Seminggu pun berlalu. Semenjak ucapan talak keluar dari mulut sang suami dan dirinya yang diusir. Galexia pergi membawa anaknya yang masih dalam perut ke rumah lamanya. Ya, dia masih memiliki rumah. Walau kecil dan sederhana. Namun, rumah ini begitu nyaman. Tak sia-sia jika dulu dia menabung dari hasil kerjanya untuk membeli rumah ini dan ternyata sekarang, bangunan ini benar-benar menjadi penyelamatnya.
Tepat hari ini, surat cerai datang dari utusan sang suami. Galexia yang kala itu sedang menyiram tanaman. Langsung mengambil kertas coklat dan membawanya masuk ke dalam rumah. Matanya menatap kertas yang berlogo pengadilan agama. Tanpa ia buka, Sia juga paham apa isi surat itu.
Namun, bagaimanapun dia harus sanggup membukanya. Sambil menenangkan hatinya, perlahan tangan lentik Sia bergerak membuka amplop tersebut. Membuka lipatan demi lipatan hingga tak lama kata demi kata di kertas putih itu terlihat.
Matanya bergerak dengan cepat. Dia membaca semua kata itu hingga pandangannya jatuh pada satu kalimat. Alasan perceraian ini karena dirinya melakukan perselingkuhan. Tanpa terasa kertas itu perlahan jatuh dan bersamaan air mata mengalir di kedua sudut matanya. Dadanya terasa sesak seakan dihimpit beban berat di sekelilingnya.
Hingga pikirannya tersadar akan keberadaan sang buah hati yang berada di dalam tubuhnya. "Maafkan mama ya, Nak. Mama janji ini adalah kesedihan mama yang terakhir kalinya. Setelah ini kita pergi dari sini dan meninggalkan segala luka yang ditorehkan pada hati Mama."
Akhirnya beberapa hari kemudian, Galexia menghadiri persidangan perceraiannya dengan sang suami. Dengan mulut yang bungkam, dia hanya bisa menerima segala tuduhan yang dikatakan oleh pengacara sang suami kepadanya. Hingga sidang terakhir selesai, keduanya resmi bercerai dan tak memiliki ikatan apapun lagi.
Mengingat janji dengan sang calon buah hati, tak ada lagi raut wajah beban pada diri Galexia. Wanita itu bahkan dengan sikap tenangnya keluar dari persidangan tanpa menatap wajah mantan suaminya. Dia tak mau menangis ketika melihat wajah yang selalu membuatnya jatuh cinta.
Hingga tak lama, dari belakang terdengar sayup-sayup suara seseorang memanggil namanya hingga membuatnya berbalik.
"Bagaimana?" tanya Pandora menatap wajah mantan menantunya dengan senyum penuh kepuasan. "Aku sudah mengatakan, 'bukan? Jika aku bisa menghempaskanmu dari hidup anakku dengan mudah."
Galexia menatap mantan ibu mertuanya tak percaya. Dia tak menyangka jika obsesi Pandora untuk membuatnya berpisah sampai di titik ini. Apakah ada ibu macam dirinya yang merusak kebahagiaan anak hanya karena kasta yang berbeda? Sungguh licik sekali jika pemikiran seperti itu masih ada.
"Aku pergi bukan karena aku kalah, Ma. Tapi aku hanya ingin melihat. Sampai mana titik penyesalan suamiku yang menceraikanku karena mengandung benihnya ini," ucap Galexia penuh penekanan dan langsung pergi meninggalkan mantan mertuanya.
Dia sudah tahu jika ini semua rencana mertuanya. Namun, Galexia tak mau membalas. Dia yakin jika apa yang terjadi hari ini, pasti ada hari penyesalan yang Allah siapkan ketika tabir kenyataan terungkap.
****
Setelah mengemasi segala pakaiannya, Galexia segera keluar dari rumahnya. Sebentar, dia menatap bangunan yang menjadi tempat tinggalnya beberapa hari ini. Dia menatap rumah yang memiliki banyak kenangan itu dengan mata berembun. Sia memang sudah mengambil keputusan. Dia sudah menjual rumah ini dan memilih tinggal di kota kecil.
