*) Sudut Pandang Pertama
...
Sejuk angin pagi membelai lembut pipiku. Menyadarkan agar segera terbangun dari alam mimpi. Pelan-pelan sang mentari pun ikut mengintip dari balik ventilasi jendela. Menandakan jika hari telah berganti bagaimanapun sakitnya hati.
Hari ini aku akan melamar kerja lagi. Entah sudah ke yang berapa kali. Aku terus saja melamar kerja ke sana dan ke sini, berharap ada suatu perusahaan yang bisa menerimaku. Dengan bekal lima puluh ribu, aku kembali bersemangat untuk melanjutkan hidup. Hidup yang katanya sebentar tapi rasanya bikin gemetar kalau tidak mempunyai uang.
Aku hanya lulusan SMA. Tidak pernah mengeyam pendidikan universitas tinggi. Tapi katanya sih otakku ini di atas rata-rata. Ya, walau tidak pernah mendapat peringkat pertama di kelas, setidaknya menjadi bahan contekan teman-teman dulu. Aku juga sempat berhasil masuk lima besar. Lumayanlah daripada lumanyun.
Aku anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku perempuan yang sudah bersuami. Usia kami berbeda sekitar tiga tahun. Tidak jauh sih, hanya jarak kami saja yang jauh. Dia sama sekali tidak bisa diandalkan, apalagi untuk membantu ibu. Semua pekerjaan rumah harus aku yang mengerjakannya. Katanya tidak mau kukunya sampai rusak terkena cairan cuci piring. Ya, whatever lah.
"Selesai."
Selepas mandi kukenakan kemeja putih dan rok hitam setinggi lutut. Tak lupa kupakai sepatu pantofel hitam untuk menunjang penampilanku. Tapi jangan berpikir jika semua ini milikku. Baik baju, rok atau sepatunya, aku meminjamnya dengan tetangga sebelah. Ini juga malu-malu kudatangi rumahnya karena memang tidak punya.
Kehidupan keluargaku tidaklah seindah di sinetron. Rumah berkeramik dengan kitchen set yang bagus. Rumahku hanya berdinding bata tanpa pelapis. Alasnya juga masih semen biasa. Terlebih jendelanya kayu bukan kaca. Jadi kalau malam sudah tiba, dinginnya luar biasa.
Aku masih bersyukur karena bisa makan sehari sekali. Ya, walaupun hanya dengan satu iris tempe dan cabe rawit yang digerus pakai garam. Aku merasa masih lebih beruntung jika dibandingkan dengan teman-teman di jalanan sana. Setidaknya jika bersyukur bisa menentramkan hati ini. Tidak dapat kupungkiri jika aku juga ingin seperti gadis-gadis masa kini. Hang out ke sana kemari dan berselfie ria tiada henti.
"Bu, Ara berangkat dulu. Doain Ara biar keterima kerja," kataku pada ibu yang sudah beranjak lima puluh tahun.
"Ya, ibu doain. Semoga kali ini lulus tesnya." Ibu memberi restu.
Tak lupa kucium tangannya sebelum berangkat menuju tempat interview. Setelahnya segera kulangkahkan kaki menuju gang rumahku, berniat mencari ojek agar bisa cepat sampai ke sana. Kebetulan hari ini tempat interview tidak dapat dilalui angkot, jadi ya terpaksa menggunakan ojek. Dan setelah tawar-menawar, akhirnya harga pun ditetapkan. Sepuluh ribu rupiah karena kebetulan masih ada hubungan saudara.
Sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya aku berdoa, berharap Tuhan menurunkan keajaiban agar aku lekas bekerja. Aku kasihan sama ibu yang harus mendapat upah cuci-gosok untuk menghidupiku. Sekolah saja mendapat bea siswa karena tidak mampu. Ya, aku akui jika berasal dari keluarga tak mampu. Tapi, aku tidak mau selalu seperti ini. Aku ingin menjadi orang kaya yang katanya mau apa saja ada. Impianku hanya satu, membuat ibu pensiun dari pekerjaannya agar ibu bisa menikmati masa senjanya. Itu sajalah, belum ada yang lain.
"Kantornya yang ini bukan, Ra?" tanya tukang ojek padaku setelah sampai di depan gerbang kantor.
"Oh, iya. Sampai di sini saja kalau gitu, Kak." Aku lekas-lekas turun dari motor lalu memberikan ongkosnya.
"Semoga berhasil." Tukang ojek itu memberi semangat padaku.
