Sesampainya di rumah...
Aku tiba di rumah. Rumah peninggalan nenekku. Kulihat rumah tampak sepi hari ini. Mungkin ibu sedang nyuci-gosok di rumah tetangga, jadi tidak ada orang di rumah. Ya walaupun ada, anggap saja tidak ada.
"Heh, gimana tes lo?"
Kakakku keluar dari kamar begitu mendengar aku pulang. Dia langsung saja bertanya padaku sambil bertolak pinggang. Padahal masuk rumah saja belum, baru juga sampai di depan pintu.
"Ara belum berhasil, Kak," jawabku jujur lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
"Hah? Enggak berhasil lagi? Gimana sih lo ini?! Gagal terus ngelamar kerja! Lo itu sebenernya bisa apa?! Ke mana-mana ditolak." Dia malah memarahiku.
"Namanya juga belum rezeki, Kak. Mau dipaksa juga enggak akan bisa," jawabku seraya berjalan menuju kamar.
"Eh! Lo mau ke mana?" tanyanya menghalangi.
"Ke kamar, istirahat," jawabku singkat.
"Lo istirahat terus. Nyuci piring sana! Banyak cucian piring tuh di dapur. Nyapu, ngepel juga jangan lupa. Jangan males jadi perempuan!" Dia makin menjadi, gilanya.
Aku hanya diam saat dicaci. Kubiarkan saja dia terus berbicara enggak mutu. Aku juga tidak mau ambil pusing.
Hah ... andai saja ada pangeran yang menolongku dari semua penderitaan ini ....
Aku bergumam sambil masuk ke dalam kamar. Kukunci pintu lalu merebahkan diri di atas kasur. Angan-angan mulai mengambil alih pikiranku, berkhayal ada seorang pangeran yang menolongku. Tentunya hidupku tidak akan khawatir kekurangan.
Aku tidak mengerti mengapa selalu dimarahi olehnya. Padahal semua pekerjaan rumah aku yang mengerjakannya. Dari mulai menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci pakaian, sampai menyapu halaman aku juga yang mengerjakan. Hidupnya enak sekali, makan tidur, makan tidur setiap hari.
Di mana dikau, pangeran tampanku ...?
Kuambil ponsel pintar dari dalam tas dan kulihat jadwal interview selanjutnya. Ternyata aku masih mempunyai dua tempat lagi untuk melamar. Semoga saja salah satunya bisa menerimaku.
Malam harinya...
Malam ini aku duduk sendiri di depan rumah. Menatap bintang yang berkilauan di angkasa. Rasanya ingin sekali berjalan-jalan ke sana. Tapi apa daya hanya sebatas impian semata.
Aku hidup tanpa seorang ayah. Ayahku menikah lagi dengan perempuan yang lebih seksi. Katanya sih mereka sudah hidup bahagia sekarang. Benar-tidaknya, aku juga tidak peduli.
Ibu membesarkanku seorang diri. Sedang ayah waktu itu tidak tahu ke mana. Saat beranjak remaja, barulah kutahu jika ayah menikah lagi. Ibu memang sengaja merahasiakannya dariku. Katanya sih agar tidak menggangu pelajaran di sekolah.
Bagiku, ibu tidak hanya sekedar orang tua, tapi juga pahlawan hidupku. Ibu amat sabar menghadapi tingkah anak-anaknya, terutama kakak yang sering melawan. Jika bukan karena ibu, mungkin sudah kutendang ke luar dia. Habisnya gimana, aku kesal sekali. Dia bergaya bak sosialita tapi tidak sadar dirinya siapa. Gayanya selangit padahal rumahnya masih napak tanah.
Astaga! Jangan ghibah Ara!
Kadang kesal membuatku menggerutu dalam hati. Tapi daripada membicarakan orang lain, lebih baik berkhayal saja. Berkhayal suatu hari nanti dijemput pangeran tampan dan dia mengajak ku berkeliling dunia. Berkhayal saja sudah bahagia seperti ini. Apalagi jika sampai benar-benar terjadi.
"Ara, kemarilah." Ibu memanggil agar aku menghampirinya.
"Ya, Bu." Aku pun segera masuk ke dalam rumah, memenuhi panggilan ibu.
Di kamar ibu...
"Ada apa, Bu?" tanyaku kepada pahlawan hidupku.
"Ara, beras sudah mau habis. Upahan nyuci-gosok juga tinggal dua puluh ribu. Ibu belum sempat beli gas untuk masak. Dan kini gas sudah mau habis." Ibu menceritakannya padaku.
Astaga ....
Aku mengerti maksud ibu. Tapi gimana, aku belum punya penghasilan untuk memberinya. Sisa uang juga tinggal tiga puluh lima ribu. Hari ini lima belas ribunya sudah dipakai untuk ongkos melamar kerja. Tapi nyatanya, aku belum juga diterima.