Dia tak mau mengingat segala hal tentang kota ini lagi. Dia tak mau melihat seberapa banyak tempat yang menjadi kenangannya dengan sang suami. Semuanya sudah selesai dan dirinya telah menutup kenangan itu dengan rapat.
Sedangkan di tempat lain, seorang pria tampan tengah menatap pigura besar yang masih terpajang indah di kamarnya. Dia menatap dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan. Ada perasaan benci, marah, cinta dan rindu melebur jadi satu. Namun, mengingat pengkhianatan sang istri, membuat cintanya berubah menjadi benci.
Tak lama, lamunannya buyar karena suara sang mama yang memanggil diikuti pintu kamar yang terbuka.
"Semua sudah siap?" tanya Pandora menatap jengah putranya yang tengah mengamati foto pernikahannya.
"Sudah, Ma," sahutnya dengan menunjuk koper yang berisi pakaiannya.
Pandora mendekat ke arah sang putra. Dia menepuk kedua pundaknya dan memberikan senyuman. "Lupakan semuanya. Dia sudah berkhianat dan tak ada hati serta cinta sedikitpun untuk seorang penghianat. Betul?"
Sang pria mengangguk. Dia menatap figuran tersebut sekali lagi sebelum mengikuti langkah kaki mamanya. Setelah ini tak akan ada lagi kamar ini dan kenangannya. Tak ada lagi senyuman apapun. Dia berjanji akan mengembangkan perusahaan miliknya yang berada di New York agar bisa bersanding dengan perusahaan entertainment besar lainnya di sana.
Dia berusaha melupakan semuanya dan berjanji akan fokus bekerja sehingga pikirannya benar-benar hanya ada untuk bekerja dan bekerja.
****
Cuaca siang di Kota Jakarta begitu panas. Hingga membuat Galexia yang menunggu kereta di stasiun harus menahan suhu tinggi yang terasa begitu menyengat kulitnya. Ditambah banyaknya orang berlalu lalang membuat kepalanya sedikit pusing. Sepertinya kondisi tubuhnya karena hamil juga membuatnya lemah seperti ini.
Saat kereta yang ia tunggu sudah tiba. Galexia segera menarik kopernya dan berjalan memasuki kereta bersama pengunjung yang lain. Matanya segera menatap kursi mana yang kosong dan mencari kursi yang membuatnya nyaman.
Satu persatu kursi mulai dipenuhi. Hingga tak lama, sakit di kepala Sia terasa semakin berdenyut dan membuatnya tanpa sadar mencengkram lengan seseorang yang duduk di sampingnya. Nafasnya kian berat, dadanya kembang kempis dan membuat matanya sedikit mengabur. Namun, samar-samar dia mendengar suara seorang lelaki asing memanggilnya dengan diiringi sebuah aroma yang begitu menenangkan hingga membuat Sia sedikit lebih lega.
Sambil menghirup aroma yang entah milik siapa. Perlahan mata Sia terbuka hingga tatapan miliknya langsung bertabrakan dengan manik mata seorang pria tampan di depannya. Wajah keduanya yang berdekatan membuat Sia segera sadar dan menjauhkan kepalanya.
"Aw," lenguh Sia saat kepalanya tanpa sengaja terantuk besi kereta di belakangnya.
"Apa Anda baik-baik saja?" tanya pria tersebut hingga membuat Sia yang mengelus belakang kepalanya mengangguk.
"Terima kasih."
"Sama-sama. Lain kali jika sakit, jangan bepergian," tegur pria itu hingga membuat mata Sia memicing tak suka.
Siapa dia, baru kenal sudah berani berkomentar, gerutunya dalam hati.
"Jangan menggerutu dalam hati, Nona. Lebih baik sampaikan langsung."
Wah dia benar-benar bisa membaca pikiran, lanjut batin Sia yang menatap wajah pria tampan di depannya.
"Maaf." Setelah mengatakan itu. Sia segera mengalihkan pandangannya ke depan. Sungguh dia merasa malu sudah bertindak ceroboh dan ketahuan sedang menyumpah serapahi pria itu.