"Makasih, Kak." Aku pun tersenyum lalu lekas-lekas masuk ke halaman kantor.
Hari ini aku melamar kerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Semoga saja aku bisa keterima di sini.
Dua jam kemudian...
Psikotes cepat telah berhasil kuselesaikan. Ternyata bukan hanya aku saja yang melamar kerja di tempat ini. Banyak sekali pelamar, mungkin ada dua puluh orang lebih. Tapi aku yakin jika nilai psikotesku tinggi. Aku sudah terbiasa berhitung cepat, jadi tidak terlalu sulit melewatinya.
Kini aku mendapat giliran sesi wawancara dengan pihak personalia, sedang para pelamar lainnya menunggu di luar. Waktuku tak banyak, setiap orang hanya akan mendapat jatah interview lima menit saja. Aku pun berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan simpatik dari penginterviewku.
"Saudari Ara?" Dia menyebut namaku.
Aku duduk manis di hadapan seorang pria dewasa, yang menurut pandanganku tidak terlalu malu-maluin amat jika diajak kondangan. Tapi sayangnya, pria ini sulit sekali untuk tersenyum.
Mungkin giginya ompong kali, ya?
Dalam posisi seperti ini aku masih saja sempat menggibah orang. Dan orang yang kughibah itu adalah orang yang menentukan lamaran pekerjaanku diterima atau tidak.
"Iya, Pak." Aku memanggilnya dengan sebutan pak.
"Hasil psikotes Saudari cukup baik. Tapi sayangnya, penampilan Saudari terlalu polos. Apa Saudari tidak bisa menggunakan make-up?" tanyanya yang sontak membuatku kaget.
"Bisa, Pak. Saya bisa memakai make-up. Tapi masalahnya saya tidak punya make-up, Pak." Aku jujur saja padanya.
"Astaga. Hari gini ada ya perempuan yang tidak punya peralatan make-up?"
Kulihat pria di depanku ini menepuk jidatnya. Aku jadi heran mengapa dia seperti itu. Padahal aku hanya mengatakan hal yang sejujurnya saja, jika memang tidak mempunyai alat make-up.
"Saudari Ara, kami adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Jika dengan penampilan seperti ini, maka sayang sekali kami tidak bisa menerima lamaran pekerjaan Saudari." Dia terus terang padaku tanpa ba-bi-bu.
"Tapi, Pak. Nilai psikotes saya tinggi." Aku mencoba mengajukan banding padanya.
"Ya, ya, saya tahu. Tapi tetap saja, untuk menunjang kehidupan di masa sekarang, tidak hanya butuh kecerdasan, tapi juga penampilan yang menarik. Dan sayangnya hal itu tidak ada pada diri Saudari," katanya lagi.
Astaga ... ini seperti body shaming untukku.
"Saudari Ara bisa kembali melamar jika penampilan Saudari sudah lebih baik. Terima kasih atas kedatangannya. Ini berkas lamaran kerjanya saya kembalikan."
Betapa hancur hatiku melihat hal ini terjadi. Lagi dan lagi aku ditolak kerja. Entah mengapa rasanya sakit tapi tidak berdarah.
"Baik, Pak. Terima kasih."
Kupegang map lamaranku, kudekap di dada seraya keluar dari ruangan interview. Aku berusaha tegar dan kuat menghadapinya. Pelamar yang lain pun bergantian masuk satu per satu. Sedang aku ... aku terus berjalan ke luar ruangan dan melangkahkan kaki menuju gerbang kantor ini.
Ya Tuhan, apakah wajahku amat tidak menarik sampai harus ditolak lagi?
Kupegang pipiku, kurasakan jika masih berbentuk manusia. Tidak terlalu buruk-buruk amat. Tapi nyatanya, aku harus kembali menerima kegagalan ini. Rasanya mulai lelah. Berulang kali melamar pekerjaan, berulang kali juga ditolak.
Ya, sudahlah. Yang penting aku sudah usaha.
Dengan lemas kulangkahkan kaki menuju gerbang kantor. Berjalan sebentar hingga ke ujung jalan untuk mencari angkot yang lewat. Ya, walaupun ada sekitar satu kilo, tapi tak apalah, irit ongkos. Sekalian berolahraga di siang hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 363 Episodes
Comments
🐝𝓢𝓐𝓓🌷 rindu ғᶻ⁺🕸️♋
Ara
2022-05-11
0
choirunissa
menarik
2021-11-21
0
Syifa
oke lanjut 😁
2021-08-11
0