Di halte bus...
Aku terpaksa berjalan kaki cukup jauh untuk sampai ke halte bus ini. Udara menjelang siang entah mengapa terasa amat panas sekali. Namun, ada yang aneh. Aku tidak melihat satu bus pun yang lewat di depanku.
Aduh, aku lapar lagi.
Kupegang perutku yang terasa sakit karena belum terisi nasi dari pagi, sambil tetap menunggu bus yang datang. Tapi, rupanya yang ditunggu belum juga mau datang. Akhirnya aku kelaparan karena menunggu terlalu lama.
Menit demi menit kulalui. Namun, tidak ada satu bus juga yang menghampiri. Sedang perutku sudah tidak dapat lagi diajak berkompromi. Aku harus segera mengisi perutku ini.
"Neng, mohon sedekahnya. Nenek belum makan."
Tiba-tiba ada seorang nenek menadahkan tangannya kepadaku. Aku kaget, benar-benar kaget melihatnya sudah ada di sampingku. Entah dari mana datangnya, aku mencoba melihatnya lebih jelas. Nenek dengan pakaian kumel dan tongkatnya. Dia masih berdiri namun sedikit membungkuk di depanku.
Kurogoh saku kemeja ini dan kulihat tersisa uang dua lembar lima ribu. Aku jadi bingung sendiri, aku juga belum makan sedari pagi. Jika kuberikan uang ini, pastinya tidak bisa makan. Tapi jika tidak kuberikan, aku kasihan padanya.
"Maaf, Nek. Uangku hanya tersisa sepuluh ribu. Aku juga belum makan sedari pagi. Terakhir makan semalam, itu juga hanya memakan nasi. Maaf ya, Nek. Aku juga butuh uangnya untuk makan dan ongkos pulang." Dengan berat hati aku tidak dapat memberikan sedekah kepadanya.
"Baiklah, Neng. Terima kasih." Nenek itupun beranjak pergi dari hadapanku.
Rasanya kasihan sekali. Dia sudah tua renta tapi tidak ada keluarga yang mengurusnya. Harusnya seusianya ini sudah bisa hidup berkecukupan. Tapi nyatanya, dia harus kelaparan. Rasa iba pun muncul dan memenuhi seluruh relung hatiku. Sebelum dia benar-benar pergi, aku memanggilnya kembali.
"Nenek, tunggu!"
Aku memanggil dan dia pun menghentikan langkah kakinya. Segera saja aku berjalan cepat mendekatinya.
"Nek, ambilah uang ini. Aku hanya bisa memberi lima ribu saja karena lima ribunya untuk ongkos kembali ke rumah. Semoga Nenek bisa membeli roti dengan uang ini ya." Aku menyerahkan selembar uang lima ribu kepada nenek itu.
"Tapi Neng, Neng tidak bisa makan nanti." Nenek itu menolak pemberian dariku.
"Tak apa, Nek. Aku masih bisa menahan lapar. Ambil saja ya, Nek. Maaf aku hanya bisa memberikan setengahnya." Aku amat tidak enak hati.
"Terima kasih, Neng. Hati Neng mulia sekali." Nenek itu memujiku.
"Terima kasih, Nek. Semoga Nenek sehat selalu," kataku menutup pembicaraan ini.
Aku tersenyum padanya lalu berniat kembali ke halte bus. Tapi, nenek itu menahanku.
"Neng, tunggu!" Sebelum sempat melangkahkan kaki, nenek itu kembali memanggil.
"Ya, Nek?" Aku pun berbalik ke arahnya.
"Nenek punya sesuatu, mungkin bisa membantumu lepas dari kesulitan ini." Dia mengeluarkan sesuatu dari balik lengan jubah kumelnya.
"Sesuatu?" Aku jadi penasaran.
"Ini." Dia lalu memberikan sebuah gelang padaku.
"Apa ini, Nek?" tanyaku heran.
"Ini adalah gelang yang bisa membawamu menuju tempat yang kau inginkan. Pergunakan gelang ini sebaik mungkin dan jangan pernah dilepas. Karena jika dilepas, kau tidak akan bisa kembali." Dia menjelaskan padaku.
"Hah?!" Aku pun terkejut.
"Kau hanya bisa menggunakan gelang ini sebanyak tiga kali. Setelahnya harus menggunakan transportasi dunia untuk pulang atau perginya. Semoga beruntung, Nak." Nenek itu tersenyum padaku.
Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba panggilan nenek itu terasa lebih formal padaku. Dengan ragu aku kemudian menerima gelang pemberian darinya. Gelang berbentuk aneh tapi cantik di pandangan mataku. Aku lalu ingin mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Terima kasih ... Nek?!"
Belum sempat mengucapkan terima kasih, nenek itu ternyata sudah tidak ada di hadapanku, entah ke mana. Bersamaan dengan itu kudengar suara klakson angkot yang menawarkan angkutan.
Astaga, tadi itu siapa ya?!
Jantungku berdetak keras saat menyadari hal yang barusan terjadi. Rasa penasaran pun menyelimuti hati dan pikiran ini. Tapi mungkin lebih baik kutepiskan dahulu karena harus segera kembali ke rumah. Ya sudah, kusimpan baik-baik percakapan tadi lalu kembali fokus dengan keadaan sekitar.
Setengah jam kemudian...
Aku baru saja sampai di depan gang rumahku. Kebetulan gang rumahku ini ada teras untuk duduk. Jadi aku duduk sebentar sambil berpikir bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang untuk membeli beras.
Kuambil ponselku lalu kuhubungi teman-teman terdekat. Aku bertanya apakah ada lowongan pekerjaan untukku. Saat ini aku belum memikirkan gaji, yang penting bisa bekerja dulu.
Puluhan menit kulalui, akhirnya kudapatkan jawaban jika tidak ada lowongan pekerjaan untukku. Aku seperti putus asa jika sudah begini. Mana rasanya lapar lagi. Dan kini aku tidak punya uang sama sekali.
Apa jual ponsel saja ya?
Terlintas di pikiranku untuk menjual ponsel di konter yang tak jauh dari gang ini. Dengan lemas kulangkahkan kaki menuju konter lalu melakukan tawar-menawar harga. Dan ternyata, ponselku hanya dihargai dua ratus ribu saja.
Ya ampun, dua ratus ribu dapat apa hari gini?
Sedih, pilu, kecewa, semua rasa bercampur menjadi satu. Aku bingung harus bagaimana. Dan akhirnya kubuat perjanjian saja dengan si pemilik konter.
"Saya pindahkan dulu kontaknya, Bang. Nanti saya ke sini lagi," kataku kepada pemilik konter.
"Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Harganya bisa turun lagi. Ini gue lagi baik makanya gue tawar segitu." Dia seperti mau tak mau ponselku.
"Baik, Bang. Terima kasih."
Aku segera pergi dari konter selepas membuat janji dengan pemiliknya. Namun, tiba-tiba perutku terasa sakit sekali. Rasanya tidak sanggup untuk berjalan ke rumah.
Ayo, kuat Ra! Kuat!
Aku menyemangati diri sendiri agar terus melangkahkan kaki. Langkah demi langkah pun kunikmati sambil merasakan sakit di perut ini. Sakit karena belum makan sedari pagi.
Perut, belajar susah ya. Semoga suatu hari nanti aku bisa mengeyangkanmu.
Kuusap perutku mencoba bicara padanya. Alhasil aku dapat sampai juga di rumah. Segera saja aku membersihkan diri lalu beristirahat sejenak sehabis melewati hari yang melelahkan ini. Kurebahkan diriku di atas kasur lalu mengingat-ingat kejadian tadi sebelum terlelap dalam mimpi. Dan seketika aku teringat dengan gelang pemberian dari nenek itu.
"Ini adalah gelang yang bisa membawamu menuju tempat yang kau inginkan. Pergunakan gelang ini sebaik mungkin dan jangan pernah dilepas. Karena jika dilepas, kau tidak akan bisa kembali."
Entah mengapa kata-kata nenek itu teringat lagi di benakku. Segera kuambil gelang itu dari dalam tas dan kuamati bentuknya.
"Kau hanya bisa menggunakan gelang ini sebanyak tiga kali. Setelahnya harus menggunakan transportasi dunia untuk pulang atau perginya. Semoga beruntung, Nak." Nenek itu tersenyum kepadaku.
"Benarkah gelang ini bisa membawaku ke tempat tujuan?"
Aku sebenarnya percaya tak percaya dengan gelang ini. Tapi mungkin tidak ada salahnya jika mencoba. Ya, kucoba saja nanti. Semoga aku benar-benar bisa menuju tempat yang kuinginkan. Dimana uang tidak lagi susah dicari tetapi menawarkan diri padaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 363 Episodes
Comments
choirunissa
kyk ada megic2nya ya
2021-11-21
0
Syifa
suka aku sama pesannya
2021-08-11
0
Syifa
gara sedekah dpt keajaiban
konsep yng amazing
2021-08-11
0