Ruangan ini banyak sekali alat olahraga di setiap sisinya. Hanya di sisi depan saja yang berlapis kaca agar bisa melihat pantulan bayangan sendiri. Dan kini aku berkaca sambil melakukan pemanasan tarian. Hitung-hitung mengingat masa SMA, dimana sepulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ikut organisasi seni terlebih dahulu. Ya, aku memang anak seni dulunya.
Aku sengaja mengabaikan tuanku yang sedang melatih otot lengannya. Aku asik sendiri menari di depan kaca ruangan ini. Dan tanpa sadar ternyata tuanku memperhatikanku dari jauh.
"Ara!" panggilnya setelah menyelesaikan latihan.
"Ya, Tuan." Aku segera mendekat ke arahnya.
"Kau bisa menari?" tanyanya seraya mengelap tangan yang berkeringat.
"Sedikit, Tuan," jawabku santun.
"Hm, mari kita bermain sesuatu," katanya lalu mulai menghamparkan matras.
Eh? Dia mau bermain apa? Jangan-jangan?!!
Pikiranku ke mana-mana saat dia menghamparkan matras berukuran 2x2 meter. Namun sepertinya, memang akunya saja yang terlalu berpikiran buruk tentangnya. Dia tiduran di atas matras lalu memintaku untuk merebahkan tubuh di atas kakinya.
"Tuan?"
"Ini latihan otot kaki. Naik saja, aku akan menjagamu."
"Tap-tapi, Tuan. Aku takut terjatuh." Aku memang takut ketinggian.
"Sudah naik saja!" Dia sepertinya kesal lagi padaku.
Mau tak mau aku pun menuruti kemauannya. "Baiklah. Tapi jaga aku, ya?" Aku takut dijatuhkan olehnya, terlebih dia habis kesal padaku.
"Ya." Dia hanya menjawab singkat.
Aku mulai merebahkan diri di atas telapak kakinya. Dia juga memegangi kedua tanganku agar tidak terjatuh. Dia lalu mengangkatku ke atas dengan kedua kakinya.
"Tu-tuan, aku takut." Dia seperti ingin mengerjaiku hari ini. Kakinya terlalu tinggi mengangkat tubuhku.
"Percaya saja padaku," katanya lalu mulai menaik-turunkan tubuhku.
"Tu-tuan, aku takut. Sungguh!"
Aku seperti mainannya saja. Dia naik-turunkan seenaknya. Walau kedua tangan ini berpegangan dengan kedua tangannya, tetapi tetap saja aku ngeri karena gerakannya makin lama makin cepat.
"Tu-tuan! Tu-tuan!"
Mungkin karena gupek tubuhku menjadi tidak seimbang. Tubuhku seperti ingin merosot dari kakinya. Aku pun jadi sulit untuk mengendalikan keseimbangan tubuhku ini.
"Tu-tuan! A-aku ...."
Semakin lama aku semakin kehilangan keseimbangan, tubuhku tidak dapat menyesuaikan diri dengan gerakan kakinya. Dan akhirnya...
"Tuaaaaannn!!!" Tubuhku jatuh.
"Ah!!!"
Aku berteriak sambil memejamkan kedua mata karena takut melihat apa yang terjadi. Saat itu juga aku merasakan sesuatu.
Kenapa lembut sekali? Hangat lagi.
Pipiku terasa hangat seperti terkena embusan uap. Bibirku juga seperti menyentuh sesuatu yang amat lembut, entah apa. Sedang kedua tanganku berusaha menahan tubuh ini agar tidak terbentur tubuhnya. Dan karena penasaran, kubuka perlahan kedua mata ini.
"Tu-tuan?!!"
Saat membuka mata, kulihat tubuhku benar-benar jatuh di atas tubuhnya. Dadaku ini tertahan di dadanya. Dan juga bibirku ... bibirku bertemu dengan bibirnya.
Astaga!!!
Sontak aku menyadari apa yang telah terjadi pada kami. "Maaf, Tuan." Aku segera bangkit dari tubuhnya. Namun...
"Ara." Dia pun menahan cepat tubuhku agar tidak jadi bangkit dari tubuhnya.
"Tuan ...?"
Kami saling bertatapan, tepat di mata. Seketika aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang. Napasnya juga terasa panas, seperti memburu sesuatu.
"Tuan, maaf. Aku tidak sengaja."
Aku berkata pelan dengan wajah yang amat menyesal. Dan entah kenapa tangannya yang menahan tubuhku ini pelan-pelan menyusuri punggungku. Rasanya geli sekali.
"Tuan, jangan!"
Aku berontak agar dia berhenti. Tapi semakin aku bergerak, semakin merasakan sesuatu mengganjal di pahaku, entah apa.
"Ara ... jangan permainkan aku."
"Tuan?"
"Kau sengaja bukan seperti ini?"
"Ti-tidak, Tuan. Aku benar-benar tidak sengaja." Aku jujur sejujurnya.
"Kau harus bertanggung jawab karena telah mencium bibirku. Kau telah merebutnya, Ara."
"Hah?!"
"Kau telah merebut ciuman pertamaku," katanya dengan tatapan menginginkan.
