Menjelang malam...
Aku baru saja selesai beres-beres rumah. Dari menyapu, mengepel, mencuci piring, hingga mencuci pakaian ibu dan diriku sendiri. Dan kini aku baru selesai mandi. Rasanya memang segar sekali.
Setelah tidur sejenak, pikiranku menjadi lebih fresh dan juga jernih. Malam ini rencananya aku akan mencoba gelang pemberian dari nenek itu. Cemas sih, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya jika belum mencoba. Jadi, kucoba saja dulu.
Semua kontak penting di ponsel telah kucatat di buku telepon mini. Buku telepon ini akan kubawa saat pergi nanti. Kali-kali saja ada hal penting di kemudian hari. Jadi tidak ada salahnya mempersiapkan diri.
Ponsel bututku juga sudah ku-instal ulang ke pengaturan pabrik. Dan sekarang aku berniat menjualnya ke konter. Sedari pulang aku belum makan sama sekali. Jadi mau tak mau harus menjual ponsel satu-satunya ini.
Kulangkahkan kaki menuju konter di dekat gang rumah. Kulakukan transaksi jual beli dan akhirnya ponselku bisa menjadi uang. Lumayan dua ratus ribu, bisa kubelikan sekarung beras dan sisanya buat ibu. Sedang aku mengambil sedikit saja untuk mengganjal perut ini.
Aku tidak tahu akan berapa lama pergi nanti. Tapi semoga saja sepuluh kilo beras cukup sampai aku bisa mendapatkan uang lagi.
Setelah dari konter, aku segera ke warung untuk membeli sekarung beras ukuran sepuluh kilo. Aku lalu membawanya sendiri sampai ke rumah. Tidak lupa membeli roti untuk mengganjal perutku. Alhasil, perutku bisa tersenyum sekarang. Ya, walaupun tersenyum tipis.
Sabar ya perut. Kalau hidup tidak selamanya, berarti masalah juga tidak selamanya. Mungkin hari ini kau kelaparan, tapi yakinlah suatu hari nanti kau akan kekenyangan.
Aku berbicara sendiri sembari membawa sepuluh kilo beras dari warung. Karena hari sudah mau malam, di sepanjang perjalanan aku tidak melihat satu orang pun. Mungkin semua tetanggaku sudah berada di dalam rumahnya.
"Akhirnya sampai juga."
Rasanya lelah sekali membawa satu karung beras seorang diri. Terlebih jarak warung ke rumah juga cukup jauh. Tapi tak apalah, namanya juga hidup. Tempat dimana lelah dan capek bersatu padu. Aku harus tetap semangat karena masih ada ibu yang kuperjuangkan.
Semua pekerjaan rumah sudah selesai, kamarku juga sudah rapi. Jadi jika pergi sekarang tidak meninggalkan beban untuk ibu. Beras juga sudah kubeli sehingga ibu tinggal memasaknya. Namun sayangnya, ibu belum pulang juga sedari tadi. Padahal sudah hampir pukul enam sore.
"Ra, gue pergi dulu ya. Nanti kalau ibu lo nanya, bilang aja gue lagi hang out sama temen-temen."
Aku sedang menunggu ibu pulang sambil melipat pakaian di ruang tengah rumahku. Tiba-tiba kakakku keluar dari kamar lalu berpamitan sambil berjalan keluar rumah. Pakaiannya memang aduhai, sama sekali tidak mencerminkan orang tidak punya. Dia sangat trendy sekali.
"Lo denger enggak sih gue ngomong?!" tanyanya ngegas, seperti mau balapan motor.
"Iya, denger." Aku malas menjawabnya.
"Ya udah. Gue pergi dulu." Dia nyelonong keluar rumah tidak ingat waktu.
Sebenarnya aku tidak peduli semenjak dia pulang dari perantauan. Sikapnya banyak berubah dan sangat menjengkelkan. Jadi daripada ribut, lebih baik aku menghindarinya saja.
...
Menit demi menit pun kulalui seorang diri, sampai akhirnya ibu mengetuk pintu. Segera kubukakan pintu dan kulihat ibu membawa banyak sekali makanan.
"Ibu?!"
Segera kubantu ibu membawa makanannya masuk ke dalam. Kuambilkan segelas air agar ibu meminumnya terlebih dulu.
"Ibu, ini makanan dari mana?" tanyaku heran karena melihat banyaknya makanan.
"Ibu habis bantu-bantu, maka itu baru bisa pulang sekarang." Ibu mengusap keringat di dahinya sambil duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu.
Ya Tuhan, kasihannya ibu. Pergi pagi-pagi untuk bekerja dan baru pulang petang ini. Pasti ibu capek sekali.
"Ara pijat ya, Bu." Aku segera duduk di lantai lalu memijat kakinya.
Ibu tersenyum. "Anak baik, ibu bangga mempunyai anak sepertimu." Ibu mengusap pipiku.