"Maaf, Bu. Sisa uang Ara tinggal tiga puluh lima ribu. Ara masih harus melamar di dua tempat lagi. Semoga besok Ara bisa keterima kerja ya, Bu. Jadi Ara bisa meminjam uang sama bank keliling." Aku sedih sekali saat harus mengatakan hal ini.
"Ya, sudah. Ibu hanya cerita, jangan dijadikan beban, ya." Ibu mengusap pipiku.
"Kakak memangnya enggak kasih pinjam uang, Bu?" tanyaku heran.
"Sudahlah, biarkan saja dia." Ibu seperti menolak membicarakan kakak.
"Nanti Ara pinjam sama dia saja ya, Bu. Ibu tunggu di sini." Aku bergegas pergi.
"Ara!"
Kutahu jika ibu ingin menahanku, tapi kuabaikan saja karena mau menemui kakak yang sedang di kamarnya.
"Kak Tia, buka pintunya!" Kuketuk berulang kali pintu kamarnya.
Di rumahku memang ada tiga kamar. Kamar ibu, kamar kakak dan kamarku. Kami tidur terpisah walaupun kamarnya tidak besar, tapi cukup untuk beristirahat.
"Apa sih lo? Ganggu aja!" Kakakku membukakan pintu.
"Kak, Ara mau pinjam uang. Seratus ribu saja buat beli beras," kataku terus terang padanya.
"Eh? Pinjam uang sama gue?" Wajahnya seperti merendahkan.
"Iya, Kak. Beras sudah mau habis. Uang ibu juga tinggal dua puluh ribu." Kucoba menjelaskan.
"Hih! Peduli amat. Lo kerja dong! Cari duit sana!" Dia malah mencerca.
"Kak, harusnya Kakak itu kasih uang ke ibu tanpa perlu diminta. Kakak kan masih tinggal di rumah ibu. Makan juga masih nebeng!" Aku mulai kesal.
"Hei, jaga mulut lo ya! Gue juga enggak mau tinggal di sini, rumah jelek kayak gini. Gue terpaksa tinggal di sini karena laki gue belum pulang!" Dia malah menunjuk-nunjuk hidungku.
Niatku sebenarnya hanya ingin meminjam uang. Tapi uang tak didapat, rasa kesal pun lewat.
"Astaga, Kakak. Kakak sudah keterlaluan. Kakak itu lahir dari perut ibu, kenapa Kakak malah berbicara seperti itu? Kualat baru tahu rasa!" Aku benar-benar kesal padanya.
"Eh! Asal lo tahu, ya. Gue juga enggak mau lahir dari perut ibu lo. Perut orang miskin! Lagipula kalau gue punya uang, itu uang gue bukan uang ibu. Sekalipun dikasih laki gue ya buat gue, bukan buat ibu. Ngerti lo?!" Dia kemudian menutup pintu kamarnya dengan kuat.
Astaga ....
Rasanya miris sekali. Tidak tahu kenapa dia banyak berubah sejak merantau ke kota orang. Pergi baik-baik, pulang bawa kabar sudah dipinang.
Ya Tuhan, bagaimana caranya untuk membeli beras?
Aku tidak punya apa-apa untuk dijadikan uang. Cuma punya ponsel butut dengan RAM 512MB.
Kira-kira kalau dijual laku berapa, ya?
Aku berbalik, berjalan menjauh dari kamar kakak, berniat masuk lagi ke kamar ibu. Tapi, kudengar isakan tangis dari sana. Segera saja aku bergegas masuk ke dalam kamar, dan kulihat ibu sedang menangis.
"Ibu ...."
Aku mendekat lalu duduk di sampingnya. Kulihat ibu menangis tersedu-sedu. Seketika hatiku terasa sakit sekali.
"Ibu, maaf."
"Ara, sudah. Jangan pinjam uang lagi sama kakak, ya. Nanti ibu cari pinjaman saja. Sekarang tidurlah, besok masih ada tes masuk kerja, kan?" tanya ibuku.
"He-em."
Aku hanya bisa mengangguk lalu memeluk ibu. Mungkin ibu mendengar percakapanku tadi hingga akhirnya menangis seperti ini.
Ya Tuhan, tunjukkanlah di mana jalan hidupku. Aku ingin membahagiakan ibu. Aku sudah melamar kerja ke sana-kemari, tapi tidak ada satupun yang menerimaku. Ke mana langkah kaki ini harus menuju? Sedang aku tidak tahu-menahu. Tolong aku, Tuhan. Beri aku petunjuk-MU.
Saat ini hanya doa yang bisa kupanjatkan. Semoga saja besok bisa keterima kerja dan membahagiakan ibu. Aamiin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 363 Episodes
Comments
rama
terharu
2022-08-21
1
Lasmanah Ramdani
ara semoga dapat rizki ya klo yg sayang sama ibunya rizkinya buanyak ga terduga🥰🥰
2022-05-12
0
Syifa
penasaran karakter ara di sini
2021-08-11
1