Bagai halilintar menyambar pohon durian. Rasanya bingung sekali, haruskah berada di tempat atau menunggu duriannya jatuh lalu kumakan. Ucapannya membuatku kaget dan bingung harus menjawab apa.
"Ara ...." Suaranya melembut dan dia memejamkan kedua matanya.
Astaga! Astaga! Apa yang harus aku lakukan?!
Aku panik sendiri. Aku bingung harus bagaimana. Dia mengunci tubuhku sehingga tidak bisa bergerak. Aku harus memikirkan cara lain agar bisa lepas dari cengkramannya.
Maaf Tuan. Aku mendapat ide.
"Aaaaaaa!!!"
Seketika dia berteriak saat aku menggigit lehernya. Dengan segera aku pun melepaskan diri, bangkit dari tubuhnya.
"Maaf, Tuan. Maafkan aku. Aku haus!" kataku lalu berlari pergi keluar.
Entah apa yang ada di pikirannya, aku tidak peduli. Yang penting aku bisa melepaskan diri darinya. Aku tidak ingin terbawa suasana dan sesuatu terjadi di antara kami tanpa ikatan resmi. Bagaimanapun aku orang timur yang harus tetap menjaga adat budaya asalku.
Maafkan aku, tuan. Maafkan aku. Aku terpaksa ....
Kutinggalkan dirinya lalu menuju kasir yang ada di depan. Di sana menjual minuman dan juga makanan ringan yang menyehatkan. Ya sudah. Aku duduk di dekat kasir sambil meneguk minuman isotonik yang kuambil. Aku pun mengingat kejadian yang baru saja terjadi tadi. Ternyata aku telah menciumnya tanpa sengaja.
Gawat! Bisa-bisa aku dipecat olehnya!
Tak habis pikir kenapa hal ini bisa terjadi. Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya. Ya sudahlah, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
Sepuluh menit kemudian...
Aku masih duduk di kursi yang ada di dekat kasir sambil mengobrol ringan dengan penjaganya. Ternyata tuanku memang sering ke sini hampir setiap minggu. Si penjaga kasir pun mengatakan jika tuanku baru pertama kalinya mengajak seorang wanita ke sini.
"Hai, Manis. Sendirian?"
Tiga orang pria datang mendekatiku, entah siapa. Mereka duduk di samping kanan dan kiriku. Seketika aku berdiri, berusaha menghindarinya.
"Hei, hei. Tunggu dulu. Kami baru saja sampai dan kau sudah mau pergi?" tanya salah satunya.
"Maaf, Tuan. Aku harus kembali." Aku bergegas pergi.
"Hei, Nona!"
Salah satu dari mereka seperti ingin menahan kepergianku. Tapi bersamaan dengan itu kulihat tuanku sudah berada di depanku sambil memasang wajah dingin kepada ketiganya. Sontak mereka terdiam seribu bahasa saat mengetahui siapa orang yang kutuju.
"Kau tak apa, Ara?" tanya tuanku seraya merangkulku.
Dia semakin berani saja ya. "Aku baik-baik saja," jawabku segera.
"Hei, kalian! Jangan ganggu wanitaku jika masih ingin menikmati hidup!" Tuanku mengancam ketiganya.
"Ma-maaf, Tuan. Kami tidak tahu jika nona ini adalah wanita Anda." Salah satunya memohon maaf, ketiganya lalu tertunduk takut.
"Ara, kita pulang saja. Di sini kurang aman untukmu." Tuanku bergegas membawaku keluar gedung ini.
"Tap-tapi, Tuan—"
"Aku sudah membawa swetermu," katanya sambil terus merangkulku dan mengajak ku keluar gedung.
Aku tidak tahu kenapa minumanku ini tidak ditagih. Tapi sepertinya, aku bisa bebas mengambil apapun selama bersama tuanku. Kulihat kasir penjaga juga membungkukkan tubuhnya saat kami berjalan meninggalkan area.
"Tuan, minuman ini?" tanyaku yang kini sudah keluar dari pintu masuk gedung.
"Aku sudah membayarnya," jawabnya, lalu melepas rangkulan tangannya padaku.
"Em, baiklah." Aku pun mengangguk.
"Sini minumnya! Aku juga haus!" Dia mengambil botol isotonik yang kupegang.
"Tu-tuan, tapi itu bekasku!"
Aku mencoba menahannya agar tidak meminum bekasku. Namun, dia seperti tidak peduli. Dia terus saja meneguk botol minuman isotonikku sampai habis.
Dia ini haus atau doyan, ya?
Tak habis pikir dengan sikapnya, aku pun hanya bisa melihatnya saja. Dan tak lama Jack datang membukakan pintu mobil untuk kami. Tapi kali ini tuanku membiarkan aku berjalan sendiri ke mobil. Dia kembali bersikap dingin kepadaku.
Dia sebenarnya kenapa, sih?
Aku senang jika dia mengatakan aku ini wanitanya. Tapi, aku juga tidak terlalu menanggapi. Aku pikir dia hanya sebatas bersandiwara saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 363 Episodes
Comments
Taneza meylanie
aku suka banget dgn ceritanya
2022-02-03
0
Syifa
thor dpsc kpn lanjutt?
2021-08-15
0
Syifa
aku rela ngak sama cloud
2021-08-15
0