Aku juga hanya bisa tersenyum pada ibu, padahal hati kecilku menangis. Menangis karena belum bisa membahagiakan ibu walau sudah sebesar ini. Kulihat kulit ibuku juga sudah berkeriput, urat-uratnya di badannya sudah kelihatan. Pasti ibu berjuang habis-habisan untuk menghidupiku.
Apapun yang terjadi aku harus bekerja.
Aku bertekad dalam hati lalu kuutarakan niatku pada ibu. Kuceritakan jika aku belum keterima kerja. Namun, saat di jalan ada yang menawariku. Ibu pun senang mendengarnya, tapi aku tidak menceritakan hal yang sebenarnya. Aku tidak ingin membuat ibu cemas.
Malam akhirnya datang. Aku meminta ibu untuk segera beristirahat. Sedang aku segera bersiap-siap menggunakan gelang pemberian dari nenek itu. Semoga saja Tuhan merestui niat baikku. Aku bekerja bukan untuk diriku sendiri, tapi juga untuk ibu yang telah membesarkanku.
Esok harinya...
Jam empat pagi aku terbangun. Entah mengapa aku memang selalu terbangun di jam segini. Kulihat keadaan rumah juga masih sunyi. Ibu belum bangun, entah jika kakak, aku tidak peduli.
Diam-diam aku mempersiapkan diri, mengenakan baju terusan lengan panjang berwarna putih selutut. Aku lalu memakai gelang pemberian dari nenek yang kutemui di halte bus waktu itu. Gelang titanium bergambar bintang dan bulan. Sengaja kupakai di tangan kanan agar lebih mudah menjaganya. Namun, ada hal aneh saat gelang ini sudah di pergelangan tanganku.
Ge-ge-gelangnya bergerak sendiri?!!
Kulihat gelangnya membuka kait besinya sendiri. Di saat itu juga kudengar suara dentingan cukup keras. Karena takut, aku mencoba membuka gelangnya. Tapi semakin membuka, gelang ini semakin tidak mau lepas, seperti menyatu di tanganku. Dan akhirnya...
"I-i-itu ...?!"
Kulihat di depanku seperti ada pintu jatuhan air. Seketika jantungku berdebar bukan main. Ingin rasanya menjerit sekencang mungkin. Tapi entah mengapa, suaraku seperti tertahan di tenggorokan.
"Cepatlah masuk lewati jatuhan air itu! Kau akan segera tiba di tempat tujuanmu." Tiba-tiba aku mendengar seperti suara si nenek.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku panik sejadi-jadinya. Namun, kuingat kembali tekadku yang ingin membahagiakan ibu. Cepat-cepat kutulis pesan di secarik kertas supaya ibu nanti bisa membacanya. Aku kemudian mengambil napas panjang sebelum masuk ke jatuhan air itu.
Ya Tuhan, aku hanya berusaha. Hasil akhirnya kuserahkan pada-MU.
Aku berserah diri. Tidak tahu apa yang akan terjadi. Kupejamkan kedua mata saat melewati jatuhan air itu. Dan akhirnya...
"Aduuuhh..."
Aku tiba di suatu tempat dalam keadaan terjatuh. Entah mengapa, sesaat setelah melangkahkan kaki melewatinya, aku terjatuh. Rasanya lumayan sakit dan membuat keningku terbentur lantai. Walau begitu, lekas-lekas kulihat pintu jatuhan air yang kulewati tadi, namun ternyata dia sudah menghilang.
Ini di mana?
Kulihat keadaan sekeliling tampak gelap. Tapi aku masih bisa melihat cahaya lampu dari luar. Entah di mana aku, aku berusaha bangun dari jatuhku saja.
"Jangan takut, perjalanan hidupmu baru akan dimulai." Kembali kudengar seperti suara nenek itu.
"Nenek? Nenek?!" Aku segera bangun lalu mencari suara nenek itu, memutar badan ke segala arah.
Ini aneh, aku bisa mendengar suaranya tapi tidak bisa melihat raganya. Apakah aku sedang bermimpi?
Kucoba menepuk pipi dengan kuat dan ternyata rasanya sakit. Sepertinya aku tidak sedang bermimpi. Ini memang nyata terjadi.
"Di mana aku, ya?" Aku bingung sendiri.
Aku masih mengenakan pakaianku yang serba panjang dan putih. Sedang rambut kubiarkan tergerai begitu saja. Aku tidak tahu ada di mana, tapi mungkin meraba-rabanya saja sambil berjalan mencari cahaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 363 Episodes
Comments
choirunissa
kyk lorong waktu ya
2021-11-21
0
Lutfi Ivansah Kahtami
kaya pintu kemana saja milik Doraemon 😍😍😍😍😍😍😍😍😍aku juga mauuuuu
2021-08-14
1
Syifa
semangat!!
2021-08-12
1