Menggelengkan kepala dan sodorkan kembali formulir itu ke mereka.

Justru, “simpan saja sudah. Siapa tahu, besok ko berubah pikiran?” Rinta menampik halus dan menyimpan kertas itu diatas printer sahabatnya.

Yang di balas dengan wajah melongo dari Avita. Jadi.. Mereka simpan cercah jikalau dia bakal isi formulir itu, kah?

Di sekolah pun seperti itu, di buntuti yang menciptakan emosi berasal di mulut Avita.

“Cukup, Rin, Flo! Sa sudah muak. Kalian tahu sendiri, kalau otakku tidak mampu. Kalian saja yang kuliah.” Putus Avita, sangat muak.

Tidak sadar, mendengar suara guntur, sedikit terkejut. Ah.. Dia pun kembali ke pintu nyata, melihat hujan belum berhenti. Ada senyum tipis di tampilkan.

Lalu, lima belas menit kemudian, muncul sosok Clari berlari-larian dari lapangan dan berdiri depan pintu kelas, “Vit.. Dosen belum datang?” Serunya, sedikit menahan kakinya untuk tidak masuk dulu.

Karena melihat Avita lagi duduk di bawah tangga FIKOM.

“Belum. Masih hujan begini.” Avita pun menimpali santai.

Clari ngangguk paham, dan duduk di samping Avita sambil berbincang ringan.

“Vit.. Masuk kelas yok?! Dingin nih,” merasa sudah menggigil, perempuan itu pun ngajak Avita buat duduk dalam kelas saja.

Tanpa kata langsung berjalan pelan ke arah kelas, karena ada genangan air hujan.

“Hari ini coba libur kek. Duh.. Sa berharap sekali kalau hari ini dosen cuma kasih absen trus pulang.” Cetus Clari penuh harap.

“Amin..” Avita membalasnya dengan sedikit terkekeh.

Melihat Nifa lari tergopoh-gopoh, sambil mengibas jaketnya yang basah.

“We, dosen belum datang toh?” Sahut Nifa, masih di depan pintu kelas.

Kedua perempuan itu menjawab kompak, “belum.”

Setelah itu, “sebentar kumpul tugasnya Pak Murya toh?” NIfa bertanya, sangat penasaran.

Serius. Sangat mendadak, tidak tahu apa-apa soal tugas terbilang susah bagi porsi otak Avita.

Samar, bermain lagi sebuah nostalgia mengenai hubungan bersama teman smk, sangat humble penuh harmonis.

Namun, Avita tidak bisa menyamakan dengan mereka yang sudah pergi mencari masa depan masing-masing di luar sana.

Tetiba saja ada sesal dalam batin, sudah sia-siakan pertemanan itu dengan family multimedia.

Sistem informasi tidak bisa menyamakan posisi kehangatan alumni semasa sekolah dalam hati Avita.

Karena, tugas kuliah saja sangat pelit buat di informasikan dalam grup. Bagaimana mau menggambarkan sebuah solidaritas?

Pikiran buruk itu pun terhempas, ketika.. “Ah, itu cuma latihan. Tidak di kumpulkan.” Clari menimpali penuh kepastian.

Yang juga bisa menenangkan perasaan ketar-ketir kepunyaan Avita dalam diam. Hanya latihan, berarti dosen tidak bakal periksa semua tugas mahasiwa dalam kelas, bukan?

Sekilas informasi, seminggu ini sudah masuk kuliah tapi tidak secepat itu menciptakan obrolan. Walau sudah menjadi teman kepercayaan sekali pun. Yang di bahas hanya seputar tugas kuliah saja. []

.

.

Guys .. Jangan lupa dukung karyaku yak. Jangan lupa tinggalkan vote dan koment kalian.

Thank kyu.

Salam sayang online,

Dinn

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!