"Kenalkan, namaku Antariksa. Panggil Riksa," ucap pria itu dengan wajah santai.
Sia menoleh dan menatap uluran tangan itu dengan alis terangkat. Tak mau semakin malu dia menerima uluran jabat tangan itu sambil memaksakan senyum. "Namaku Galexia. Panggil Sia saja."
Riksa mengangguk. Dia menatap koper yang berada di tangan Sia hingga membuat rasa penasaran muncul di benaknya.
"Apa Anda ingin pindahan?"
Sia tersentak. Namun, buru-buru dia mengangguk.
"Ke mana?" tanya Riksa lagi dengan menatap wajah ayu Sia.
"Surabaya," jawab Sia membuat Riksa mengangguk.
"Tujuan kita sama," kata Riksa membuat Sia menatap tak percaya.
Memiliki tujuan yang sama, entah skapa yang memulai membuat keduanya menjalin obrolan santai. Tentu hal ini membuat Sia begitu senang karena menurutnya bisa mengusir rasa bosan ketika berada di dalam kereta. Bahkan pribadi Riksa yang ternyata friendly membuat Sia tak canggung untuk bercerita. Hingga dari percakapan itulah, membuat Riksa paham jika Sia sedang membutuhkan pekerjaan di kota barunya.
"Jadi kamu pindah ke Surabaya tanpa mengenal satu orang pun di sana?" Sia mengangguk membenarkan membuat Riksa menatap tak percaya.
Ternyata saling mengenal dan mengobrol membuat mereka cepat akrab. Bahkan keduanya sudah begitu santai dalam berbicara.
"Lalu pekerjaan, bagaimana?" tanya Riksa dengan menatap wajah Sia dengan raut wajah bingung.
"Nah itu. Aku sedang mencari."
Riksa hanya bisa menepuk jidat. Namun, dia seketika ingat sesuatu.
"Kamu mau bekerja di tempatku?"
"Hah serius? Bekerja apa dulu?" tanya Sia memicingkan matanya menatap penuh curiga ke arah Riksa.
"Aku punya Cafe di Surabaya. Kalau mau, kamu bisa bekerja di sana," kata Riksa dengan tangannya yang bergerak mengambil stiker nama cafenya dan diberikan pada Sia.
"Wah ternyata kamu benar-benar memiliki Cafe?"
"Kamu kira aku berbohong?"
"Kita baru saja kenal, 'kan? Tentu bisa saja kamu hanya ingin memanfaatkanku," cibir Sia membuat Riksa terkekeh.
"Bagaimana? Apa kamu menerima? Kapan lagi bekerja langsung diajak oleh pemiliknya. Hanya aku yang baru seperti ini," ucap Riksa penuh bangga.
Sia tertawa begitu lepas. Namun, dia menyadari jika Riksa merupakan orang baik. Selain friendly, Riksa merupakan orang yang gampang akrab dan mudah dipercaya. Hingga entah kenapa membuat Sia begitu yakin jika pria itu benar-benar baik dan berniat membantunya.
"Baiklah. Aku mau bekerja denganmu, tapi ingat! Aku juga sedang mengandung saat ini. Jadi harap memaklumi kesehatan bumil yang bisa berubah-ubah," ucap Sia membuat Riksa mengacungkan jempolnya.
"Tenang saja. Aku bisa mengerti dan akan menjagamu," ucap Riksa dengan memandang wajah Sia lekat. "Jika kau juga mencari ayah sambung. Aku siap menjadi ayah yang baik untuk anak-anakmu. Bagaimana?"
~Bersambung~
Hayo gimana nih?
Setuju gak, si Riksa jadi bapak sambung buat calon anaknya Sia?
Duhh janda muda masih tedepan loh, Bang. Hahaha!
Jangan lupa like dan komennya ya guys.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Iis
kok aneh menikah karna cinta tp 1 minggu blm mlm pertama
2024-06-10
3
epifania rendo
syukurlah ketemu orang baik
2023-05-29
1
Suryani
sipa nama suaminya kok nda di sebut nama suaminya
2023-05-04
0